Dunia Islam Tanpa Kemiskinan (6)



عالم إسلامي بلا فقر

Dunia Islam Tanpa Kemiskinan (Bagian Keenam)

Oleh : Dr. Rif‘at As-Sayyid Al-‘Audhi

Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu

Seluruh buku ini dapat dibaca pada Kategori Buku: Dunia Islam Tanpa Kemiskinan

لذلك نقول: إن العملية متكاملة متراكبة، وإنه لا يمكن أن يتحقق النمو في جانب ويتجاور مع التخلف في جانب آخر، وأن المشكلة ليست فقرا في الموارد، وإنما في الثقافة المغشوشة وتجلياتها السياسية والاقتصادية والاجتماعية، حتى لنرى أن بناء الأمة المسلمة وتشكيلها أخذ بعدا ومحورا ثقافيا.

Karena itu kami katakan: proses ini bersifat menyeluruh dan saling terkait. Tidak mungkin ada pertumbuhan di satu sisi sementara sisi lain tetap terbelakang. Masalah yang dihadapi umat bukanlah kekurangan sumber daya, melainkan budaya yang rusak dan dampaknya yang menjelma dalam bentuk politik, ekonomi, dan sosial. Hingga akhirnya kita melihat bahwa pembangunan dan pembentukan umat Islam mengambil dimensi dan poros budaya.

فجغرافية الأمة المسلمة جغرافيا ثقافية عقدية وحدود تشكيلها حدود ثقافية، وعليه فإن المواطن في أمة الإسلام مواطن عالمي، أينما كان، يرتبط بالعقيدة والثقافة الإسلامية، علما وعملا، فكرا وفعلا، عقيدة وعبادة.

Geografi umat Islam adalah geografi budaya dan akidah; batas-batas pembentukannya adalah batas-batas budaya. Karena itu, seorang warga dalam umat Islam adalah warga dunia, di mana pun ia berada, terikat dengan akidah dan budaya Islam—dalam ilmu dan amal, pemikiran dan tindakan, akidah dan ibadah.

وبذلك يرتقي الإسلام بإنسانية الإنسان، ويجعل القيمة الأساس لاختياره، والولاء الأول لعقيدته، وليس لسائر الفوارق البشرية من لون أو أرض أو جنس، وإن كانت تلك أمور واقعية يشارك فيها الإنسان المخلوقات الأخرى، لكنه يتميز عليها بالإرادة والاختيار.

Dengan demikian, Islam mengangkat martabat kemanusiaan manusia dan menjadikan akidah sebagai nilai utama dalam pilihannya, serta loyalitas pertama bagi dirinya. Bukan warna kulit, tanah kelahiran, atau jenis keturunan yang menjadi ukuran utama—meskipun semua itu adalah kenyataan hidup yang juga dimiliki makhluk lain—tetapi manusia dibedakan dengan kemauan dan kemampuannya untuk memilih.

ولعلنا ندرك بهذه الرؤية والفلسفة المبكرة لبناء الأمة إنسانية الدعوة وعالمية الرسالة وبعض جوانب الخلود في هـذا الدين، الذي هـو الدين الخاتم، والذي يتعامل مع عالم مستقبلي سوف تنهار فيه الحدود والسدود المادية، ويتحول التدافع إلى ساحة الثقافات، وتتشكل التكتلات الدولية بدافع من الرؤية المشتركة لجوانب الحياة، اقتصاديا وسياسيا وثقافيا، إلخ.

Dari sini kita dapat memahami bahwa dengan visi dan filosofi awal pembangunan umat, tersingkaplah sisi kemanusiaan dakwah, universalitas risalah, serta sebagian aspek kekekalan agama ini—agama penutup yang akan berhadapan dengan dunia masa depan, di mana batas-batas material akan runtuh, persaingan akan berpindah ke ranah budaya, dan blok-blok internasional akan terbentuk berdasarkan visi bersama tentang kehidupan: ekonomi, politik, budaya, dan seterusnya.

وإذا اقتضت الظروف والجغرافيا السياسية أن تتشكل دار للإسلام، حيث تمثل الأرض التي يلتزم أهلها بشريعة الإسلام، فإن الأمة المسلمة تبقى ذات بعد آخر، حيث المؤمنون إخوة، أينما كانوا، فالمؤمن في أي أرض فهو واحد من أمة الإسلام. حتى أن المعيار المطلوب لانتسابه لأمة الإسلام، أن يكون مؤمنا، بضرب النظر عن لونه وأرضه وجنسه وزمن إيمانه، فمجرد أن يؤمن يصبح عضوا في أمة الإسلام، ومواطنا عالميا في دولة الإسلام.

