Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
“Padahal jika engkau tanyakan kepada mereka siapa yang menciptakan semua langit dan bumi, dan menundukkan matahari dan bulan, pastilah mereka akan menjawab: ‘Allah!’ Maka bagaimanakah masih dipalingkan mereka.” (al-Ankabut: 61)
Dan banyak lagi Surat-surat lain mengandung ayat seperti ini.
Setelah kita tinjau keterangan Raghib al-Isfahani dari segi pertumbuhan bahasa (filologi) tentang kalimat Allah itu, dapatlah kita mengerti bahwa sejak dahulu orang Arab itu di dalam hati sanubari mereka telah mengakui Tauhid Uluhiyah, sehingga mereka sekali-kali tidak memakai kalimat Allah untuk yang selain daripada Zat yang Maha Esa, Yang Tunggal, yang berdiri sendiriNya itu. Dan tidak mau mereka menyebutkan Allah untuk beratus-ratus berhala yang mereka sembah. Tentang Uluhiyah mereka telah bertauhid, cuma tentang Rububiyah yang mereka masih musyrik. Maka dibangkitkanlah kesadaran mereka oleh Rasul s.a.w. supaya bertauhid yang penuh; mengakui hanya SATU Tuhan yang menciptakan alam dan Tuhan Yang Satu itu sajalah yang patut disembah, tidak yang lain.
Dalam bahasa Melayu kalimat yang seperti Ilah itu ialah dewa dan tuhan. Pada batu bersurat Trengganu yang ditulis dengan huruf Arab, kira-kira tahun 1303 Masehi, kalimat Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah diartikan dengan Dewata Mulia Raya. (Batu bersurat itu sekarang disimpan di Museum Kuala Lumpur). Lama-lama, karena perkembangan pemakaian bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, maka bila disebut Tuhan oleh kaum Muslimin Indonesia dan Melayu, yang dimaksud ialah ALLAH dan dengan huruf Latin pangkalnya (huruf T) dibesarkan, dan kata-kata dewa tidak terpakai lagi untuk mengungkapkan Tuhan Allah.
Dalam perkembangan memakai bahasa ini, di dalam memakai kalimat TUHAN, haruslah diingat bahwasanya berbeda maksud pemakaian itu di antara orang Islam dengan orang Kristen.
Kita orang Islam jika menyebut Tuhan, yang kita maksud ialah ALLAH. Zat Yang Berdiri SendiriNya, kepadaNya memohonkan segala sesuatu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang menandingi Dia walaupun. Tetapi kalau orang Kristen menyebut Tuhan, yang mereka maksud ialah Yesus Kristus. Kadang-kadang bercampur-baur; sebab menurut ajaran yang mereka pegang, bahwa Tuhan itu adalah “Trinitas”, atau “Tri-tunggal”, yang tiga tetapi satu, yang satu tetapi tiga. Dia yang tiga tetapi satu itu ialah Tuhan Bapa, Tuhan Putera (Isa Almasih) dan Rohul-Kudus. Dan selalu mereka mengatakan “Tuhan Yesus”.
Sebab itu walaupun sama-sama memakai kata TUHAN, tidaklah sama arti dan pengertian yang dikandung.
Pemakaian kalimat Tuhan dalam kata sehari-hari akhirnya terpisah pula dua; Tuhan khusus untuk Allah dan tuan untuk menghormati sesama manusia. Untuk raja disebut Tuanku.
id) oleh admin pada 24 September 2025 - 05:34:14.“Padahal jika engkau tanyakan kepada mereka siapa yang menciptakan semua langit dan bumi, dan menundukkan matahari dan bulan, pastilah mereka akan menjawab: ‘Allah!’ Maka bagaimanakah masih dipalingkan mereka.” (al-Ankabut: 61)
Dan banyak lagi Surat-surat lain mengandung ayat seperti ini.
Setelah kita tinjau keterangan Raghib al-Isfahani dari segi pertumbuhan bahasa (filologi) tentang kalimat Allah itu, dapatlah kita mengerti bahwa sejak dahulu orang Arab itu di dalam hati sanubari mereka telah mengakui Tauhid Uluhiyah, sehingga mereka sekali-kali tidak memakai kalimat Allah untuk yang selain daripada Zat yang Maha Esa, Yang Tunggal, yang berdiri sendiriNya itu. Dan tidak mau mereka menyebutkan Allah untuk beratus-ratus berhala yang mereka sembah. Tentang Uluhiyah mereka telah bertauhid, cuma tentang Rububiyah yang mereka masih musyrik. Maka dibangkitkanlah kesadaran mereka oleh Rasul s.a.w. supaya bertauhid yang penuh; mengakui hanya SATU Tuhan yang menciptakan alam dan Tuhan Yang Satu itu sajalah yang patut disembah, tidak yang lain.
Dalam bahasa Melayu kalimat yang seperti Ilah itu ialah dewa dan tuhan. Pada batu bersurat Trengganu yang ditulis dengan huruf Arab, kira-kira tahun 1303 Masehi, kalimat Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah diartikan dengan Dewata Mulia Raya. (Batu bersurat itu sekarang disimpan di Museum Kuala Lumpur). Lama-lama, karena perkembangan pemakaian bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, maka bila disebut Tuhan oleh kaum Muslimin Indonesia dan Melayu, yang dimaksud ialah ALLAH dan dengan huruf Latin pangkalnya (huruf T) dibesarkan, dan kata-kata dewa tidak terpakai lagi untuk mengungkapkan Tuhan Allah.
