Makna-Makna Pendidikan Surah Al-Ikhlash (6)



دلالات تربوية من سورة الإخلاص

Makna-Makna Pendidikan dari Surah Al-Ikhlash (Bagian Keenam)

Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu

Artikel Makna Pendidikan Surah Al-Ikhlash ini termasuk dalam Kategori Tadabbur al Quran

٢) كما يثور التساؤل: لماذا ليس لله والد؛ لذا قال النبي صلى الله عليه وسلم

2) Timbul pertanyaan: mengapa Allah tidak memiliki orang tua? Nabi ﷺ bersabda:

لن يبرح الناس يتساءلون، حتى يقولوا هذا اللهُ خالقُ كلِّ شيء، فمن خلق الله؟

“Manusia akan terus saling bertanya, hingga mereka berkata: Ini Allah, Pencipta segala sesuatu, lalu siapa yang menciptakan Allah?” 1.

 ولو كان لله والد، لكان والده أحقَّ بالعبادة منه؛ لأنه سبب وجوده والقائم على تربيته، فلما كان الله – سبحانه – مستغنٍ عن الوالد والولد، استحق أن يكون إلهًا يعبد بحق دون سواه، وقد قصرتْ أفهام بعض الناس عن إدراك ذلك، والشرع يخاطبهم بما يعقلون.

Seandainya Allah memiliki orang tua, tentu orang tua tersebut lebih berhak untuk disembah karena menjadi sebab keberadaan-Nya dan yang merawat-Nya. Namun, karena Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā tidak membutuhkan orang tua maupun anak, Dia berhak untuk menjadi Tuhan yang disembah dengan benar tanpa sekutu. Hanya saja, sebagian manusia tidak mampu memahami hal ini, maka syariat berbicara kepada mereka sesuai dengan apa yang mereka pahami.

لذا قال النبي صلى الله عليه وسلم:

Karena itu Nabi ﷺ bersabda :

فمن وجد من ذلك شيئًا فليقل: آمنتُ بالل

“Barangsiapa mendapati hal itu (pikiran seperti itu) hendaklah ia berkata: Aku beriman kepada Allah.” 2.

وقال:

Beliau juga bersabda :

فإذا بلغ ذلك فليستعذ بالله ولينتهِ

“Apabila sampai kepadanya pikiran seperti itu, hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah dan menghentikannya.” 2.

وقد سُئل النبي صلى الله عليه وسلم عن الوسوسة فقال: 

Dan ketika Nabi ﷺ ditanya tentang waswas, beliau menjawab:

تلك محض الإيمان

“Itu adalah tanda kemurnian iman.”3.

إذًا طالما أن الشيطان يحاول أن يوسوسَ للإنسان بذلك، فإنه يعلم أن في قلبه إيمانًا يريد أن يصرفه عنه، لذا كان على المؤمن أن يفقهَ ذلك، ويتمسكَ بدينه، ويصرفَ الوسوسة عن نفسه بالاستعاذة بالله – تعالى – وليطمئنَّ قلبُه ولا يخاف؛ إذ جاء ناس من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم فسألوه: إنا نجد في أنفسنا ما يتعاظَمُ أحدُنا أن يتكلمَ به، قال: ((وقد وجدتموه؟)) قالوا: نعم، قال: 

Maka selama setan berusaha membisikkan hal tersebut kepada manusia, berarti setan tahu bahwa dalam hati orang itu ada iman, dan ia ingin memalingkannya dari iman itu. Karena itu, seorang mukmin harus memahami hal ini, berpegang teguh pada agamanya, dan menolak bisikan itu dengan berlindung kepada Allah Ta‘ālā, sambil menenangkan hatinya dan tidak merasa takut. Sebab, pernah sekelompok sahabat Nabi ﷺ datang dan berkata: “Kami mendapati dalam hati kami sesuatu yang salah seorang dari kami merasa berat untuk mengatakannya.” Beliau bersabda: “Apakah kalian merasakannya?” Mereka menjawab: “Ya.” Beliau bersabda :

ذاك صريح الإيمان

“Itu adalah tanda iman yang murni.” 4.

قال النووي: معناه: أن الشيطان إنما يوسوس لمن أيِس مِن إغوائه، فينكد عليه بالوسوسة، لعجزه عن إغوائه، وأما الكافر فإنه يأتيه من حيثُ شاء، ولا يقتصر فى حقِّه على الوسوسة، بل يتلاعبُ به كيف أراد،

Imam An-Nawawi berkata: Maknanya adalah bahwa setan hanya membisikkan (waswas) kepada orang yang ia sudah putus asa untuk menyesatkannya. Maka ia menyusahkan orang tersebut dengan waswas karena tidak mampu menyesatkannya. Adapun orang kafir, setan mendatanginya dari arah mana saja ia mau, dan tidak hanya terbatas pada waswas, tetapi ia dapat mempermainkannya sesuka hati.

أما إذا استمرَّت الوسوسة، فقد قسم الإمام النووي الخواطر قسمين؛ القسم الأول: وهي غيرُ المستقرة، ولا اجتلبتها شبهةٌ طرأت، فهي تُدفعُ بالإعراض عنها والاستعاذة بالله، كما أسلفنا، أما تلك الخواطر المستقرةُ التي أوجبتها الشبهةُ، فقال فيها: “فإنها لا تدفع إلا بالاستدلال والنظر فى إبطالها”، وهو ما ذكرنا له استدلالًا فيما سبق، شريطةَ أن يكون من أهل النظر والاستدلال.

Adapun jika waswas itu terus berlanjut, Imam An-Nawawi membagi bisikan pikiran menjadi dua bagian: Bagian pertama adalah pikiran yang tidak menetap dan tidak datang karena adanya suatu syubhat yang muncul. Pikiran ini dapat dihilangkan dengan mengabaikannya dan berlindung kepada Allah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan pikiran yang menetap karena adanya syubhat, maka ia berkata: “Pikiran seperti ini tidak dapat dihilangkan kecuali dengan argumentasi dan penelitian untuk membatalkannya.” Hal ini sebagaimana telah kami sebutkan dalilnya sebelumnya, dengan syarat orang tersebut termasuk dari kalangan yang ahli dalam argumentasi dan penelitian.

Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah

Sumber : Alukah

Catatan Kaki

  1. Hadits Riwayat Bukhari, no. 6866
  2. Hadits Riwayat Muslim, no. 134
  3. Hadits Riwayat Muslim, no. 132
  4. Hadits Riwayat Muslim, no. 132[13]


Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.