Renungan Bahasa Surah al Kafirun dan Maknanya (4)



تأملات بيانية في سورة الكافرون

Renungan Bahasa Surah al Kafirun dan Maknanya (Bagian Keempat)

Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu

Artikel Renungan Bahasa Surah al Kafirun dan Maknanya ini termasuk dalam Tadabbur al Quranul Karim

معنى العبادة في اللغة والقرآن الكريم:

Makna Ibadah dalam Bahasa Arab dan Al-Quran:

جاء في “مقاييس اللغة” ما نصه: العين والباء والدال أصلانِ صحيحان، كأنَّهما متضادَّان، والأول مِن ذينِك الأصلينِ يدلُّ على لِين وذُلٍّ، والآخر على شِدّة وغِلَظ، 

Dalam kitab Maqāyīs al-Lughah disebutkan: Huruf ‘ain, ba, dan dal merupakan akar kata yang sahih dan seolah-olah memiliki dua makna yang bertolak belakang. Akar yang pertama menunjukkan makna kelembutan dan ketundukan, sedangkan yang kedua menunjukkan kekuatan dan kekasaran.

فالأوَّل العَبد، وهو المملوك، والجماعةُ العبيدُ، وثلاثةُ أعبدٍ وهم العِبادُ، قال الخليل: إلَّا أن العامة اجتمعوا على تفرقةِ ما بين عباد الله والعبيدِ المملوكين،

Makna yang pertama mengarah pada kata ‘abd (hamba), yaitu orang yang dimiliki, jamaknya ‘abīd. Tiga orang disebut a‘bid (para hamba), dan mereka disebut ‘ibād. Al-Khalil mengatakan: masyarakat umum membedakan antara “hamba-hamba Allah” (‘ibād Allāh) dan “budak milik manusia” (‘abīd).

يقال: هذا عبدٌ بيِّن العُبُودَة، ولم نسمَعْهم يشتقُّون منه فعلًا، ولو اشتق لقيل عَبُد؛ أي: صار عبدًا وأقرَّ بالعُبُودة، ولكنّه أُمِيت الفعلُ فلم يُستعمل، قال: 

Dikatakan: “Dia adalah seorang hamba yang jelas dalam penghambaan,” namun tidak ada penggunaan kata kerja dari akar ini. Seandainya ada, bentuknya adalah ‘abuda yang berarti “ia menjadi hamba dan mengakui kehambaannya”. Namun bentuk fi’il ini tidak dipakai dan dianggap mati.

وأمّا عَبَدَ يعبُد عِبادةً فلا يقال إلَّا لمن يعبُد اللهَ – تعالى – يقال منه: عَبَد يعبُد عبادة، وتعبَّد يتعبَّد تعبُّدًا، فالمتعبِّد: المتفرِّد بالعبادة، واستعبدتُ فلانًا: اتخذتُه عبدًا.

Adapun kata ‘abada ya‘budu ‘ibādah hanya digunakan untuk menyembah Allah Ta’ala, seperti dalam: ‘abada – ya‘budu – ‘ibādatan, dan ta‘abbada – yata‘abbadu – ta‘abbudan. Maka seseorang yang beribadah disebut muta‘abbid (orang yang mengkhususkan diri untuk beribadah). Ista‘badtuhu berarti: aku menjadikannya sebagai budak.

وأمّا عَبْد في معنى خَدَم مولاه، فلا يقال: عبَدَه، ولا يقال: يعبُد مَولاه، وأما قولنا: تعبَّدَ فلانٌ فلانًا، إذا صيَّره كالعبد له، وإن كان حُرًّا، قال:

Adapun kata ‘abd dalam makna melayani tuannya, maka tidak dikatakan ‘abadahu (ia menyembahnya), dan tidak pula dikatakan ya‘budu maulāhu (ia menyembah tuannya). Tapi dikatakan ta‘abbada fulānun fulānan, jika seseorang memperlakukan orang lain seperti budak, walaupun ia orang merdeka. Seperti dalam syair:

تَعبَّدَني نِمْرُ بنُ سعدٍ وَقَدْ أُرَى♦♦♦ وَنِمْرُ بْنُ سَعْدٍ لِي مُطِيعٌ وَمُهْطِعُ

“Nimr bin Sa’d telah memperbudakku — padahal aku melihat, bahwa Nimr bin Sa’d tunduk dan patuh kepadaku.”

