Hukum Bersalaman dengan Orang Kafir, Memeluk & Menciumnya
Kompilasi dan Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu
Artikel Hukum Bersalaman dengan Orang Kafir masuk dalam Kategori Aqidah dan Tanya Jawab
السؤال
Pertanyaan
جزى الله القائمين على هذا الموقع خير الجزاء وأسكنهم فسيح جناته وغفر لهم ورحمهم،
Semoga Allah membalas kebaikan kepada para pengelola situs ini, memasukkan mereka ke dalam surga-Nya yang luas, mengampuni mereka, dan merahmati mereka.
والسؤال هو: علمت أن مصافحة الكافر مكروهة عند الإمام أحمد، فكيف بالمعانقة والتقبيل للكافر؟ وما حكم معانقة الكافر وتقبيله مع بيان الدليل الشرعي؟
Pertanyaannya adalah: Saya mengetahui bahwa berjabat tangan dengan orang kafir dianggap makruh menurut Imam Ahmad. Lalu, bagaimana hukumnya memeluk dan mencium orang kafir ? Apa hukumnya memeluk dan mencium orang kafir dengan penjelasan dalil syar’i ?
أفيدونا أفادكم الله.
Mohon penjelasannya, semoga Allah memberikan manfaat kepada Anda.
الإجابــة
Jawaban
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعد:
فإن الأصل في كراهة العلماء لمصافحة الكافر وتقبيله هو النصوص الناهية عن مودة الكفار وموالاتهم، كقوله تعالى:
Hukum asal dari kemakruhan para ulama terhadap berjabat tangan dan mencium orang kafir didasarkan pada nash-nash yang melarang mencintai dan mendukung orang-orang kafir, seperti Firman Allah Ta’ala :
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ {المجادلة : ٢٢}.
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya…” (Surah Al Mujadalah ayat 22)
وكذلك ما جاء من النهي عن بدء الكفار بالسلام، ولا ريب في أن المعانقة والتقبيل أعظم من مجرد الابتداء بالسلام،
Demikian pula, terdapat larangan memulai salam kepada orang kafir. Sementara itu tidak diragukan lagi bahwa kegiatan memeluk dan mencium mereka lebih besar dari sekadar memulai salam (sehingga larangannya juga menjadi lebih besar)
جاء في الموسوعة الفقهية الكويتية: ذهب الحنفية والحنابلة إلى القول بكراهة مصافحة المسلم للكافر، إلا أن الحنفية استثنوا مصافحة المسلم جاره النصراني إذا رجع بعد الغيبة وكان يتأذى بترك المصافحة،
Dalam “Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah” disebutkan bahwa madzhab Hanafi dan Hanbali menyatakan makruh berjabat tangan dengan orang kafir, kecuali madzhab Hanafi mengecualikan jika seorang muslim berjabat tangan dengan tetangga Nasrani yang kembali setelah lama tidak bertemu dan ia akan merasa tersakiti jika tidak dijabat tangannya.
وأما الحنابلة: فقد أطلقوا القول بالكراهة بناء على ما روي أن الإمام أحمد سئل عن مصافحة أهل الذمة، فقال:
Sementara mazhab Hanbali secara mutlak menyatakan makruh berdasarkan riwayat bahwa Imam Ahmad ketika ditanya tentang berjabat tangan dengan Ahli Dzimmah, beliau menjawab :
لا يعجبني
“Saya tidak menyukainya.”
وذهب المالكية إلى عدم جواز مصافحة المسلم الكافر، لأن الشارع طلب هجرهما ومجانبتهما، وفي المصافحة وصل مناف لما طلبه الشارع. اهـ.
Adapun mazhab Maliki menyatakan tidak boleh berjabat tangan dengan orang kafir, karena syariat menghendaki menjauhi mereka, dan berjabat tangan bertentangan dengan apa yang diminta syariat.
— Selesai Kutipan dari al Mawsu’ah al Kuwaitiyah —
فمن كره مصافحة الكافر فكراهته لتقبيله أشد، ومن حرم مصافحة الكافر فتحريمه لتقبيله ومعانقته أظهر،
Maka, siapa yang menganggap makruh berjabat tangan dengan orang kafir, maka kemakruhannya untuk mencium mereka lebih kuat. Dan siapa yang mengharamkan berjabat tangan dengan orang kafir, maka pengharamannya untuk mencium dan memeluk mereka lebih jelas.
وفي الإقناع للحجاوي:
Dalam “Al Iqna’” karya Al Hijawi disebutkan:
وتكره مصافحته ـ أي: الكافر ـ وتشميته والتعرض لما يوجب المودة بينهما. اهـ.
“Dimakruhkan berjabat tangan dengannya (yaitu orang kafir), mendoakan rahmat untuknya, dan melakukan hal-hal yang menyebabkan adanya kasih sayang antara mereka.”
