Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
أقرَّ بأمير المؤمنين وأنكر واحدًا من بعده من الأئمة أنه بمنْزِلة مَنْ آمن بجميع الأنبياء، ثم أنكر نبوَّة محمد صلى الله عليه وسلَّم. (١) هذه هي عقيدتهم في الأئمة وغلوهم فيهم، حتى قرنوا من جحد إمامًا واحدًا منهم بمنكر النبوات.
يروي الكليني في "الكافي" عن الباقر قوله: إن الله عز وجل نصَّب عليًا عليه السلام علمًا بينه وبين خلقه، فمن عرفه كان مؤمنًا، ومن أنكره كان كافرًا، ومن جهله كان ضالًا، ومن نصب معه شريكًا كان مشركًا، ومن جاء بولايته دخل الجنة. (٢)
وهذا هو دين الرافضة، دين مبني على الشرك بالله وعبودية آل البيت. الروايات التي تجعل من معرفة الإمام شرطًا من شروط صحة الإيمان قولهم على لسان أئمتهم: نحن الذين فرض الله طاعتنا، لا يسع الناس إلا معرفتنا، ولا يعذر الناس بجهالتنا، من عرفنا كان مؤمنًا، ومن أنكرنا كان كافرًا، ومن لم يعرفنا ولم ينكرنا كان ضالًا، حتى يرجع إلى الهدى الذي افترض الله عليه من طاعتنا الواجبة، فإن يمت على ضلالته يفعل الله به ما يشاء. (٣)
وكذلك هو دين مبني على الكبر والغطرس على طريقة قول اليهود: "نحن شعب الله المختار".
للتَّقيّة أهداف كبرى وغايات عظمى عند الرافضة: وقد ارتبطت التقيّة بالشيعة، فهي النظام السري في شؤونهم. فإذا أراد إمام الخروج والثورة على الخليفة، وضع لذلك نظامًا وتدابير، وأعلم أصحابه بذلك فكتموه، وأظهروا الطاعة حتى تتم الخطط المرسومة، فهذه تقيّة. وإذا أحسّوا ضررًا من كافر أو سنّي داروه وجاروه وأظهروا له الموافقة، فهذه أيضًا تقيّة، وهكذا. (٤)
وقد أخذ بالتقية بعض الفرق الباطنية الذين كانوا يحلمون بإيجاد دولة لهم لتنفيذ مآربهم ومخططاتهم، أمثال القرامطة والفاطمية والإسماعيلية والدروز، والبابية، وغيرها من الدعوات الباطنية التي كانت تحافظ على تقاليدها بالتستر إلى أن تقوى وتعلن وجودها بعد أن تكون قد حققت لنفسها المقومات الكفيلة باستمرارية وجودها. (٥)
وسطية أهل السُّنَّة في قضايا التكفير بين الإفراط والتفريط: أما غلو الرافضة في تكفير جماهير المسلمين من (أهل السُّنَّة) فقد مر بنا آنفًا ذكر بعض مشاهد منه. أما أهل السُّنَّة: فلابد وأن يُعلم جيدًا أنهم أبعد الناس عن التكفير وأشدهم في أخذ الحيطة فيه والاحتراز منه، لما لا وقد جعلهم الله وسطًا عدولًا خيارًا في كل ما تنازعت فيه سائر الفِرَق من المسائل المتنازَع فيها، كما قال.
(١) الاعتقادات، لابن بابويه: ص ١١.
(٢) الكافي للكليني: (١/ ٤٣٨).
(٣) الكافي للكليني: (١/ ١٨٧).
(٤) دائرة المعارف الإسلامية، ٥/ ٤١٩.
(٥) الكشَّاف الفريد عن معاول الهدم ونقائض التوحيد: خالد محمد الحاج، ١/ ١١٤، ط إدارة إحياء التراث – قطر: ١٩٨٣ م.
