نعم للعلم والعلمية.. ولا للعلمانية
Ya untuk Ilmu dan Keilmiahan .. Tidak untuk Sekularisme (Bagian Keempat)
Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu
Artikel Ya Untuk Ilmu dan Keilmiahan … Tidak Untuk Sekularisme ini termasuk dalam Kategori Tsaqafah Islamiyah
يقول رينيه ميليه: “لقد جاء المسلمون جميعا في البحث بجديد: مبدأ يتفرع من الدين نفسه، هو مبدأ التأمل والبحث، وقد مالوا إلى العلوم، وبرعوا فيها، وهم الذين وضعوا أساس علم الكيمياء، وقد وجد منهم كبار الأطباء”.
René Millet berkata: “Kaum Muslimin semuanya datang membawa hal baru dalam penelitian: yaitu prinsip yang bersumber dari agama itu sendiri — prinsip kontemplasi dan pencarian ilmiah. Mereka condong kepada ilmu pengetahuan dan unggul di dalamnya. Mereka pulalah yang meletakkan dasar ilmu kimia, dan dari mereka pula lahir para dokter besar.”
يقول الدكتور فرنتورونثال: “إن أعظم نشاط فكري قام به العرب، يبدو لنا جليا في حقل المعرفة التجريبية، ضمن دائرة ملاحظاتهم واختباراتهم، فإنهم كانوا يبدون نشاطا واجتهادا عجيبين، حين يلاحظون ويمحصون، وحين يجمعون ويرتبون ما تعلموه من التجربة”.
Dr. Fronto Ronthal berkata: “Aktivitas intelektual terbesar yang dilakukan oleh bangsa Arab tampak begitu jelas dalam bidang ilmu pengetahuan eksperimental, dalam lingkup pengamatan dan eksperimen mereka. Mereka menunjukkan semangat dan kesungguhan yang luar biasa dalam mengamati, meneliti, mengumpulkan, dan mengorganisasi hasil pembelajaran dari pengalaman.”
ويقول المؤرخ الفيلسوف الاجتماعي الشهير جوستاف لوبون: “إن العرب هم الذين علموا العالم، كيف تتفق حرية الفكر مع استقامة الدين”.
Sejarawan dan filsuf sosial terkemuka Gustave Le Bon berkata: “Bangsa Arablah yang mengajarkan kepada dunia bagaimana menyatukan antara kebebasan berpikir dengan lurusnya agama.”
و”العلمية” التي ننوه بها، لا تعني مجرد السعي للحصول على التفوق العلمي، وتأكيد الاهتمام بمقررات “العلوم” وتطويرها، تأليفا وتعليما وبحثا، في المدارس والجامعات، ومراكز البحث العلمي، وتوجيه العناية إلى التطور “التكنولوجي”، الذي ينمو ويتصاعد يوما بعد يوم.
Adapun “keilmiahan” yang kami maksud, bukan sekadar upaya meraih keunggulan ilmiah dan penekanan perhatian terhadap kurikulum sains, pengembangannya melalui penulisan, pengajaran, dan riset di sekolah-sekolah, universitas, serta pusat-pusat penelitian. Bukan pula sekadar perhatian terhadap kemajuan teknologi yang terus berkembang dari hari ke hari.
“العلمية” لا تقف عند هذا وحده، وإن كان الاهتمام بكل هذا فريضة وضرورة، والتقصير فيه منكرا وإثما مبينا في نظر الإسلام. إنما نعني بـ “العلمية” ـ إلى جوار هذا ـ أن يسود “التفكير العلمي”، وتسود “الروح العلمية” كل علاقاتنا ومواقفنا وشؤون حياتنا، بحيث ننظر إلى الأشياء والأشخاص والأعمال، والقضايا والمواقف “نظرة علمية”،
Keilmiahan tidak berhenti sampai di situ saja — meskipun perhatian terhadap semua hal di atas adalah kewajiban dan kebutuhan yang tak bisa diabaikan, dan mengabaikannya dalam pandangan Islam adalah bentuk kemungkaran dan dosa yang nyata. Yang kami maksud dengan “keilmiahan” — selain dari itu semua — adalah agar pola pikir ilmiah dan semangat ilmiah menguasai seluruh relasi, sikap, dan aspek kehidupan kita, sehingga kita memandang segala sesuatu — benda, orang, tindakan, isu, dan kebijakan — dengan cara pandang ilmiah.
