Hukum Ibadah Orang yang Tidak Membedakan antara Syarat, Kewajiban, dan Sunnah Ibadah



حكم عبادة من لا يميز بين شروط وواجبات وسنن العبادة

Hukum Ibadah Orang yang Tidak Membedakan antara Syarat, Kewajiban, dan Sunnah Ibadah

Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu

Artikel Hukum Ibadah Orang yang Tidak Membedakan antara Syarat, Kewajiban, dan Sunnah Ibadah ini termasuk dalam Kategori Tanya Jawab


السؤال

Pertanyaan:

ما هو شرح 

Apa penjelasan ayat :

الآية إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا 

“Sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebaikan”,

وهل الإنسان الذي يخلص لله في العمل دون العلم بمدى توافق هذا العمل مع ما جاءت به السنة يجازى به؟ وجزاكم الله خيراً.

dan apakah seseorang yang beramal dengan ikhlas kepada Allah tanpa mengetahui sejauh mana kesesuaian amal tersebut dengan apa yang dibawa oleh sunnah akan diberi ganjaran? Jazakumullahu khairan.

الإجابــة

Jawaban:

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه، أما بعد:

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga, dan para sahabat beliau, amma ba’du:

فقد قال الله تعالى:

Allah Ta’ala berfirman :

إِنَّهُ مَن يَتَّقِ وَيِصْبِرْ فَإِنَّ اللّهَ لاَ يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ {يوسف:٩٠}، 

“Sesungguhnya barangsiapa bertakwa dan bersabar maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan” (Yusuf: 90),

وقال تعالى: إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا {الكهف:٣٠}،

dan berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebaikan” (Al-Kahfi: 30).

وتفسير الآيتين واضح جداً، فتفسير الأولى كما ورد في تفسير الطبري هو: فإن الله لا يضيع أجر المحسنين، يقول: فإن الله لا يبطل ثواب إحسانه وجزاء طاعته إياه فيما أمره ونهاه.

Penafsiran dua ayat ini sangat jelas. Tafsir ayat pertama sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Ath-Thabari adalah: Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat ihsan, yakni Allah tidak membatalkan pahala perbuatan baiknya dan balasan ketaatannya kepada-Nya dalam perkara yang Allah perintahkan dan larang.

وتفسير الثانية كما هو عند ابن كثير: إنا لا نضيع أجر من أحسن عملاً. أي لا يكفر سعيه وهو عمله بل يشكر فلا يظلم مثقال ذرة.

Adapun penafsiran ayat kedua menurut Ibnu Katsir adalah: “Sesungguhnya Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebaikan.” Maksudnya, Allah tidak akan menghapuskan amalnya, bahkan akan mensyukurinya, dan tidak akan menzaliminya walau sebesar dzarrah.

وفيما يتعلق بالشق الثاني من السؤال فإنه يشترط لقبول العمل شرطان:

Adapun terkait bagian kedua dari pertanyaan, maka diterimanya amal ibadah memiliki dua syarat:

الأول: أن يكون خالصاً لله تعالى لا يقصد به إلا وجهه.

Pertama: Amal tersebut harus ikhlas karena Allah semata, tidak menginginkan selain wajah-Nya.

الثاني: أن يكون العمل موافقاً لسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم.

Kedua: Amal tersebut harus sesuai dengan sunnah Rasulullah ﷺ.

ويعبر العلماء عن هذين الشرطين بقولهم: الإخلاص والمتابعة. قال الفضيل بن عياض رحمه الله تعالى في قوله تعالى: 

Para ulama menyebut dua syarat ini dengan istilah ikhlas dan mutaba’ah. Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata tentang Firman Allah Ta’ala :

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا {الملك:٢}،

“Agar Dia menguji kalian siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya” (Al-Mulk: 2),

