Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
(وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا) (البقرة: ١٤٣)
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (Al-Baqarah: 143)
Kata wasathan bermakna umat yang berada di tengah: tidak berlebihan dan tidak meremehkan; keduanya tercela dalam agama. (1)
Ibnu Katsir (w. 774 H) rahimahullah berkata: “Yang dimaksud dengan pertengahan di sini adalah yang terbaik dan paling utama. Sebagaimana dikatakan: Quraisy adalah bangsa Arab yang paling ‘pertengahan’ dalam nasab dan negeri—maksudnya yang terbaik di antara mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berada di tengah kaumnya, yakni yang paling mulia nasabnya. Demikian pula ‘shalat pertengahan’ adalah shalat yang paling utama, yaitu shalat ‘Ashar, sebagaimana ditegaskan dalam kitab-kitab shahih dan lainnya.” (2)
Inilah sebabnya, sifat pertengahan merupakan salah satu ciri paling menonjol dari manhaj Ahlus Sunnah wal Jama‘ah—terutama dalam masalah akidah dan hukum-hukum yang terkait dengannya. Adapun kelompok-kelompok yang keluar dari manhaj dan akidah Ahlus Sunnah, engkau akan mendapati mereka menetapkan prinsip-prinsip dan menyusun kaidah-kaidah, lalu menjadikan nash syariat tunduk pada kaidah itu: apa yang sesuai mereka terima, dan apa yang bertentangan mereka tolak. Karena itu, siapa pun yang mencermati pokok-pokok, kaidah, dan manhaj mereka akan melihat polanya berkisar antara sikap berlebihan dan meremehkan; antara ghuluw dan jafā’. Adapun Ahlus Sunnah, engkau melihat sifat pertengahan mereka di tengah kelompok-kelompok itu: paling mengagungkan dan menjunjung tinggi kebenaran, paling konsisten berpegang teguh kepadanya, serta paling cepat tunduk kepada dalil syar‘i dari Al-Quran dan As-Sunnah. Mereka tidak menolak dalil-dalil sahih dari dua wahyu, tidak menentangnya dengan hawa nafsu, dan tidak melewatinya untuk menjadikan akal atau pendapat sebagai hakim; mereka juga tidak memakai silogisme filosofis lalu mendahulukannya atas dalil syar‘i.
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ) (الحجرات: ١)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)
Ahlus Sunnah mendasarkan diri pada nash-nash syariat dan mendahulukannya atas akal manusia. Akal dijadikan sarana memahami nash, syarat memahami ilmu, dan penyempurna amal—dengannya ilmu dan amal menjadi paripurna—namun akal tidak berdiri sendiri. Mereka juga pertengahan dalam perkara akal: tidak mendahulukannya di atas nash sebagaimana dilakukan ahli kalam (seperti Mu‘tazilah dan Asy‘ariyyah), dan tidak pula menelantarkannya atau mencelanya sebagaimana dilakukan banyak kalangan sufi yang merendahkan akal, lalu menerima hal-hal yang jelas ditolak akal sehat dan membenarkan sesuatu yang akal lurus ketahui kebatilannya dari pihak yang belum terbukti kebenarannya. (3)
Sejalan dengan itu, Asy-Syaukani (w. 1255 H) rahimahullah berkata: “Ketahuilah, menghukumi seorang muslim telah keluar dari Islam dan masuk ke dalam kekafiran tidak pantas dilakukan oleh seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir, kecuali dengan dalil yang lebih terang daripada matahari di siang hari. Karena sungguh telah tetap dalam hadis-hadis …”
(1) Tafsir al-Baghawi, 1/122, diriwayatkan al-Baghawi dari al-Kalbi.
(2) Tafsir Ibnu Katsir, 1/181.
(3) al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah dengan syarah Ibn Abi al-‘Izz al-Hanafi, hlm. 786–803; Majmu‘ Fatawa Ibn Taimiyyah 3/168, 338, 373 dan 5/5045; Dar’ Ta‘arudh al-‘Aql wa an-Naql 1/12, 20, 105, 133; Minhaj as-Sunnah 2/103–650; al-‘Aqidah al-Wasithiyyah (syarah Ibn ‘Utsaimin) 2/63; at-Tanbihat as-Sunniyyah, hlm. 191–206.