ويقال: أعْبَدَ فلانٌ فلانًا؛ أي: جعله عبدًا، ويقال للمشركين: عَبَدة الطاغوتِ والأوثان، وللمسلمين: عُبّادٌ يعبدون الله – تعالى –

Dikatakan juga: a‘bada fulānun fulānan, artinya: ia menjadikannya sebagai budak. Kaum musyrik disebut “‘ābid ath-thāghūt” (penyembah thaghut dan berhala), sedangkan kaum muslimin disebut ‘ubbād, yaitu mereka yang menyembah Allah Ta’ala.

وذكر بعضُهم: عابدٌ وعَبَدٌ، كخادم وخَدَمٌ، وتأنيثُ العَبْد عَبْدَةٌ، كما يقال: مملوك ومملوكة، 

Sebagian ulama menyebut dua bentuk: ‘ābid dan ‘abad — sebagaimana khādim (pelayan) dan khadam. Bentuk feminin dari ‘abd adalah ‘abdah, sebagaimana mamlūk dan mamlūkah.

قال الخليل: والعِبِدَّاء: جماعة العَبِيد الذين وُلِدُوا في العُبودية، ومن الباب: البعير المعبَّد؛ أي: المهنُوء بالقَطِران، وهذا – أيضًا – يدلُّ على ما قلناه؛ لأن ذلك يُذِلُّه ويَخفِض منه،

Al-Khalil mengatakan: al-‘ibiddā’ adalah sekelompok budak yang lahir dalam perbudakan. Termasuk dari cabang makna ini adalah: al-ba‘īr al-mu‘abbad, yaitu unta yang dilumuri ter (qarṭārān). Ini juga menunjukkan makna yang kami sebutkan, karena hal tersebut membuatnya hina dan tunduk.

قال طرفة:

Syair Tarafah menyebut:

إِلَى أَنْ تَحَامَتْنِي الْعَشِيرَةُ كُلُّهَا ♦♦♦ وَأُفْرِدْتُ إِفْرَادَ الْبَعِيرِ الْمُعَبَّدِ

“Sampai seluruh kabilahku menjauhiku, dan aku menjadi sendiri, seperti unta jinak yang terasing.”

والمعبَّد: الذلول، يوصَف به البعير أيضًا، ومن الباب: الطريق المُعَبَّد، وهو المسلوك المذلَّل.

Mu‘abbad adalah sesuatu yang jinak dan tunduk, istilah ini juga digunakan untuk unta. Dari akar yang sama pula, dikenal istilah ṭarīq mu‘abbad (jalan mu‘abbad), yaitu jalan yang telah dilalui dan dijinakkan (mudah dilewati).

والأصل الآخَر: العَبَدة، وهي القُوَّة والصَّلابة؛ يقال: هذا ثوبٌ له عَبَدة، إذا كان صَفيقًا قويًّا، ومنهُ علقمة بن عَبَدَة، بفتح الباء،

Adapun akar kata kedua dari kata ‘ibadah adalah al-‘abada, yang bermakna kekuatan dan kekokohan. Contohnya: “Pakaian ini memiliki ‘abada” artinya kain itu tebal dan kuat. Dari akar ini pula berasal nama ‘Alqamah bin ‘Abadah (dengan fathah pada huruf ba’).

ومن هذا القياس العَبَد، مثل الأنَف والحميَّة، يقال: هو يَعْبَدُ لهذا الأمر.

Dari pola ini juga berasal kata al-‘abad seperti pada kata al-anaf (keengganan) dan al-hamiyyah (fanatisme). Dikatakan: “Dia ya‘bud karena urusan ini,” maksudnya: ia marah atau merasa hina terhadapnya.

وفسِّر قوله تعالى:

Makna ini juga menjadi penafsiran dari firman Allah Ta’ala:

﴿ قُلْ إِنْ كَانَ لِلرَّحْمَنِ وَلَدٌ فَأَنَا أَوَّلُ الْعَابِدِينَ ﴾ [الزخرف:٨١]؛ 

“Katakanlah: Jika benar bagi Ar-Rahman memiliki anak, maka aku adalah orang pertama dari para ‘abid.” (Surah Az-Zukhruf ayat 81)

أي: أوَّلُ مَن غَضِبَ عَنْ هذا وأنِف من قولِه،

Maksudnya adalah: “Aku adalah orang pertama yang marah dan menolak keras ucapan tersebut.”

