عالم إسلامي بلا فقر
Dunia Islam Tanpa Kemiskinan (Bagian Kedua)
Oleh : Dr. Rif‘at As-Sayyid Al-‘Audhi
Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu
Seluruh buku ini dapat dibaca pada Kategori Buku: Dunia Islam Tanpa Kemiskinan
ذلك أن التلبس والالتباس بين قيم الدين وصور وأشكال التدين حال دون الكثير من عمليات التصويب والتجديد والتقويم والمراجعة، وكرس التخلف والجمود، وأشاع جوا من الإرهاب الفكري والمطاردة لكل محاولات الإصلاح والخروج عن التقاليد والمألوف، وأقام على ساحة الفكر الإسلامي أنصابا وأزلاما وكهانات دينية تحاول أن تكتسب عصمتها من عصمة قيم الدين،
Sebab kerancuan dan ketercampuran antara nilai-nilai agama dengan bentuk serta model keberagamaan telah menghalangi banyak upaya koreksi, pembaruan, penilaian, dan peninjauan. Hal itu melanggengkan keterbelakangan dan stagnasi, serta menebarkan suasana teror intelektual dan perburuan terhadap setiap upaya reformasi yang mencoba keluar dari tradisi dan kebiasaan lama. Di arena pemikiran Islam pun berdiri simbol-simbol, berhala-berhala, dan institusi keagamaan yang berusaha mengklaim kesuciannya dari kesucian nilai-nilai agama itu sendiri.
وتدعي أن أي نقد أو تصويب أو مراجعة لاجتهادها وصور تدينها تعني الانتقاص من قيم الدين نفسه، أو على الأقل تتذرع بأن أي نقد وتقويم يبصر العدو بمواطن الخلل والضعف في الجسم الإسلامي فيتسلل منها ويتآمر على العمل للإسلام، وذلك بخلخلة الصفوف، وإنهاك الطاقات، دون أن تدري بأن العمل أو الصف الذي لا يصمد أمام التقويم والمراجعة بقيم الكتاب والسنة عمل لا يوثق به. لذلك امتدت العلل وصور من التدين المغشوش في جوانب كثيرة في حياة المسلمين على أكثر من صعيد.
Mereka menuduh setiap kritik, koreksi, atau peninjauan ulang terhadap ijtihad dan bentuk keberagamaan mereka sebagai penghinaan terhadap nilai agama, atau setidaknya berdalih bahwa kritik dan evaluasi semacam itu akan memperlihatkan kelemahan umat kepada musuh, sehingga ia bisa menyusup dan berkonspirasi melawan perjuangan Islam, dengan cara merusak barisan dan melemahkan tenaga. Padahal, barisan atau amal yang tidak mampu bertahan di hadapan evaluasi berdasarkan Al Quran dan Sunnah adalah amal yang tidak dapat dipercaya. Karena itu, penyakit dan bentuk keberagamaan yang palsu telah menjalar ke banyak sisi kehidupan kaum Muslimin di berbagai bidang.
وقد لا نبتعد كثيرا عن الصواب إن قلنا: إن الكثير من المعاني المطروحة في حياة المسلمين بشكل عام وبعض العاملين للإسلام بشكل خاص، أصبحت نظرية بعيدة عن واقع التطبيق وصبغ الحياة، أو تشكيلها الثقافي والسلوكي، وإنـمـا هـي تجريدات ذهنية أو لفظية تنقل من لسان إلى لسان، لذلك أصبحت غير مـقنعة وغـير مؤثرة، لأنـه حسب المشاهد فواقع أهلها السلوكي المناقـض دليـل عـلى أنـهم لا يؤمنون بها تمام الإيمان، ولا يقتنعون بها كامل القناعة ولا حتى المستطاع منها، بل قد نجد بعضهم بات يتسول بها الجاه والمال والجمهور والمناصب.