— Selesai semua kutipan —
والتقبيل والمعانقة مما يوجب المودة ـ كما تقدم
Mencium dan memeluk termasuk hal yang menyebabkan kasih sayang, sebagaimana yang telah disebutkan.
ـ وفي المغني لابن قدامة:
Dalam “Al Mughni” karya Ibn Qudamah, disebutkan:
ولا يجوز تصديرهم في المجالس، ولا بداءتهم بالسلام، لما روى أبو هريرة ـ رضي الله عنه ـ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
“Tidak boleh memuliakan mereka di majelis, atau memulai menyapa mereka dengan salam, karena Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لا تبدءوا اليهود والنصارى بالسلام وإذا لقيتم أحدهم في الطريق، فاضطروهم إلى أضيقها ـ
‘Janganlah kalian memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani, dan jika kalian bertemu dengan salah satu dari mereka di jalan, maka paksalah mereka ke jalan yang sempit’.”
أخرجه الترمذي، وقال: حديث حسن صحيح،
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi, dan beliau berkata : “Hadits ini hasan shahih.”
وروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال:
Dan diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda :
إنا غادون غدا، فلا تبدءوهم بالسلام، وإن سلموا عليكم، فقولوا: وعليكم ـ
“Besok kita akan pergi, janganlah kalian memulai salam kepada mereka, dan jika mereka mengucapkan salam kepada kalian, maka balaslah dengan ‘wa ‘alaikum’.”
أخرجه الإمام أحمد بإسناده عن أنس، أنه قال: نهينا، أو أمرنا، أن لا نزيد أهل الكتاب على وعليكم ـ
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanadnya dari Anas, yang berkata : “Kami dilarang, atau kami diperintahkan, untuk tidak menambahkan kepada Ahli Kitab selain dengan ‘wa ‘alaikum’.”
قال أبو داود: قلت لأبي عبد الله: تكره أن يقول الرجل للذمي: كيف أصبحت ؟ أو كيف حالك ؟ أو كيف أنت ؟ أو نحو هذا ؟ قال :
Imam Abu Dawud berkata: “Aku bertanya kepada Abu Abdullah (Imam Ahmad) : ‘Apakah tidak disukai jika seseorang berkata kepada Ahli Dzimmah : ‘Bagaimana keadaanmu ?’ atau ‘Bagaimana kabarmu ?’ atau semacamnya?’ Maka beliau (Imam Ahmad) menjawab :
نعم، هذا عندي أكثر من السلام،
‘Ya, hal tersebut menurutku lebih dari sekadar salam.'”
وقال أبو عبد الله:
Beliau (Imam Ahmad) juga berkata:
إذا لقيته في الطريق، فلا توسع له،
“Jika engkau bertemu mereka di jalan, janganlah engkau luaskan jalan untuk mereka.”
وذلك لما تقدم من حديث أبي هريرة،
Ini berdasarkan hadits yang telah disebutkan dari Abu Hurairah tadi.
وروي عن ابن عمر، أنه مر على رجل فسلم عليه، فقيل إنه كافر، فقال: رد على ما سلمت عليك، فرد عليه، فقال: أكثر الله مالك وولدك، ثم التفت إلى أصحابه، فقال: أكثر للجزية،
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia melewati seorang laki-laki dan beliau memberi salam kepadanya. Kemudian ada yang berkata kepadanya bahwa laki-laki tersebut adalah seorang kafir. Ibnu Umar berkata kepada orang itu : ‘Jawab salamku.’ Lalu orang tersebut menjawab salamnya. Ibnu Umar kemudian berkata kepada orang tersebut : ‘Semoga Allah memperbanyak harta dan anakmu.’ Setelah itu, Ibnu Umar menoleh kepada para sahabatnya dan berkata: ‘Semoga Allah memperbanyak harta dan anaknya untuk jizyah (pajak yang diberlakukan untuk kafir Dzimmiy sebagai kompensasi perlindungan dari Negara Islam).'”
وقال يعقوب بن بختان: سألت أبا عبد الله، فقلت نعامل اليهود والنصارى، فنأتيهم في منازلهم، وعندهم قوم مسلمون، أسلم عليهم ؟ قال:
Ya’qub bin Bakhtan berkata: “Aku bertanya kepada Abu Abdullah (Imam Ahmad), aku berkata: ‘Kami berurusan dengan Yahudi dan Nasrani, kami datang ke rumah mereka, dan ada kaum muslimin di sana, apakah kami memberi salam kepada mereka?’ Beliau menjawab :
نعم، تنوي السلام على المسلمين، وسئل عن مصافحة أهل الذمة، فكرهه. اهـ.
‘Ya, niatkan salam untuk kaum muslimin.'” Beliau juga ditanya tentang berjabat tangan dengan Ahli Dzimmah, dan beliau tidak menyukainya.
— Selesai semua kutipan —
والله أعلم.
Sumber Utama : IslamWeb
Leave a Reply