تقوم على الفتوى لجنة شرعية متخصصة
Fatwa Dikeluarkan oleh Komite Syariah Khusus (Bagian Pertama)
Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu
Artikel Fatwa Dikeluarkan oleh Komite Syariah Khusus ini masuk dalam Kategori Tanya Jawab
السؤال
Pertanyaan:
فضيلة الشيخ حبذا لو شرحتم لنا كيفية الرد على هذا الكم الهائل من الأسئلة: الشرعية والدينية والقانونية.
Wahai Syaikh yang mulia, alangkah baiknya jika Anda menjelaskan kepada kami bagaimana cara menjawab begitu banyak pertanyaan: syar’i, agama, maupun hukum.
فهل تتم الفتوى حسب اجتهادكم وعلمكم الوفير أم إن اجتهادكم مأخوذ من الأئمة أم من السنة أم من القرآن الكريم؟
Apakah fatwa diberikan berdasarkan ijtihad dan ilmu Anda sendiri, ataukah ijtihad itu diambil dari para imam, atau dari Sunnah, atau dari Al Quran?
وهل هناك تفاوت في الفتوى بين شيخ وآخر؟
Apakah ada perbedaan fatwa antara seorang ulama dan ulama lainnya?
وما موقف الشريعة الإسلامية القانونية في اختلاف الفتوى بين شيخ وآخر، ونتيجة هذا الاختلاف ماذا يفعل السائل إذا سأل سؤالاً واختلف عليه المشايخ في الرد مثال ذلك: أن يفتي شيخ على نظام الأئمة الأربعة، وبطبيعة الحال هناك اختلاف بينهم في الاجتهادات العلمية الدينية؟
Apa posisi hukum syariah Islam mengenai adanya perbedaan fatwa di antara mereka? Apa yang harus dilakukan seorang penanya jika ia bertanya dan mendapati perbedaan jawaban dari para ulama? Sebagai contoh, seorang ulama berfatwa berdasarkan mazhab empat imam, sedangkan di antara mereka memang terdapat perbedaan dalam ijtihad keilmuan keagamaan.
وجزاكم الله كل خير.
Jazakumullah khairan.
الإجابــة
Jawaban:
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى أله وصحبه، وبعد:
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga, dan para sahabat beliau, amma ba’du:
فإن الفتوى من الأمور الجليلة الخطيرة، التي لها منزلة عظيمة في الدين، قال تعالى:
Fatwa adalah perkara agung dan berbahaya, yang memiliki kedudukan besar dalam agama. Allah Ta’ala berfirman :
وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ {النساء: ١٢٧}،
“Mereka meminta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka.” (Surah An-Nisaa: 127).
وقال تعالى:
Allah Ta’ala juga berfirman :
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ {النساء: ١٧٦}.
“Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah. Katakanlah: Allah memberi fatwa kepada kalian tentang kalalah.” (Surah An-Nisaa: 176).
وقد كان النبي -صلى الله عليه وسلم- يتولى هذا الأمر في حياته، وكان ذلك من مقتضى رسالته، وكلفه ربه بذلك قال تعالى:
Pada masa hidupnya, Nabi ﷺ sendiri yang menangani urusan fatwa ini, karena itu bagian dari risalahnya, dan Allah telah membebankan hal itu kepadanya. Allah Ta’ala berfirman :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ {النحل: ٤٤}.
“Dan Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr (Al Quran), agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka berpikir.” (Surah An-Nahl: 44).
والمفتي خليفة النبي -صلى الله عليه وسلم- في أداء وظيفة البيان -نسأل الله العون والصفح عن الزلل- والمفتي مُوَّقِّع عن الله تعالى، قال ابن المنكدر: العالم موقع بين الله وبين خلقه فلينظر كيف يدخل بينهم.
Mufti adalah penerus Nabi ﷺ dalam menjalankan tugas menjelaskan hukum—kita memohon kepada Allah pertolongan dan ampunan dari kesalahan—dan mufti adalah penandatangan hukum Allah. Ibnu Al-Munkadir berkata: “Seorang alim adalah perantara antara Allah dan makhluk-Nya, maka hendaklah ia memperhatikan bagaimana ia masuk di antara mereka.”
