Pendekatan Empiris dalam Kajian Aqidah ?
Catatan Belajar oleh : Reza Ervani bin Asmanu
Artikel Pendekatan Empiris dalam Kajian Aqidah ? ini masuk dalam Kategori Aqidah dan Pemikiran
v
Tidak ada yang salah dengan pendekatan empiris dalam kajian Aqidah, tapi setidaknya dengan dua syarat :
1. Harus jujur terhadap kebenaran
2. Harus menyadari dan mengakui bahwa kemampuan observasi manusia terbatas
Sekedar menyegarkan, makna empiris secara umum adalah : originating in or based on observation or experience, relying on experience or observation alone often without due regard for system and theory
Bagi saya pribadi, yang menarik dari rangkaian ayat tentang pencarian Nabi Ibrahim alaihi salam terhadap sosok “Tuhan” beliau mulai dengan “pendekatan empiris”, bahwa Tidak Mungkin Berhala-berhala yang dibuat dan disembah oleh ayah dan kaumnya adalah Tuhan.
Hal ini diabadikan di al Quranul Karim di Surah al An’aam ayat 74:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آلِهَةً ۖ إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata”.
Bahkan beliau alaihi salam, memberikan bukti tentang hal tersebut dalam logika empiris kepada Namrudz dan pasukannya, sebagaimana yang dipaparkan dalam al Quran Surah al Anbiyaa ayat 63
قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَٰذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِن كَانُوا يَنطِقُونَ
Ibrahim menjawab: “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara”.
Yang kemudian membuat logika lawan bicaranya tersentak dan mengakui kesalahan mereka, sebagaimana diabadikan dalam al Quranul Karim Surah al Anbiyaa ayat 64 dan 65 :
فَرَجَعُوا إِلَىٰ أَنفُسِهِمْ فَقَالُوا إِنَّكُمْ أَنتُمُ الظَّالِمُونَ
Maka mereka kembali kepada kesadaran dan mereka lalu berkata: “Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri)”,
ثُمَّ نُكِسُوا عَلَىٰ رُءُوسِهِمْ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا هَٰؤُلَاءِ يَنطِقُونَ
kemudian kepala mereka jadi tertunduk (lalu berkata): “Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara”.
Maka, Nabiullah Ibrahim alaihi salam kemudian merunutkan alur kesadaran tersebut dalam pernyataan puncak beliau, sebagaimana termaktub dalam al Quranul Karim ayat 66 – 67 :
قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنفَعُكُمْ شَيْئًا وَلَا يَضُرُّكُمْ
Ibrahim berkata: Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?” (al Anbiyaa ayat 66)
أُفٍّ لَّكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ ۖ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami? (al Anbiyaa ayat 67)
Jika pendekatan empiris ini yang dipakai, beranikah kemudian secara jujur anda mengakui bahwa ritual-ritual seperti melarungkan kepala sapi ke laut, pawang hujan, memberi sesajen kepada gunung, dan yang serupa dengan itu adalah sesuatu yang tidak masuk akal, dan tidak memberikan kemanfaatan secara bukti empiris ?
—–
Tapi jangan lupa ada pula variabel bernama “manusia”. Apakah sepenuhnya anda bisa melakukan “pendekatan empiris” untuk variabel tersebut ? Apakah pendekatan empiris seperti Behaviorisme, Psikologi Kognitif dan Psikologi Sosial bisa menjawab semua dampak derivatif dari variabel “manusia” itu. Semoga bisa terbahas pada bagian berikutnya.
Bersambung in sya Allah
Allahu Ta’ala A’lam
~ Reza Ervani bin Asmanu
12 Rabiul Awwal 1446 H
Leave a Reply