Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
Tetapi ada lagi pendapat yang kedua, yang dipelopori oleh al-Imam Jarullah az-Zamakhsyari dan disokong oleh beberapa ahli tafsir yang lain, bahwa menafsirkan al-Quran pendapat sendiri yang shih tidak ada salahnya. Malahan yang demikian tidak bisa dielakkan. Sebab bila orang merenung-renung tiap-tiap ayat, menurut peredaran waktu dan tempat, orang selalu akan berjumpa makna yang baru. Oleh sebab itu selalu akan mendapat ilham, yang di dalam tafsir-tafsir yang terdahulu tidak ditemui.
Dasar pendirian ini pernah diuraikan pula oleh Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin demikian:
Di dalam al-Quran terdapat segala ilmu agama. Yang setengah diterangkan secara langsung dan setengahnya lagi cukup dengan isyarat saja. Setengah dengan ijmal dan setengah lagi dengan tafshil. Semuanya itu hanya akan didapat dengan pemikiran yang mendalam dan kesungguhan menyelidiki. Tidak cukup dengan hanya memiliki zahir ayat, bahkan tidak pula cukup dengan hanya penggantungan harapan kepada pendapat Salaf. Bahkan dia meminta renungan yang mendalam dan kesanggupan mengeluarkan butir-butir makna yang tersimpan di dalamnya, laksana mutiara yang tersimpan di dalam kulit gungga di dasar laut, yang tidak bertentangan dengan pokok dasar. Abdullah bin Mas’ud pernah berkata: “Barangsiapa yang ingin mengetahui ilmu orang pada zaman itu dan ilmu orang yang datang kemudian, hendaklah merenungkan al-Quran.”. Keinginan itu tidak akan tercapai kalau tidak ada perenungan sendiri.
Dan lagi di dalam al-Quran itulah yang selengkap-lengkapnya diterangkan sifat-sifat dan nama-nama Allah (al-Asma-ul Husna) dan diterangkan juga perbuatanNya dan zatNya yang suci. Di dalam kehidupan Tauhid, maka manusia tidak cukup hanya membaca yang tertulis. Dia menghendaki pemahaman yang mendalam.
Nabi s.a.w. pernah bersabda:
“Barangsiapa yang memahami al-Quran, dia dapat menafsirkan sejumlah besar ilmu.”
Selain dari itu, di dalam Surat al-Baqarah ayat 296 Tuhan memfirmankan bahwa Dia akan mengurniakan hikmah kepada sesiapa yang Dia kehendaki. Dan orang yang telah diberi kurnia hikmah itu samalah artinya dengan mendapat anugerah yang sangat banyak sekali. Hikmah diartikan orang juga kebijaksanaan, diartikan orang juga filsafat, diartikan orang juga mengetahui suatu tersurat sembunyi. Bangsa Indonesia pernah membuat satu ungkapan kata, bahwa “Hikmah” itu artinya “mengetahui yang tersirat di balik yang tersurat.”
Bagaimana akan dapat dikeluarkan hikmah itu kalau kita tidak dibolehkan menafsirkan al-Quran di luar dari garis yang ditunjukkan oleh pendapat yang dipelopori Ibnu Taimiyah itu?
Ibnu Abbas pernah didoakan oleh Rasulullah s.a.w. supaya dia dapat memahami agama lebih mendalam dan mengetahui ta’wil atau tafsir. Di dalam al-Quran ada ayat-ayat yang terang-terang menyuruh manusia supaya memohonkan kepada Tuhan agar ditambah kiranya ilmu.
id) oleh admin pada 24 September 2025 - 04:12:11.Tetapi ada lagi pendapat yang kedua, yang dipelopori oleh al-Imam Jarullah az-Zamakhsyari dan disokong oleh beberapa ahli tafsir yang lain, bahwa menafsirkan al-Quran pendapat sendiri yang shih tidak ada salahnya. Malahan yang demikian tidak bisa dielakkan. Sebab bila orang merenung-renung tiap-tiap ayat, menurut peredaran waktu dan tempat, orang selalu akan berjumpa makna yang baru. Oleh sebab itu selalu akan mendapat ilham, yang di dalam tafsir-tafsir yang terdahulu tidak ditemui.
Dasar pendirian ini pernah diuraikan pula oleh Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin demikian:
Di dalam al-Quran terdapat segala ilmu agama. Yang setengah diterangkan secara langsung dan setengahnya lagi cukup dengan isyarat saja. Setengah dengan ijmal dan setengah lagi dengan tafshil. Semuanya itu hanya akan didapat dengan pemikiran yang mendalam dan kesungguhan menyelidiki. Tidak cukup dengan hanya memiliki zahir ayat, bahkan tidak pula cukup dengan hanya penggantungan harapan kepada pendapat Salaf. Bahkan dia meminta renungan yang mendalam dan kesanggupan mengeluarkan butir-butir makna yang tersimpan di dalamnya, laksana mutiara yang tersimpan di dalam kulit gungga di dasar laut, yang tidak bertentangan dengan pokok dasar. Abdullah bin Mas’ud pernah berkata: “Barangsiapa yang ingin mengetahui ilmu orang pada zaman itu dan ilmu orang yang datang kemudian, hendaklah merenungkan al-Quran.”. Keinginan itu tidak akan tercapai kalau tidak ada perenungan sendiri.