Mungkin tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa banyak makna yang diajukan dalam kehidupan kaum Muslimin secara umum, dan sebagian aktivis Islam secara khusus, telah menjadi teori kosong yang jauh dari realitas penerapan, jauh dari pewarnaan kehidupan, serta jauh dari pembentukan budaya dan perilaku. Semuanya hanyalah abstraksi mental atau ungkapan verbal yang berpindah dari satu lisan ke lisan lain. Karena itu, makna-makna tersebut tidak lagi meyakinkan dan tidak berpengaruh, sebab kenyataan perilaku para pengusungnya yang justru bertolak belakang menjadi bukti bahwa mereka tidak benar-benar beriman penuh kepadanya, tidak meyakininya sepenuh hati, bahkan tidak berusaha merealisasikan sebisanya. Bahkan ada di antara mereka yang menjadikan hal itu sebagai alat untuk mengemis kedudukan, harta, pengikut, dan jabatan.
من هـنا نقول: إنه لا بد أن ندرك الحكمة و العبرة مما قص علينا القرآن من علل تدين الأمم السابقة التي أدت إلى سقوطها وانهيارها، حتى لا تتسلل إلى أمة الرسالة الخاتمة. لقد قص علينا أن كثيرا من الأحبار والرهبان ليأكلون أموال الناس بالباطل، وأتبع ذلك مباشرة ببيان خـطورة الكـنز وحـجـب الـمـال عن التـداول،
Dari sinilah kita katakan: kita harus mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah yang Al Quran sampaikan tentang penyakit keberagamaan umat-umat terdahulu yang menyebabkan mereka jatuh dan hancur, agar penyakit itu tidak menyusup ke dalam umat risalah terakhir ini. Al Quran mengisahkan bahwa banyak pendeta dan rahib yang memakan harta manusia dengan cara batil, dan langsung setelah itu Al Quran menjelaskan bahaya menimbun harta dan menahannya dari peredaran.
قال تعالى: ( يا أيها الذين آمنوا إن كثيرا من الأحبار والرهبان ليأكلون أموال الناس بالباطل ويصدون عن سبيل الله والذين يكنزون الذهب والفضة ولا ينفقونها في سبيل الله فبشرهم بعذاب أليم ) (التوبة:٣٤).
Allah Ta’ala berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya banyak dari pendeta dan rahib memakan harta manusia dengan cara batil dan menghalangi dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritakanlah kepada mereka azab yang pedih.” (Surah At-Taubah: 34)
ذلك أن الإصابة إذا وصلت إلى الدعاة والمربين والمؤسسات التي تحمل سمات وشعارات دينية، أصبحنا معها كالغاص بالماء.
Jika penyakit ini sampai kepada para dai, para pendidik, dan lembaga yang membawa simbol dan slogan agama, maka keadaan kita menjadi seperti orang yang tercekat air—sulit bernapas, terhimpit, dan berbahaya.
وليس هـذا على مستوى الأفراد فقط، بل ولعل بعض المؤسسات أيضا التي طرحت شعارات الإسلام والعمل له، أصبحت بصور تدينها وممارساتها سبة في جبين الإسلام، مشوهة لصورته، ذلك أن الكثير من المسلمين عند تعاملهم مع هـذه المؤسسات إنما ينحازون إلى الإسلام، وليس إلى بعض الأشخاص القائمين على أمرها، ويصبرون على الصور المشوهة من التدين التي تمارس، والتعامل معها خوفا عليها وأملا في تصويب مسارها.
Hal ini tidak hanya terjadi pada individu, tetapi juga pada sebagian lembaga yang mengusung slogan Islam dan bekerja atas namanya. Dengan bentuk keberagamaan dan praktik yang mereka tampilkan, lembaga-lembaga itu justru menjadi noda di wajah Islam, mencoreng citranya. Banyak kaum Muslimin yang ketika berhubungan dengan lembaga-lembaga ini sebenarnya lebih karena kecintaan mereka kepada Islam, bukan kepada orang-orang yang mengelolanya. Mereka bersabar terhadap gambaran keberagamaan yang cacat itu, tetap berinteraksi dengannya karena rasa takut kehilangan lembaga tersebut dan harapan akan adanya perbaikan di masa depan.