وذُكر عن عليٍّ – رضي الله عنه – أنّه قال: عَبِدتُ فصَمَتُّ؛ أي: أنِفْتُ فسكَتُّ.

Diriwayatkan pula dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata: “‘Abidtu faṣamattu,” artinya: “Aku marah dan enggan, maka aku pun diam.”

وَيَعْبَدُ الْجَاهِلُ الْجَافِي بِحَقِّهِم ♦♦♦ بَعْدَ الْقَضَاءِ عَلَيْهِ حِينَ لَا عَبَدُ

“Orang bodoh yang kasar akan merasa marah setelah keputusan dijatuhkan terhadapnya, saat tak ada lagi rasa hina.”

وَأَعْبَدُ أَنْ تُهْجَى كُلَيْبٌ بِدَارِمِ

“Aku sangat marah jika Kulaib dihina oleh Bani Darim.”

أي: آنف مِن ذلك وأغضبُ منه،

Yakni: marah dan merasa hina terhadap hal itu.

في حديث أَبي هريرة: 

Dalam hadits Abu Hurairah disebutkan:

(لا يَقُل أَحدكم لمملوكه: عَبْدي وأَمَتي، وليقل: فتايَ وفتاتي)؛ 

“Janganlah salah seorang dari kalian mengatakan kepada budaknya: ‘abdi’ (budakku) atau ‘amatī’ (budak perempuanku), tapi katakanlah: ‘fatāya’ (pemudaku) dan ‘fatātī’ (gadis pelayanku).”

هذا على نفي الاستكبار عليهم وأَنْ يَنْسُب عبوديتهم إليه، فإِن المستحق لذلك الله – تعالى – هو ربُّ العباد كلهم والعَبيدِ، وجعل بعضهم (العِباد) لله، وغيرَه من الجمع لله والمخلوقين، 

Hadits ini melarang bentuk kesombongan terhadap budak dan menisbatkan perbudakan kepada diri sendiri, karena yang berhak atas semua penghambaan adalah Allah semata, Rabb seluruh hamba dan budak.

وخصَّ بعضهم بالعِبِدَّى العَبيدَ الذين وُلِدوا في المِلْك، والأُنثى عَبدة،

Sebagian ulama membedakan penggunaan: kata ‘ibād khusus untuk Allah, sedangkan kata ‘abīd bisa dipakai untuk hamba dan makhluk secara umum. Ada pula yang mengkhususkan al-‘ibiddā’ untuk budak-budak yang lahir dalam kondisi perbudakan. Bentuk feminin dari ‘abd adalah ‘abda.

قال الأَزهري: اجتمع العامة على تفرقة ما بين عِباد الله والمماليك، فقالوا: هذا عَبْد من عِباد الله، وهؤلاء عَبيدٌ مماليك، قال: 

Al-Azhari berkata: masyarakat umum sepakat membedakan antara “hamba-hamba Allah” (‘ibād Allāh) dan budak milik manusia (‘abīd). Mereka mengatakan: “Dia adalah hamba dari hamba-hamba Allah,” dan “mereka adalah budak-budak yang dimiliki.”

ولا يقال: عَبَدَ يَعْبُدُ عِبادة إِلا لمن يَعْبُد الله، ومَن عبد دونه إِلهًا فهو مِن الخاسرين، قال: وأَما عَبْدٌ خَدَمَ مولاه، فلا يقال: عَبَدَه، 

Dikatakan: ‘abada ya‘budu ‘ibādatan hanya digunakan untuk menyembah Allah. Siapa yang menyembah selain Allah, maka dia termasuk orang-orang yang merugi. Adapun ‘abdun khadama maulāhu (seorang budak yang melayani tuannya), maka tidak dikatakan ‘abadahu.

قال الليث: ويقال للمشركين: هم عَبَدَةُ الطاغوت، ويقال للمسلمين: عِبادُ الله يعبدون الله.

Menurut Al-Laits, orang-orang musyrik disebut sebagai ‘abid ath-thāghūt (penyembah berhala), dan orang-orang muslim sebagai ‘ibād Allāh, yaitu hamba-hamba yang menyembah Allah.

Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah

Sumber : Alukah



Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.