Dan lagi di dalam al-Quran itulah yang selengkap-lengkapnya diterangkan sifat-sifat dan nama-nama Allah (al-Asma-ul Husna) dan diterangkan juga perbuatanNya dan zatNya yang suci. Di dalam kehidupan Tauhid, maka manusia tidak cukup hanya membaca yang tertulis. Dia menghendaki pemahaman yang mendalam.
Nabi s.a.w. pernah bersabda:
“Barangsiapa yang memahami al-Quran, dia dapat menafsirkan sejumlah besar ilmu.”
Selain dari itu, di dalam Surat al-Baqarah ayat 296 Tuhan memfirmankan bahwa Dia akan mengurniakan hikmah kepada sesiapa yang Dia kehendaki. Dan orang yang telah diberi kurnia hikmah itu samalah artinya dengan mendapat anugerah yang sangat banyak sekali. Hikmah diartikan orang juga kebijaksanaan, diartikan orang juga filsafat, diartikan orang juga mengetahui suatu tersurat sembunyi. Bangsa Indonesia pernah membuat satu ungkapan kata, bahwa “Hikmah” itu artinya “mengetahui yang tersirat di balik yang tersurat.”
Bagaimana akan dapat dikeluarkan hikmah itu kalau kita tidak dibolehkan menafsirkan al-Quran di luar dari garis yang ditunjukkan oleh pendapat yang dipelopori Ibnu Taimiyah itu?
Ibnu Abbas pernah didoakan oleh Rasulullah s.a.w. supaya dia dapat memahami agama lebih mendalam dan mengetahui ta’wil atau tafsir. Di dalam al-Quran ada ayat-ayat yang terang-terang menyuruh manusia supaya memohonkan kepada Tuhan agar ditambah kiranya ilmu.
| ID | Waktu | Bahasa | Penerjemah | Status | Aksi |
|---|---|---|---|---|---|
| #34 | 24 Sep 2025, 04:12:11 | id | admin | Tervalidasi | — |
Tetapi ada lagi pendapat yang kedua, yang dipelopori oleh al-Imam Jarullah az-Zamakhsyari dan disokong oleh beberapa ahli tafsir yang lain, bahwa menafsirkan al-Quran pendapat sendiri yang shih tidak ada salahnya. Malahan yang demikian tidak bisa dielakkan. Sebab bila orang merenung-renung tiap-tiap ayat, menurut peredaran waktu dan tempat, orang selalu akan berjumpa makna yang baru. Oleh sebab itu selalu akan mendapat ilham, yang di dalam tafsir-tafsir yang terdahulu tidak ditemui. Dasar pendirian ini pernah diuraikan pula oleh Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin demikian: Di dalam al-Quran terdapat segala ilmu agama. Yang setengah diterangkan secara langsung dan setengahnya lagi cukup dengan isyarat saja. Setengah dengan ijmal dan setengah lagi dengan tafshil. Semuanya itu hanya akan didapat dengan pemikiran yang mendalam dan kesungguhan menyelidiki. Tidak cukup dengan hanya memiliki zahir ayat, bahkan tidak pula cukup dengan hanya penggantungan harapan kepada pendapat Salaf. Bahkan dia meminta renungan yang mendalam dan kesanggupan mengeluarkan butir-butir makna yang tersimpan di dalamnya, laksana mutiara yang tersimpan di dalam kulit gungga di dasar laut, yang tidak bertentangan dengan pokok dasar. Abdullah bin Mas’ud pernah berkata: “Barangsiapa yang ingin mengetahui ilmu orang pada zaman itu dan ilmu orang yang datang kemudian, hendaklah merenungkan al-Quran.”. Keinginan itu tidak akan tercapai kalau tidak ada perenungan sendiri. Dan lagi di dalam al-Quran itulah yang selengkap-lengkapnya diterangkan sifat-sifat dan nama-nama Allah (al-Asma-ul Husna) dan diterangkan juga perbuatanNya dan zatNya yang suci. Di dalam kehidupan Tauhid, maka manusia tidak cukup hanya membaca yang tertulis. Dia menghendaki pemahaman yang mendalam. Nabi s.a.w. pernah bersabda: “Barangsiapa yang memahami al-Quran, dia dapat menafsirkan sejumlah besar ilmu.” Selain dari itu, di dalam Surat al-Baqarah ayat 296 Tuhan memfirmankan bahwa Dia akan mengurniakan hikmah kepada sesiapa yang Dia kehendaki. Dan orang yang telah diberi kurnia hikmah itu samalah artinya dengan mendapat anugerah yang sangat banyak sekali. Hikmah diartikan orang juga kebijaksanaan, diartikan orang juga filsafat, diartikan orang juga mengetahui suatu tersurat sembunyi. Bangsa Indonesia pernah membuat satu ungkapan kata, bahwa “Hikmah” itu artinya “mengetahui yang tersirat di balik yang tersurat.” Bagaimana akan dapat dikeluarkan hikmah itu kalau kita tidak dibolehkan menafsirkan al-Quran di luar dari garis yang ditunjukkan oleh pendapat yang dipelopori Ibnu Taimiyah itu? Ibnu Abbas pernah didoakan oleh Rasulullah s.a.w. supaya dia dapat memahami agama lebih mendalam dan mengetahui ta’wil atau tafsir. Di dalam al-Quran ada ayat-ayat yang terang-terang menyuruh manusia supaya memohonkan kepada Tuhan agar ditambah kiranya ilmu. | |||||