...keyakinan kami terhadap orang yang mengingkari imamah Amirul Mukminin dan para imam setelahnya adalah sama seperti orang yang mengingkari kenabian para nabi. Barang siapa mengakui kepemimpinan Amirul Mukminin lalu mengingkari satu saja dari imam setelahnya, maka kedudukannya seperti orang yang beriman kepada seluruh nabi kemudian mengingkari kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. (1)
Inilah akidah mereka tentang para imam dan bentuk ghuluw (berlebihan) mereka, sampai-sampai menyamakan orang yang menolak satu imam saja dengan orang yang mengingkari seluruh kenabian. Al-Kulaini meriwayatkan dalam al-Kafi dari al-Baqir bahwa ia berkata: “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah menjadikan Ali ‘alaihis salam sebagai tanda antara Dia dengan makhluk-Nya. Maka barang siapa mengenalnya, ia seorang mukmin. Barang siapa mengingkarinya, ia seorang kafir. Barang siapa tidak mengenalnya, ia seorang sesat. Barang siapa menjadikan sekutu bersamanya, ia seorang musyrik. Dan barang siapa datang dengan loyalitas kepadanya, ia masuk surga.” (2)
Inilah agama Rafidhah, agama yang dibangun di atas kesyirikan kepada Allah dan penghambaan kepada Ahlul Bait. Riwayat-riwayat mereka menjadikan pengenalan kepada imam sebagai syarat sahnya iman. Mereka berkata atas nama para imamnya: “Kami adalah orang-orang yang Allah wajibkan ketaatan kepada kami. Manusia tidak boleh kecuali mengenal kami. Tidak ada alasan bagi mereka untuk jahil tentang kami. Barang siapa mengenal kami, ia seorang mukmin. Barang siapa mengingkari kami, ia seorang kafir. Barang siapa tidak mengenal kami dan tidak pula mengingkari kami, maka ia seorang sesat sampai ia kembali kepada petunjuk Allah berupa kewajiban taat kepada kami. Jika ia mati dalam kesesatannya, Allah berbuat padanya sesuai kehendak-Nya.” (3)
Agama mereka juga dibangun di atas kesombongan dan keangkuhan, mirip dengan ucapan orang-orang Yahudi: “Kami adalah umat pilihan Allah.”
Bagi Rafidhah, taqiyyah memiliki tujuan-tujuan besar dan maksud yang agung. Ia telah melekat dengan Syi’ah sebagai sistem rahasia dalam urusan mereka. Jika seorang imam hendak keluar melakukan revolusi melawan khalifah, ia menetapkan aturan dan strategi, lalu memberitahukan para pengikutnya untuk merahasiakannya, sementara secara lahir menampakkan ketaatan hingga rencana selesai dilaksanakan—ini mereka sebut taqiyyah. Jika mereka merasa terancam oleh orang kafir atau seorang Sunni, mereka berpura-pura setuju dan menampakkan persetujuan—ini pun disebut taqiyyah. Begitulah seterusnya. (4)
Sebagian kelompok batiniyyah juga mengambil prinsip taqiyyah, karena mereka bercita-cita mendirikan negara demi melaksanakan tujuan dan rencana mereka. Misalnya kaum Qaramithah, Fatimiyyah, Isma‘iliyyah, Druze, Baha’iyyah, dan berbagai kelompok batiniyyah lainnya yang menjaga tradisinya dengan sembunyi-sembunyi sampai mereka merasa kuat dan kemudian menampakkan diri setelah memiliki fondasi yang cukup untuk mempertahankan keberadaan mereka. (5)
Adapun ghuluw Rafidhah dalam mengkafirkan mayoritas kaum muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah sudah kita sebutkan sebelumnya dengan beberapa contohnya. Adapun Ahlus Sunnah, maka perlu diketahui dengan baik bahwa mereka adalah golongan yang paling jauh dari sikap mudah mengkafirkan, dan paling hati-hati serta berhati-hati dalam hal ini. Tidak heran, karena Allah telah menjadikan mereka sebagai umat yang pertengahan, adil, dan pilihan dalam setiap masalah yang diperselisihkan oleh berbagai kelompok, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
(1) al-I‘tiqadāt, karya Ibn Babawaih, hlm. 11.
(2) al-Kafi, al-Kulaini, 1/438.
(3) al-Kafi, al-Kulaini, 1/187.
(4) Da’irat al-Ma‘arif al-Islamiyyah, jilid 5, hlm. 419.
(5) al-Kasysyāf al-Farīd ‘an Ma‘āwil al-Hadm wa Naqā’idh at-Tawhīd, karya Khalid Muhammad al-Hajj, 1/114, cet. Idarah Ihya’ at-Turats, Qatar, 1983 M.