الستر على المسلم ..استحباب أم وجوب أم حرمة
Menutupi Aib Seorang Muslim: Sunnah, Wajib, atau Haram? (Bagian Pertama)
Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu
Artikel Menutupi Aib Seorang Muslim: Sunnah, Wajib, atau Haram? ini masuk dalam Kategori Tanya Jawab
السؤال
Pertanyaan:
قيل إن ستر المسلم سنة فكيف يكون سنة وليس بواجب إذا كان كل المسلم على المسلم حرام دمه وماله وأيضا عرضه وليس هناك أصح من القرآن حيث يقول الله تعالى:
Dikatakan bahwa menutupi aib seorang Muslim adalah sunnah. Bagaimana bisa dikatakan sunnah dan bukan wajib, padahal seluruh darah, harta, dan kehormatan seorang Muslim itu haram bagi Muslim lainnya? Tidak ada yang lebih benar dari Al Quran, di mana Allah Ta’ala berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ ـ
“Sesungguhnya orang-orang yang suka agar (berita) perbuatan keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat, dan Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (Surah An Nur ayat 19).
وإذا كان الله سيفضح من فضح مسلما يوم القيامة على رؤوس الأشهاد؟ لأنه لو كان هذا الكلام صحيحا لكان معنى ذلك أن الله لا يهدي الإنسان بشرعه لما هو خير له.
Dan jika Allah akan membongkar aib orang yang membongkar aib seorang Muslim di hari kiamat di hadapan seluruh makhluk, bagaimana hal itu bisa dianggap tidak wajib? Jika benar demikian, berarti Allah tidak memberi petunjuk kepada manusia melalui syariat-Nya untuk sesuatu yang terbaik bagi mereka.
الإجابــة
Jawaban:
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه، أما بعد:
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabat beliau, amma ba’du:
فإن الفقهاء لم يتفقوا على القول باستحباب الستر، بل منهم من قال بوجوبه، وإن لم يكن هذا قول أكثرهم، جاء في الموسوعة الفقهية: وَمِنَ الْمُقَرَّرِ شَرْعًا: أَنَّ السَّتْرَ عَلَى الْمُسْلِمِ وَاجِبٌ لِمَنْ لَيْسَ مَعْرُوفًا بِالأْذَى وَالْفَسَادِ، فَقَدْ قَال النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
Para fuqaha tidak sepakat dalam menetapkan bahwa menutupi aib itu hanya mustahabb (sunnah). Sebagian berpendapat bahwa hal itu wajib, meskipun bukan pendapat mayoritas. Dalam Al-Mausu‘ah Al-Fiqhiyyah disebutkan: “Telah ditetapkan secara syar’i bahwa menutupi aib seorang Muslim itu wajib selama orang tersebut tidak dikenal sebagai pelaku kejahatan dan kerusakan. Rasulullah ﷺ bersabda :
مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَل يَوْمَ الْقِيَامَةِ،
‘Barang siapa menutupi aib seorang Muslim, Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat.’
قَال فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ: وَهَذَا السَّتْرُ فِي غَيْرِ الْمُشْتَهِرِينَ، وَقَال ابْنُ الْعَرَبِيِّ: إِذَا رَأَيْتَ إِنْسَانًا عَلَى مَعْصِيَةٍ فَعِظْهُ فِيمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ وَلاَ تَفْضَحْهُ. انتهى.
Dalam Syarh Shahih Muslim dijelaskan bahwa menutupi di sini berlaku bagi mereka yang tidak dikenal berbuat maksiat secara terang-terangan. Ibnu al-‘Arabi berkata: ‘Jika engkau melihat seseorang melakukan maksiat, maka nasihatilah dia di antara engkau dan dia saja, dan jangan membongkarnya.’” (selesai kutipan).
وفيها أيضا:
Masih dalam Al-Mausu‘ah Al-Fiqhiyyah disebutkan pula :
وَكَوْنُ التَّرْكِ ـ أي ترك الرفع إلى الحاكم ـ مَنْدُوبًا هُوَ قَوْلٌ لِبَعْضِ الْمَالِكِيَّةِ،
“Adapun meninggalkan pelaporan kepada hakim hukumnya mustahabb (dianjurkan) menurut sebagian ulama Malikiyyah.
وَفِي الْمَوَّاقِ:
Dalam Al-Mawwaq disebutkan :
سَتْرُ الإْنْسَانِ عَلَى نَفْسِهِ وَعَلَى غَيْرِهِ وَاجِبٌ، وَحِينَئِذٍ يَكُونُ تَرْكُ الرَّفْعِ وَاجِبًا،
Menutupi aib diri sendiri dan orang lain adalah wajib, dan ketika itu meninggalkan pelaporan juga menjadi wajib.