Dan sekalipun kondisi serta geopolitik meniscayakan terbentuknya sebuah Darul Islam—yakni sebuah wilayah yang penduduknya berpegang pada syariat Islam—namun umat Islam tetap memiliki dimensi lain: persaudaraan iman yang melintasi batas negara. Seorang mukmin, di mana pun ia berada, adalah bagian dari umat Islam. Tolok ukur keanggotaannya dalam umat ini hanyalah keimanannya, tanpa memandang warna kulit, tanah kelahiran, bangsa, atau kapan ia beriman. Begitu seseorang beriman, ia langsung menjadi anggota umat Islam dan warga dunia dalam negara Islam.

ولعلنا نقول: إن هـذه الفلسفة وهذه الرؤية المبكرة، كان يمكن أن تعتبر في الماضي من الأحلام أو أحلام اليقظه غير الواقعية، حتى أصبحت اليوم مسعى عالميا، ومطلبا عالميا، وفعلا عالميا أيضا.

Mungkin kita dapat mengatakan bahwa filosofi dan visi awal ini dahulu bisa dianggap sebagai mimpi, atau sekadar lamunan yang tidak realistis. Namun kini ia telah menjadi sebuah aspirasi global, sebuah tuntutan dunia, bahkan sebuah gerakan nyata di tingkat internasional.

وهذا المفهوم الثقافي للأمة، وعامل تشكيلها، الذي يتأسس على الإرادة والاختيار المفتوح للناس جميعا، ينأى بالأمة المسلمة عن التعصب والطائفية والإقليمية والتحزب والتشرنق، ويجعل الأمة أمة منفتحة مشـرعة الأبواب لدخول كل مـن يقـتنع بعـقيدتها وثقـافـتها عـن طواعية واختيار.

Konsep kultural tentang umat, sebagai faktor pembentukannya, didasarkan pada kehendak dan pilihan terbuka bagi seluruh manusia. Konsep ini menjauhkan umat Islam dari fanatisme, sektarianisme, regionalisme, partai sempit, dan sikap menutup diri. Sebaliknya, ia menjadikan umat sebagai komunitas yang terbuka, dengan pintu yang senantiasa terbuka lebar bagi siapa saja yang meyakini akidah dan budayanya dengan kerelaan dan pilihan bebas.

والحضارة المعاصرة الغالبة اليوم، على الرغم من جبروتها المادي والتقني وغلبتها العسكرية، باتت غير مقتنعة بالغلبة المادية العسكرية، وبدأت تتطلع إلى تسييد ثقافتها، وعولمة مفاهيمها، ومحاولة احتواء واستيعاب الحضارات والثقافات لصالح ثقافتها، واعتبار الصراع الحقيقي صراعا ثقافيا، فهو الحقيقة التي تتجلى بصور اقتصادية وسياسية وعسكرية واجتماعية.

Peradaban modern yang dominan hari ini, meski memiliki kekuasaan material dan teknologi serta keunggulan militer, semakin tidak lagi percaya bahwa dominasi material-militer cukup untuk menguasai dunia. Ia kini menoleh kepada hegemoni budaya, globalisasi konsep-konsepnya, serta upaya menguasai dan menyerap peradaban serta budaya lain demi kepentingannya. Pertarungan yang sesungguhnya dianggap sebagai pertarungan kultural, yang hakikatnya kemudian menampakkan diri dalam bentuk ekonomi, politik, militer, dan sosial.

ولعل من اللافت أن الأمة المسلمة، ومنذ وقت مبكر، تشكلت من خلال كتاب، و تميزت عن أمم الحجارة والتضاريس الجغرافية بالفكر والثقافة، حيث كانت الرابطة الأعم في ذلك الوقت هـي رابطة القبيلة.. والقبيلة عمليا هـي العائلة الكبيرة، أو الأسرة الممتدة القائمة على روابط الدم والعادات والتقاليد والمساكن المتجاورة على أرض واحدة.. لقد تشكلت الأمة من خلال الرؤية الثقافية.

Menarik untuk dicatat bahwa umat Islam sejak awal terbentuk melalui sebuah kitab. Mereka berbeda dari bangsa-bangsa lain yang terikat pada batu, tanah, dan geografis belaka. Umat Islam dibedakan dengan pemikiran dan budaya, sementara ikatan paling umum saat itu adalah ikatan kabilah—yang pada hakikatnya hanyalah keluarga besar atau klan yang didasarkan pada darah, tradisi, dan tempat tinggal yang berdekatan di satu wilayah. Dengan demikian, umat Islam terbentuk melalui visi budaya.

وبالإمكان القول: إن الأساس الذي شكل الأمة المسلمة هـو القرآن، والقرآن وحده هـو المؤهل لإعادة التشكيل.

Dapat dikatakan bahwa fondasi yang membentuk umat Islam adalah Al Quran, dan hanya Al Quran pula yang layak serta mampu untuk melakukan pembentukan kembali.

Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah

Sumber : Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Negara Qatar Direktorat Penelitian dan Studi Islam

Dunia Islam Tanpa Kemiskinan | Umar Ubaid Hasanah | Rif‘at As-Sayyid Al-‘Audhi | kritik keberagamaan | penyakit umat



Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.