Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
dan teratur—sembahyang, puasa, haji—tetapi juga mencakup seluruh organisasi sosial, kedermawanan serta politik Islam. Tradisi ini adalah subvarian kedua dari sistem keagamaan orang Jawa pada umumnya, yang akan saya uraikan nanti. Ketiga adalah priyayi. Pada mulanya, priyayi hanya merujuk pada kalangan aristokrasi turun-temurun yang oleh Belanda dicomot dengan mudah dari raja-raja Pribumi yang ditaklukkan, untuk kemudian diangkat sebagai pegawai sipil yang digaji. Elite pegawai kerah-putih ini, yang ujung akarnya terletak pada keraton Hindu-Jawa sebelum masa kolonial, memelihara serta mengembangkan etiket keraton yang sangat halus, sebuah seni tari, sandiwara, musik dan puisi, yang sangat kompleks dan mistisisme Hindu-Buddha. Mereka tidak menekankan elemen animistis dari sinkretisme Jawa yang serba melingkupi seperti kaumabangan, tetapi tidak pula menekankan elemen Islam sebagaimana kaum santri, melainkan menitikberatkan pada elemen Hinduisme. Di abad ini, posisi sosial dan politik yang diwariskan kelompok ini, sepanjang terkait dengan masyarakat asli Jawa (Belanda tentu saja menduduki posisi dominan sejati sampai masa revolusi), sudah makin lemah. Akses untuk masuk birokrasi sudah lebih mudah bagi kalangan yang sekalipun berketurunan rendahan, tetapi memiliki pendidikan yang baik dan pekerjaan “kerah-putih” non-pemerintah telah muncul dalam jumlah yang semakin banyak. Lagipula, pada kelompok “birokratik” inilah Belanda memiliki pengaruh akulturasi yang paling langsung, yang pada akhirnya melahirkan elite politik Republik Indonesia yang sangat sekuler, ferbaratkan dan pada umumnya, agak antitradisi. Akibatnya, kultur keraton yang tradisional melemah. Sekalipun demikian, varian priyayi tidak saja tetap kuat bertahan di antara elemen koservatif tertentu dari masyarakat, tetapi juga memainkan peran dasar dalam membentuk pandangan dunia, etika dan tingkahlaku sosial dari elemen yang bahkan paling terbaratkan dalam kelompok kerah-putih yang masih dominan. Sopan-santun yang halus, seni tinggi serta mistisisme intuitif, emuanya masih menjadi karakteristik utama elite Jawa: dan sekalipun sudah semakin menipis serta mengalami penyesuaian dengan keadaan yang telah berubah, gaya hidup priyayi masih tetap menjadi model tidak hanya untuk kalangan elite, tetapi dalam banyak hal, juga untuk seluruh masyarakat. Abangan, yang merepresentasikan penekanan pada aspek animistis dari sinkretisme Jawa yang serba melingkupi dan secara luas terkait