وَقَال صَاحِبُ الطَّرِيقَةِ الْمُحَمَّدِيَّةِ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ:
Ulama Hanafiyyah dalam kitab At-Thariqah Al-Muhammadiyyah berkata :
مَا وَقَعَ فِي مَجْلِسٍ مِمَّا يُكْرَهُ إِفْشَاؤُهُ إِنْ لَمْ يُخَالِفِ الشَّرْعَ يَجِبُ كِتْمَانُهُ، وَإِنْ خَالَفَ الشَّرْعَ، فَإِنْ كَانَ حَقًّا لِلَّهِ تَعَالَى، وَلَمْ يَتَعَلَّقْ بِهِ حُكْمٌ شَرْعِيٌّ، كَالْحَدِّ وَالتَّعْزِيرِ فَكَذَلِكَ، وَإِنْ تَعَلَّقَ بِهِ حُكْمٌ شَرْعِيٌّ فَلَكَ الْخِيَارُ، وَالسَّتْرُ أَفْضَل كَالزِّنَا وَشُرْبِ الْخَمْرِ، وَإِنْ كَانَ حَقُّ الْعَبْدِ، فَإِنْ تَعَلَّقَ بِهِ ضَرَرٌ لإِحَدٍ مَالِيٌّ أو بَدَنِيٌّ، أَو حُكْمٌ شَرْعِيٌّ كَالْقِصَاصِ وَالتَّضْمِينِ، فَعَلَيْكَ الإْعْلاَمُ إِنْ جَهِل، وَالشَّهَادَةُ إِنْ طَلَبَ، وَإِلاَّ فَالْكَتْمُ. انتهى.
Apa pun yang terjadi dalam suatu majelis yang makruh untuk disebarkan, jika tidak bertentangan dengan syariat, wajib dirahasiakan. Jika bertentangan dengan syariat, maka bila termasuk hak Allah Ta’ala dan tidak terkait dengan hukum syar’i seperti hudud dan ta’zir, maka tetap harus ditutupi. Namun bila terkait dengan hukum syar’i, maka engkau punya pilihan, dan menutupi lebih utama, seperti dalam kasus zina dan minum khamar. Jika menyangkut hak manusia dan terdapat bahaya terhadap seseorang baik dalam bentuk harta, fisik, atau hukum seperti qishash dan ganti rugi, maka wajib memberitahukan jika orang yang bersangkutan tidak tahu, dan wajib bersaksi jika diminta. Jika tidak, maka sebaiknya tetap merahasiakannya.” (selesai kutipan).
على أن القائلين بالاستحباب اعتمدوا فيما قرروه على أدلة شرعية من تصرف الصحابة ـ رضي الله عنهم ـ
Adapun mereka yang berpendapat bahwa menutupi aib itu hukumnya sunnah, mereka berdalil dengan dalil-dalil syar’i dari perbuatan para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
ولا يرد عليهم ما ورد في السؤال لأن العاصي هو الذي سلط على عرضه بارتكاب المعصية، وليس رفع أمره للحاكم ليقيم الحد عليه من إشاعة الفاحشة في الذين آمنوا إذا كان المقصد زجر العاصي وردع من يهم بمثل معصيته،
Pendapat ini tidak bertentangan dengan dalil yang disebutkan dalam pertanyaan, karena orang yang berbuat maksiat sendirilah yang membuka aibnya dengan perbuatannya, bukan karena orang lain mengadukannya ke hakim untuk ditegakkan hukuman terhadapnya. Melaporkannya bukan termasuk menyebarkan kejahatan di tengah orang beriman, jika tujuannya adalah untuk menegur pelaku maksiat dan mencegah orang lain yang hendak melakukan perbuatan serupa.
والآية نزلت في من قذفوا أم المؤمنين ورموها بما برأها الله منه كما هو معلوم، فمثل هذا هو الذي يستحق هذا الوعيد وهو من يقذف المسلمين بما برأهم الله منه أو يفعل مثل فعله مما يدل على حبه لإشاعة الفاحشة في الذين آمنوا،
Adapun ayat yang disebutkan turun berkenaan dengan orang-orang yang menuduh Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu ‘anha. dengan tuduhan yang telah Allah sucikan darinya. Maka orang-orang seperti itulah yang berhak mendapatkan ancaman tersebut, yaitu orang yang menuduh kaum Muslimin dengan sesuatu yang Allah telah bersihkan mereka darinya, atau melakukan hal serupa yang menunjukkan kecintaannya terhadap tersebarnya perbuatan keji di kalangan orang beriman.
قال القاسمي رحمه الله: إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفاحِشَةُ ـ أي تنتشر الخصلة المفرطة في القبح، وهي الفرية والرمي بالزنى ونحوه كاللواط وما عظم فحشه فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيا أي من الحدّ وغيره، مما يتفق من البلايا الدنيوية وَالْآخِرَةِ أي من عذاب النار وَاللَّهُ يَعْلَمُ أي ما في القلوب من الأسرار والضمائر وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ يعني أنه قد علم محبة من أحب الإشاعة، وهو معاقبه عليها. انتهى.
Al-Qasimi rahimahullah berkata: “Sesungguhnya orang-orang yang suka agar perbuatan keji tersebar — maksudnya agar tersebar sifat yang sangat buruk, yaitu fitnah dan tuduhan zina serta perbuatan keji lain seperti homoseksual dan perbuatan menjijikkan lainnya — bagi mereka azab yang pedih di dunia, yaitu dengan hukuman had atau musibah duniawi lainnya, dan di akhirat berupa azab neraka. Allah mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati berupa rahasia dan niat, sedangkan kalian tidak mengetahui. Maksudnya, Allah mengetahui siapa yang mencintai tersebarnya kejahatan, dan Dia akan menghukumnya karenanya.” (selesai kutipan).
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : IslamWeb
Leave a Reply