قال: أخلصه وأصوبه. وقال: إن العمل إذا كان خالصا ولم يكن صوابا لم يقبل، وإذا كان صوابا ولم يكن خالصاً لم يقبل حتى يكون خالصاً صواباً، قال: والخالص إذا كان لله عز وجل، والصواب إذا كان على السنة. وقد دل على هذا قول الله تعالى:

yakni yang paling ikhlas dan paling benar. Beliau berkata: Amal jika ikhlas tetapi tidak benar maka tidak akan diterima, dan jika benar tetapi tidak ikhlas maka juga tidak akan diterima, hingga amal itu ikhlas dan benar sekaligus. Ikhlas adalah jika dilakukan karena Allah ‘Azza wa Jalla, dan benar adalah jika sesuai sunnah. Hal ini juga dijelaskan dalam Firman Allah Ta’ala :

فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا {الكهف:١١٠}.

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia beramal shalih dan jangan mempersekutukan seorangpun dalam ibadahnya kepada Rabbnya” (Al-Kahfi: 110).

فلا بد أن يسلم العمل من الرياء المنافي للإخلاص، ومن البدعة المضادة للسنة، وبناء على ما ذكر فإذا كنت بقولك (دون العلم بمدى توافق هذا العمل مع ما جاءت به السنة)، تقصد الشخص الذي يعمل العمل الموافق للسنة في شكله، وهو لا يميز بين ما هو مشترط لصحة العبادة، وما هو واجب غير شرط، أو مستحب… إلخ، فعبادة مثل هذا الشخص فيها اختلاف بين أهل العلم من جهتين:

Maka amal harus bersih dari riya yang bertentangan dengan keikhlasan, dan dari bid’ah yang bertentangan dengan sunnah. Berdasarkan penjelasan ini, jika maksud Anda dengan ucapan “tanpa mengetahui sejauh mana kesesuaian amal ini dengan sunnah” adalah seseorang yang mengerjakan amal yang sesuai sunnah secara lahiriah, namun ia tidak membedakan mana yang merupakan syarat sah ibadah, mana yang wajib tetapi bukan syarat, atau yang sunnah, dan seterusnya, maka ibadah orang seperti ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dari dua sisi:

فمن جهة يُختلف فيما إذا كانت عبادته صحيحة أم لا، ومن جهة أخرى مختلف فيما إذا كان يؤجر أم لا، قال الدردير: 

Dari satu sisi, para ulama berbeda pendapat apakah ibadahnya sah atau tidak, dan dari sisi lain, mereka juga berbeda pendapat apakah ia mendapatkan pahala atau tidak. Ad-Dardir berkata :

والمراد بالعلم الذي هو شرط في صحتها أن يعلم كيفية ما ذكر ولو لم يميز الفرض من غيره بشرط أن يعلم أن فيها فرائض وسننا، أو يعتقد أن الصلاة مثلاً فرض على سبيل الإجمال، وأما إذا اعتقد أن جميع أجزائها سنن أو أن الفرض سنة، وكذا اعتقاد أن كل جزء منها فرض على قول فلا تصح له ولا لهم، والأظهر في هذا الأخير الصحة.

“Yang dimaksud dengan ilmu yang menjadi syarat sahnya ibadah adalah mengetahui tata cara pelaksanaannya seperti yang telah disebutkan, meskipun tidak membedakan antara fardhu dan selainnya, dengan syarat ia mengetahui bahwa di dalamnya terdapat fardhu dan sunnah, atau ia meyakini bahwa shalat misalnya, adalah fardhu secara global. Adapun jika ia meyakini bahwa seluruh bagiannya adalah sunnah, atau meyakini bahwa fardhu adalah sunnah, demikian pula keyakinan bahwa setiap bagian darinya adalah fardhu menurut satu pendapat, maka shalatnya tidak sah menurutnya dan menurut mereka. Namun pendapat yang lebih kuat dalam kasus terakhir ini adalah sah.”

وقال الدسوقي معلقاً: (قوله: وكذا اعتقاد أن كل جزء منها فرض) البطلان في هذه الصورة ذكره العوفي قائلاً من غير خلاف، ونقله تت في فرائض الوضوء، لكن قال شيخنا العدوي: وكلام العوفي فيما إذا حصل خلل؛ وإلا فلا بطلان.