ونصدر قراراتنا الاستراتيجية والتكنيكية، في الاقتصاد والسياسة والتعليم، وغيرها بعقلية علمية، وبروح علمية بعيدا عن الارتجالية، والذاتية، والانفعالية، والعاطفية، والغوغائية، والتحكمية، والتبريرية، التي تسود مناخنا اليوم، وتصبغ تصرفاتنا إلى حد بعيد، فمن سلم من أصحاب القرار من اتباع هواه الشخصي، أو هوى فئته وحزبه، كان أكبر همه اتباع ما يرضي أهواء الجماهير، لا ما يحقق مصالحها، ويؤمن مستقبلها في وطنها الصغير، ووطنها الكبير والأكبر.
Kita mengambil keputusan strategis maupun teknis dalam ekonomi, politik, pendidikan, dan lain-lain dengan nalar ilmiah dan semangat ilmiah — jauh dari sikap asal-asalan, subjektivitas, emosi, sentimentalitas, kegaduhan massa, otoritarianisme, dan pembenaran-pembenaran yang tak berdasar — yang saat ini sangat mewarnai suasana umum kita dan perilaku kita. Bahkan, di antara para pengambil keputusan, siapa pun yang selamat dari mengikuti hawa nafsunya sendiri atau kepentingan kelompok/partainya, maka dia pun masih sering hanya mengikuti keinginan massa, bukan kepentingan nyata mereka dan masa depan mereka di tanah air kecil maupun besar mereka.
و”للروح العلمية” دلائل ومظاهر أو سمات، كنت أشرت إليها، أو إلى أهمها في كتابي “الحل الإسلامي” في مجال “النقد الذاتي” للحركة الإسلامية، يحسن بي أن أذكر بها هنا، وأؤكدها في مجال تأكيد حاجة الأمة إليها لا إلى “العلمانية” المستوردة، وفي بعض الإعادة إفادة.
Semangat ilmiah memiliki tanda-tanda, ciri-ciri, atau karakteristik, yang pernah saya singgung — atau paling tidak yang terpenting darinya — dalam buku saya “al-Ḥall al-Islāmī” pada bagian kritik-diri terhadap gerakan Islam. Sudah selayaknya saya mengingatkannya kembali di sini dan menegaskannya — dalam rangka menekankan bahwa umat ini sangat membutuhkan semangat ilmiah, bukan sekularisme impor. Dan dalam pengulangan, kadang ada pelajaran baru.
وللروح العلمية سمات أبرزها:
Semangat ilmiah memiliki sejumlah karakteristik utama, di antaranya:
١. النظرة الموضوعية إلى المواقف والأشياء والأقوال، بغض النظر عن الأشخاص، كما قال علي بن أبي طالب: “لا تعرف الحق بالرجال، اعرف الحق تعرف أهله”.
1. Pandangan objektif terhadap sikap, peristiwa, dan pernyataan — terlepas dari siapa yang mengatakannya. Sebagaimana ucapan Ali bin Abi Thalib: “Janganlah kamu mengenal kebenaran dari orangnya, tetapi kenalilah kebenaran, maka kamu akan mengenali siapa yang memegangnya.”
