Hukum Syariat tentang Pajak dan Bea Cukai (3)



حكم الشرع في الضرائب والجمارك

Hukum Syariat tentang Pajak dan Bea Cukai (Bagian Ketiga)

Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu

Artikel Hukum Syariat tentang Pajak dan Bea Cukai ini termasuk dalam Kategori Tsaqafah Islamiyah

ومما لا شك فيه أن أخْذ الضريبة من الأفراد فيه استيلاء على جزء من مالهم وحرمان لهم من التمتع به، وهذا الحرمان إنما رُخِّص فيه؛ لأن الضرورة قضت به إذ لا يمكن القيام بالمصالح العامة بدونه، والمصلحة العامة مقدمة على المصلحة الخاصة.

Tidak diragukan lagi bahwa pengambilan pajak dari individu merupakan penguasaan atas sebagian harta mereka dan penghalangan mereka untuk menikmatinya. Namun, penghalangan ini diperbolehkan karena adanya kebutuhan darurat; sebab kepentingan umum tidak dapat terlaksana tanpa adanya pajak, dan kepentingan umum harus didahulukan atas kepentingan pribadi.

ولو تركت الدول الإسلامية في عصرنا دون ضرائب تنفق منها، لكان من المحتم أن تزول بعد زمن يسير من قيامها، وينخر الضعف كيانها من كل نواحيه، فضلًا عن الأخطار العسكرية عليها، فلقد أصبح التسليح ونفقات الجيوش في عصرنا مما يحتاج إلى موارد هائلة من المال.

Seandainya negara-negara Islam di masa kini ditinggalkan tanpa adanya pajak untuk belanja negara, niscaya dalam waktu singkat negara itu akan runtuh, dan kelemahan akan merusak sendi-sendi kekuatannya dari segala sisi, belum lagi ancaman militer terhadapnya. Sebab, persenjataan dan belanja militer pada zaman ini membutuhkan sumber dana yang sangat besar.

ومع هذا لم تعد القوة مقصورة على السلاح والجيوش؛ إذ لا بد من القوة والتفوق في شتى جوانب الحياة العلمية والصناعية والاقتصادية، وكل هذا يفتقر إلى أمداد غزيرة من المال، ولا سبيل إلى ذلك إلا بفرض الضرائب باعتبارها نوعًا من الجهاد بالمال؛ ليقوي الفرد أمته، ويحمي دولته، فيقوي بذلك نفسه، ويحمي دينه ودمه وماله وعرضه. انظر: “المحلى” (٢/ ١٠٧٧).

Selain itu, kekuatan kini tidak lagi terbatas pada senjata dan pasukan. Diperlukan pula kekuatan dan keunggulan dalam berbagai aspek kehidupan: ilmu pengetahuan, industri, dan ekonomi. Semua itu membutuhkan dukungan finansial yang besar. Tidak ada jalan lain kecuali melalui penetapan pajak yang dianggap sebagai bentuk jihad bil-māl (jihad dengan harta), agar individu memperkuat umatnya, melindungi negaranya, sekaligus memperkuat dirinya, agamanya, darahnya, hartanya, dan kehormatannya. Lihat: al-Muḥallā (2/1077). 1

وما سبق ذِكْره من أمور؛ كالدفاع والأمن والقضاء والتعليم والصحة والنقل والمواصلات والري والصرف وغير ذلك؛ ضروري لا يُمْكِن الاستغناء عنه للدولة الإسلامية، ولا لأي دولة، فمن أين للدولة أن تنفق على هذه المرافق وإقامة هذه المصالح؟

Hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya—seperti pertahanan, keamanan, peradilan, pendidikan, kesehatan, transportasi, komunikasi, irigasi, sanitasi, dan lainnya—semuanya merupakan kebutuhan vital yang tidak mungkin ditinggalkan oleh negara Islam, bahkan oleh negara manapun. Lantas, dari mana negara bisa membiayai fasilitas dan kepentingan umum tersebut?