والمعمول به في هذا الموقع هو الإفتاء بمقتضى الكتاب والسنة والإجماع وقياس أهل العلم.
Yang berlaku di situs ini adalah memberikan fatwa berdasarkan Al Quran, Sunnah, ijma’, dan qiyas para ulama.
وإن كان ثمة تعارض فإننا لا نتخير إلا الراجح في المسألة والأقوى دليلاً، ولسنا بالخيار نأخذ ما نشاء ونترك ما نشاء.
Jika terdapat perbedaan, maka kami hanya memilih pendapat yang paling rajih (kuat) dan paling kokoh dalilnya. Kami tidak berhak memilih seenaknya mana yang kami ambil dan mana yang kami tinggalkan.
وقد قال الإمام النووي -رحمه الله-: ليس للمفتي والعامل في مسألة القولين أن يعمل بما شاء منها بغير نظر، بل عليه العمل بأرجحهما. اهـ.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Tidak halal bagi mufti dan orang yang beramal dalam masalah yang memiliki dua pendapat untuk memilih mana yang ia kehendaki tanpa pertimbangan, melainkan ia wajib beramal dengan yang lebih rajih di antara keduanya.” (selesai).
ولا شك أن الفتوى قد تختلف من مفت إلى آخر حسب الحظ من العلم والبلوغ فيه.
Tidak diragukan lagi bahwa fatwa bisa berbeda antara seorang mufti dan mufti lainnya, sesuai kadar ilmu dan tingkat pemahamannya.
وكذلك لا نتتبع رخص المذاهب وسقطات أهل العلم، حيث عد بعض أهل العلم -منهم أبو إسحاق المروزي وابن القيم- من يفعل ذلك فاسقاً، وقد خطَّأ العلماء من يسلك هذا الطريق وهو تتبع الرخص والسقطات؛ لأن الراجح في نظر المفتي هو ظنه حكم الله تعالى، فتركه والأخذ بغيره لمجرد اليسر والسهولة استهانة بالدين.
Kami juga tidak mengikuti keringanan mazhab atau kesalahan ulama. Sebagian ulama—seperti Abu Ishaq al-Marwazi dan Ibnu al-Qayyim—menganggap orang yang melakukan itu sebagai fasik. Para ulama mengingkari cara seperti itu, yaitu mengikuti rukhshah (keringanan) dan kesalahan, sebab pendapat yang rajih menurut seorang mufti adalah yang ia yakini sebagai hukum Allah. Meninggalkannya dan memilih pendapat lain hanya karena lebih mudah adalah bentuk meremehkan agama.
والسائل أو المستفتي يسأل من يثق في علمه وورعه، وإن اختلف عليه جوابان فإنه ليس مخيرا بينهما أيهما شاء يختار، بل عليه العمل بنوع من الترجيح، من حيث علمُ المفتي وورعُه وتقواه.
Seorang penanya hendaknya bertanya kepada ulama yang ia percayai ilmu dan ketakwaannya. Jika ia mendapatkan dua jawaban yang berbeda, ia tidak boleh memilih seenaknya salah satunya, melainkan harus melakukan tarjih (memilih yang lebih kuat), dengan menimbang ilmu, kewara’an, dan ketakwaan si mufti.
قال الشاطبي رحمه الله: لا يتخير؛ لأن في التخير إسقاط التكليف، ومتى خيرنا المقلدين في اتباع مذاهب العلماء لم يبق لهم مرجع إلا اتباع الشهوات والهوى في الاختيار.
Asy-Syathibi rahimahullah berkata: “Tidak boleh memilih bebas, sebab kebebasan memilih berarti menggugurkan taklif. Jika kita membiarkan orang awam bebas memilih dari pendapat para ulama, maka rujukan mereka tidak lain hanyalah hawa nafsu dalam menentukan pilihan.”
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : IslamWeb
Leave a Reply