٢. احترام الاختصاصات، كما قال القرآن
{فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ} (سورة النحل:٤٣)
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan.” (Surah an-Nahl ayat 43)
{فَاسْأَلْ بِهِ خَبِيرًا} (سورة الفرقان:٥٩)
“Maka bertanyalah tentang Dia kepada orang yang sangat mengetahui.” (Surah al-Furqan ayat 59)
{وَلا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ} (سورة فاطر:١٤)
“Dan tidak ada yang dapat memberimu kabar seperti Dia yang Maha Mengetahui.” (Surah Fathir ayat 14)
2. Menghormati spesialisasi keahlian, sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’an. Maka agama memiliki ahlinya, ekonomi memiliki pakarnya, militer memiliki komandannya, dan setiap bidang memiliki orang-orangnya, terlebih di zaman sekarang — era spesialisasi yang sangat rinci. Adapun orang yang mengaku tahu segala hal: agama, politik, sains, seni, ekonomi, militer, dan berfatwa dalam segala perkara — sejatinya ia tidak mengetahui apa pun secara mendalam.
٣. القدرة على نقد الذات، والاعتراف بالخطأ، والاستفادة منه، وتقويم تجارب الماضي تقويما عادلا، بعيدا عن النظرة “المنقبية”، التي تنظر إلى الماضي على أنه كله مناقب وأمجاد!
3. Kemampuan untuk mengkritik diri sendiri, mengakui kesalahan, mengambil pelajaran darinya, dan mengevaluasi pengalaman masa lalu secara adil — tanpa pandangan romantis atau glorifikasi yang melihat masa lalu seolah seluruhnya adalah kebajikan dan kejayaan.
٤. استخدام أحدث الأساليب، وأقدرها على تحقيق الغاية والاستفادة من تجارب الغير، حتى في الخصوم، فالحكمة ضالة المؤمن، أنى وجدها، فهو أحق الناس بها.
4. Menggunakan metode yang paling mutakhir dan paling efektif dalam mencapai tujuan. Termasuk mengambil pelajaran dari pengalaman pihak lain — bahkan dari lawan sekalipun. Karena hikmah adalah barang hilang milik seorang mukmin. Di mana pun ia menemukannya, ia yang paling berhak atasnya.
٥. إخضاع كل شيء ـ فيما عدا المسلمات الدينية والعقلية ـ للفحص والاختبار، والرضا بالنتائج، كانت للإنسان أو عليه.
5. Menundukkan segala sesuatu (selain kebenaran agama dan akal yang bersifat absolut) untuk diuji dan diperiksa — serta bersedia menerima hasilnya, apakah berpihak kepada kita atau tidak.
٦. عدم التعجل في إصدار الأحكام والقرارات، وتبني المواقف، إلا بعد دراسة متأنية، مبنية على الاستقراء والإحصاء، وبعد حوار بناء تظهر معه المزايا، وتنكشف المآخذ والعيوب.
6. Tidak tergesa-gesa dalam menjatuhkan penilaian, mengambil keputusan, atau menentukan sikap, kecuali setelah studi yang matang, berbasis pada observasi dan data statistik, serta dialog yang membangun — di mana keunggulan akan tampak, dan kelemahan akan tersingkap.
٧. تقدير وجهات النظر الأخرى، واحترام آراء المخالفين في القضايا ذات الوجوه المتعددة، في الفقه وغيره، مادام لكل دليله ووجهته، ومادامت المسألة لم يثبت فيها نص حاسم يقطع النزاع، ومن المقرر عند علمائنا: أن لا إنكار في المسائل الاجتهادية، إذ لا فضل لمجتهد على آخر، ولا يمنع هذا من الحوار البناء، والتحقيق العلمي النزيه في ظل التسامح والحب.
7. Menghargai pandangan orang lain dan menghormati pendapat yang berbeda, khususnya dalam masalah-masalah yang memiliki banyak sisi — baik dalam fikih maupun bidang lain — selama masing-masing memiliki dalil dan argumentasi. Selama belum ada nash (teks) yang tegas dan jelas memutuskan perkara, maka menurut para ulama: “Tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihadiyyah.” Karena tidak ada keutamaan satu mujtahid atas yang lain. Hal ini tentu tidak menafikan adanya dialog konstruktif dan kajian ilmiah yang objektif dalam bingkai toleransi dan cinta.
والله أعلم.
Selesai Rangkaian Artikel 4 (Empat) Seri
Sumber : Qaradawi.Net
Leave a Reply