لذلك نقول: بأنه لا بد من معاودة إحياء المعاني الإسلامية بالعمل، وليس بمزيد من الخطب وسماكة الحناجر أو بزيادة مساحاتها وأوقاتها.. لا بد من تعاهدها، والتواصي بها، والتدريب عليها، وتقويم المسالك، ومراجعتها وقياسها بالقيم المعيارية في الكتاب والسنة، التي تنطلق منها وتتمحور حولها،
Karena itu, kami katakan bahwa harus ada upaya menghidupkan kembali makna-makna Islam melalui amal nyata, bukan dengan memperbanyak khutbah, meninggikan suara, atau memperluas panggung dan waktu bicara. Makna-makna itu harus dijaga, saling diwasiatkan, dilatih, dan dipraktikkan; jalan-jalan yang ditempuh harus diluruskan, ditinjau, serta diukur dengan standar nilai yang terdapat dalam Al Quran dan Sunnah, yang darinya makna itu bersumber dan di sekitarnya berporos.
ذلك أن الاستمرار في طرحها من فوق المنابر ومن على المنصات بعيدا عن تمثلها على أرض الواقع وتقديم النماذج المثيرة للاقتداء بها، وتحول أهلها ليكونوا هـم أدوات ووسائل التغيير، بات يشكل ذهنية خطيرة ذات ثقافة يحكمها التوارث الاجتماعي، لا تثير قلقا على الحال ولا خوفا على الصواب.
Sebab, terus-menerus mengumandangkannya dari mimbar dan podium, tanpa diwujudkan dalam realitas nyata melalui teladan hidup yang menginspirasi untuk diikuti, justru menjadikan para pengusungnya sebagai hambatan, bukan agen perubahan. Mereka terjebak dalam pola pikir berbahaya, yang diwarnai budaya sosial turun-temurun, tanpa menimbulkan kekhawatiran terhadap kondisi yang salah maupun kegelisahan akan kebenaran.
ولعل الإشكالية الخطيرة هـي ابتكار أساليب للهروب من المسئولية، وذلك بأن نلقي بالتبعة على (الآخر ) ، واعتباره السبب الكامن وراء تدهورنا، دون أن ندري أننا ندين أنفسنا بأننا لسنا على مستوى عصرنا.. وإن تعذر ذلك وغاب فنخترع (آخر ) جاهزا وهو القدر، حيث ليس بالإمكان أفضل مما كان،
Masalah serius lain adalah munculnya cara-cara menghindar dari tanggung jawab, yaitu dengan melemparkan kesalahan kepada “pihak lain” dan menganggapnya sebagai sebab utama keterpurukan kita, padahal secara tidak sadar kita sedang menuding diri sendiri bahwa kita tidak mampu menyesuaikan diri dengan zaman. Jika itu pun tidak mungkin, kita menciptakan “pihak lain” fiktif, yaitu takdir, dengan alasan “tidak ada yang bisa lebih baik dari yang sudah terjadi”.
وكأن الحياة التي تخصنا دون غيرنا تسير بشكل قسري عشوائي لا منطق فيها، ولا سنن وقوانين لها عند أهل التخلف والهروب من التبعة والعجز عن الفهم السليم، وكأن ما نؤمن به من القدر أصبح يشكل عائقا يحول دون نهوضنا، فما علينا إذا أردنا النهوض إلا الانعتاق من القدر (! ) وبذلك نقفز من فوق التاريخ والعلم والحضارة والمنطق والتجربة التاريخية (الإسلام ) ، التي تجسدت بحراسة الوحي وكانت أكثر إيمانا وتطبيقا للقدر ومدافعة قدر بقدر أحب إلى الله.
Seakan-akan kehidupan kita berjalan secara paksa, acak, tanpa logika, tanpa sunnah dan hukum-hukum yang mengaturnya. Bagi mereka yang tenggelam dalam keterbelakangan dan kebiasaan lari dari tanggung jawab serta ketidakmampuan memahami secara benar, iman kepada takdir justru dijadikan penghalang kebangkitan. Padahal, bila kita benar-benar ingin bangkit, jalan yang harus ditempuh adalah menghadapi takdir dengan takdir. Demikianlah umat Islam yang pertama, yang sejarahnya terjaga oleh wahyu, justru lebih beriman kepada takdir dan lebih konsisten dalam mengamalkannya, dengan cara memanfaatkan takdir untuk melawan takdir, yang lebih dicintai Allah.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Negara Qatar Direktorat Penelitian dan Studi Islam
Leave a Reply