Ad-Dusuqi berkomentar: “Perkataannya: ‘Demikian pula keyakinan bahwa setiap bagian darinya adalah fardhu’ — kebatalan dalam kasus ini disebutkan oleh Al-‘Awfi dengan mengatakan bahwa hal itu tanpa khilaf, dan dinukil oleh Tatt dalam pembahasan fardhu wudhu. Namun guru kami, Al-‘Adawi, berkata: Perkataan Al-‘Awfi itu berlaku jika terjadi kekeliruan; jika tidak ada kekeliruan, maka tidak batal.”

والحاصل أنه إذا أخذ صفتها عن عالم ولم يميز الفرض من غيره فإن صلاته صحيحة إذا سلمت من الخلل سواء علم أن فيها فرائض وسننا، أو اعتقد فرضية جميعها على الإجمال، أو اعتقد أن جميع أجزائها سنن، أو اعتقد أن الفرض سنة أو العكس، أو أنها فضيلة، أو اعتقد أن كل جزء منها فرض، 

Kesimpulannya, jika seseorang mengambil tata cara ibadah dari seorang alim dan tidak membedakan antara fardhu dan selainnya, maka shalatnya sah selama tidak terdapat kekeliruan, baik ia mengetahui bahwa di dalamnya ada fardhu dan sunnah, atau meyakini bahwa semuanya fardhu secara global, atau meyakini bahwa seluruh bagiannya adalah sunnah, atau meyakini bahwa fardhu adalah sunnah atau sebaliknya, atau bahwa itu adalah keutamaan, atau meyakini bahwa setiap bagiannya adalah fardhu.

وإن لم تسلم صلاته من الخلل فهي باطلة في الجميع. هذا هو المعتمد كما قرره شيخنا، ويدل له قوله عليه الصلاة والسلام:

Namun jika shalatnya mengandung kekeliruan, maka batal dalam semua kondisi tersebut. Inilah pendapat yang mu’tamad sebagaimana ditegaskan oleh guru kami. Dalilnya adalah sabda Nabi ﷺ :

صلوا كما رأيتموني أصلي. 

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”.

فلم يأمرهم إلا بفعل ما رأوا، وأهل العلم نوابه عليه الصلاة والسلام فهم مثله في الاقتداء بكل، فكأنه قال: صلوا كما رأيتموني أصلي أو رأيتم نوابي يصلون، إذا علمت هذا تعلم أن قول الشارح بشرط أن يعلم.. إلخ خلاف المعتمد. انتهى.

Beliau tidak memerintahkan mereka kecuali untuk melakukan apa yang mereka lihat. Para ulama adalah wakil beliau ﷺ, sehingga sama seperti mengikuti beliau dalam segala hal, seakan-akan beliau berkata: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat atau kalian melihat wakil-wakilku shalat.” Jika engkau memahami hal ini, engkau akan tahu bahwa perkataan pensyarah “dengan syarat ia mengetahui…” dan seterusnya, adalah menyelisihi pendapat yang mu’tamad. Selesai.

وذكر أحد أهل العلم اختلاف العلماء فيما إذا كان الجاهل يؤجر على عبادته أم لا، فقال:

Salah seorang ulama menyebutkan perbedaan pendapat ulama apakah orang yang jahil mendapatkan pahala atas ibadahnya atau tidak. Beliau berkata:

وابن أبي جمرة قد قال ففي * عبادة الجاهل أقوال تفي

فقيل يؤجر وقيل يؤزر * وقيل لا ولا وهوُ الأشهر

Ibnu Abi Jamrah berkata: “Dalam ibadah orang jahil terdapat beberapa pendapat yang mencukupi: ada yang mengatakan ia diberi pahala, ada yang mengatakan ia berdosa, dan ada yang mengatakan tidak diberi pahala dan tidak berdosa, dan ini yang lebih masyhur.”

والله أعلم.

Wallahu a’lam.

Sumber : IslamWeb



Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.