والدولة الإسلامية سابقًا كانت تنفق على هذه المصالح من مصادر لم تَعد موجودة الآن؛ مثل: خمس الغنائم الحربية التي يستولي عليها المسلمون من أعدائهم المحاربين، أو مما أفاء الله عليهم من أموال المشركين بغير حرب ولا قتال، فلم يعد لإقامة مصالح الأمة مورد إلا فرض ضرائب بقدر ما يحقق المصلحة الواجب تحقيقها.

Pada masa lalu, negara Islam membiayai kepentingan-kepentingan ini dari sumber-sumber yang kini tidak lagi tersedia, seperti seperlima harta rampasan perang yang diperoleh kaum muslimin dari musuh yang memerangi mereka, atau harta yang Allah berikan tanpa peperangan dari orang-orang musyrik. Karena itu, tidak ada lagi sumber untuk menegakkan kemaslahatan umat kecuali dengan menetapkan pajak sesuai kadar yang diperlukan untuk merealisasikan maslahat yang wajib ditegakkan.

وقد أقرَّ جماعة من فقهاء المذاهب المتبوعة الضرائب، لكنهم لم يطلقوا عليها اسم “الضرائب”، فسمَّاها بعض الحنفية “النوائب” جمع نائبة، وهي اسم لما ينوب الفرد من جهة السلطان، بحق أو بباطل.

Sejumlah ulama dari mazhab-mazhab yang diikuti telah mengakui keberadaan pajak, meski mereka tidak menyebutnya dengan istilah “ḍarā’ib” (pajak). Sebagian ulama Hanafiyah menamainya dengan istilah “an-nawā’ib” (jamak dari nā’ibah), yaitu sesuatu yang dibebankan kepada individu dari pihak penguasa, baik dengan hak maupun tanpa hak.

جاء في حاشية “رد المحتار” للعلامة ابن عابدين في بيان معنى النوائب (٤/ ٢٨٢):

Dalam Hasyiyah Radd al-Muḥtār, karya al-‘Allāmah Ibnu ‘Ābidīn, dijelaskan tentang makna an-nawā’ib (4/282):

[ما يكون بحقٍّ كأجرة الحراس، وَكَرْيِ النهر المشترك، والمال الموظف لتجهيز الجيش، وفداء الأسرى إذا لم يكن في بيت المال شيء وغيرهما مما هو بحق، فالكفالة به جائزة بالاتفاق؛ لأنها واجبة على كل مسلمٍ مُوسِر بإيجاب طاعة ولي الأمر فيما فيه مصلحة المسلمين ولم يلزم بيت المال أو لزمه ولا شيء فيه. 

“Apa yang ditetapkan dengan hak, seperti upah para penjaga, biaya pengerukan sungai bersama, harta yang ditetapkan untuk persiapan pasukan, tebusan tawanan apabila Baitul Mal kosong, dan hal-hal lain yang memang haq, maka penjaminannya boleh menurut kesepakatan ulama. Sebab, hal itu wajib bagi setiap muslim yang mampu, dengan alasan ketaatan kepada waliyyul amr dalam perkara yang mengandung maslahat bagi kaum muslimin, sementara Baitul Mal tidak mampu menanggungnya atau tidak ada harta di dalamnya.

وإن أريد بها ما ليس بحقٍّ كالجبايات الموظفة على الناس في زماننا ببلاد فارس على الخيَّاط والصَّبَّاغ وغيرهم للسلطان في كل يوم أو شهر، فإنها ظلم] اهـ.

Namun apabila yang dimaksud adalah sesuatu yang tidak benar, seperti pungutan yang dibebankan kepada rakyat pada masa kami di negeri Persia—atas para penjahit, tukang celup, dan lainnya—untuk diberikan kepada penguasa setiap hari atau bulan, maka itu termasuk kezaliman.”

Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah

Sumber : Daar al Ifta

Catatan Kaki

  1. Ibnu Hazm, al-Muḥallā, 2/1077.


Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.