Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
Hal yang menentang dan membatalkan tauhid adalah syirik. Kata “syirk” dalam bahasa Arab berarti menjadikan sekutu atau pasangan. Seperti dalam firman Allah Ta‘ala:
﴿وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي﴾
“Jadikanlah dia sekutu dalam urusanku.” (Surah Thaha: 32)
Dalam istilah syariat Islam, syirik terbagi menjadi dua jenis:
Orang yang melakukan syirik akbar adalah yang menjadikan sekutu bagi Allah sebagai Rabb lain. Contohnya: syirik kaum Nasrani yang menjadikan Allah sebagai salah satu dari tiga tuhan, syirik kaum Majusi yang menyandarkan kebaikan kepada cahaya dan keburukan kepada kegelapan, syirik kaum Shabi‘in yang menisbatkan pengaturan alam kepada bintang-bintang langit. Termasuk juga sebagian penyembah kubur yang mengira ruh para wali setelah mati bisa mengatur, memenuhi kebutuhan, menghilangkan kesulitan, menolong orang yang berdoa kepadanya, atau melindungi orang yang berlindung di sisinya.
Syirik akbar juga termasuk menjadikan bersama Allah sesembahan lain berupa malaikat, nabi, wali, matahari, bulan, batu, atau manusia. Mereka disembah sebagaimana Allah disembah, dengan cara berdoa kepadanya, meminta pertolongan, menyembelih untuknya, bernazar untuknya, dan bentuk-bentuk ibadah lainnya.
Dalam syariat, tidak disyaratkan bahwa sekutu yang dijadikan tandingan harus sama dengan Allah dalam segala hal. Seseorang sudah disebut musyrik jika menetapkan adanya sekutu bagi Allah, meskipun sekutu itu dianggap lebih rendah dari-Nya dalam ilmu atau kekuasaan.
Adapun firman Allah tentang ucapan kaum musyrikin:
﴿تَاللَّهِ إِن كُنَّا لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ إِذْ نُسَوِّيكُم بِرَبِّ الْعَالَمِينَ﴾
“Demi Allah, sesungguhnya kami dahulu benar-benar dalam kesesatan yang nyata, ketika kami menyamakan kalian dengan Rabb semesta alam.” (Surah Asy-Syu‘ara: 97–98)
Yang dimaksud adalah mereka menyamakan makhluk-makhluk itu dengan Allah dalam hal cinta, rasa takut, harapan, ketaatan, dan ketundukan. Bukan dalam hal kekuasaan mencipta dan mengadakan, karena mereka sendiri tetap meyakini Allah Maha Esa dalam penciptaan dan pengadaan.