Dalam perkembangan memakai bahasa ini, di dalam memakai kalimat TUHAN, haruslah diingat bahwasanya berbeda maksud pemakaian itu di antara orang Islam dengan orang Kristen.
Kita orang Islam jika menyebut Tuhan, yang kita maksud ialah ALLAH. Zat Yang Berdiri SendiriNya, kepadaNya memohonkan segala sesuatu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang menandingi Dia walaupun. Tetapi kalau orang Kristen menyebut Tuhan, yang mereka maksud ialah Yesus Kristus. Kadang-kadang bercampur-baur; sebab menurut ajaran yang mereka pegang, bahwa Tuhan itu adalah “Trinitas”, atau “Tri-tunggal”, yang tiga tetapi satu, yang satu tetapi tiga. Dia yang tiga tetapi satu itu ialah Tuhan Bapa, Tuhan Putera (Isa Almasih) dan Rohul-Kudus. Dan selalu mereka mengatakan “Tuhan Yesus”.
Sebab itu walaupun sama-sama memakai kata TUHAN, tidaklah sama arti dan pengertian yang dikandung.
Pemakaian kalimat Tuhan dalam kata sehari-hari akhirnya terpisah pula dua; Tuhan khusus untuk Allah dan tuan untuk menghormati sesama manusia. Untuk raja disebut Tuanku.
| ID | Waktu | Bahasa | Penerjemah | Status | Aksi |
|---|---|---|---|---|---|
| #71 | 24 Sep 2025, 05:34:14 | id | admin | Tervalidasi | — |
“Padahal jika engkau tanyakan kepada mereka siapa yang menciptakan semua langit dan bumi, dan menundukkan matahari dan bulan, pastilah mereka akan menjawab: ‘Allah!’ Maka bagaimanakah masih dipalingkan mereka.” (al-Ankabut: 61) Dan banyak lagi Surat-surat lain mengandung ayat seperti ini. Setelah kita tinjau keterangan Raghib al-Isfahani dari segi pertumbuhan bahasa (filologi) tentang kalimat Allah itu, dapatlah kita mengerti bahwa sejak dahulu orang Arab itu di dalam hati sanubari mereka telah mengakui Tauhid Uluhiyah, sehingga mereka sekali-kali tidak memakai kalimat Allah untuk yang selain daripada Zat yang Maha Esa, Yang Tunggal, yang berdiri sendiriNya itu. Dan tidak mau mereka menyebutkan Allah untuk beratus-ratus berhala yang mereka sembah. Tentang Uluhiyah mereka telah bertauhid, cuma tentang Rububiyah yang mereka masih musyrik. Maka dibangkitkanlah kesadaran mereka oleh Rasul s.a.w. supaya bertauhid yang penuh; mengakui hanya SATU Tuhan yang menciptakan alam dan Tuhan Yang Satu itu sajalah yang patut disembah, tidak yang lain. Dalam bahasa Melayu kalimat yang seperti Ilah itu ialah dewa dan tuhan. Pada batu bersurat Trengganu yang ditulis dengan huruf Arab, kira-kira tahun 1303 Masehi, kalimat Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah diartikan dengan Dewata Mulia Raya. (Batu bersurat itu sekarang disimpan di Museum Kuala Lumpur). Lama-lama, karena perkembangan pemakaian bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, maka bila disebut Tuhan oleh kaum Muslimin Indonesia dan Melayu, yang dimaksud ialah ALLAH dan dengan huruf Latin pangkalnya (huruf T) dibesarkan, dan kata-kata dewa tidak terpakai lagi untuk mengungkapkan Tuhan Allah. Dalam perkembangan memakai bahasa ini, di dalam memakai kalimat TUHAN, haruslah diingat bahwasanya berbeda maksud pemakaian itu di antara orang Islam dengan orang Kristen. Kita orang Islam jika menyebut Tuhan, yang kita maksud ialah ALLAH. Zat Yang Berdiri SendiriNya, kepadaNya memohonkan segala sesuatu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang menandingi Dia walaupun. Tetapi kalau orang Kristen menyebut Tuhan, yang mereka maksud ialah Yesus Kristus. Kadang-kadang bercampur-baur; sebab menurut ajaran yang mereka pegang, bahwa Tuhan itu adalah “Trinitas”, atau “Tri-tunggal”, yang tiga tetapi satu, yang satu tetapi tiga. Dia yang tiga tetapi satu itu ialah Tuhan Bapa, Tuhan Putera (Isa Almasih) dan Rohul-Kudus. Dan selalu mereka mengatakan “Tuhan Yesus”. Sebab itu walaupun sama-sama memakai kata TUHAN, tidaklah sama arti dan pengertian yang dikandung. Pemakaian kalimat Tuhan dalam kata sehari-hari akhirnya terpisah pula dua; Tuhan khusus untuk Allah dan tuan untuk menghormati sesama manusia. Untuk raja disebut Tuanku. | |||||