Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
Pendahuluan
Apabila kita perhatikan isi kandungan dan hikmat mendalam yang terkandung di dalam Surat ash-Shaff yang telah lalu kita akan merasakan kelak bahwa Surat al-Jumu‘ah ini ada bertali berkelindan dengan Surat tersebut.
Dalam Surat al-Jumu‘ah ini, sebelum 3 ayat terakhir yang mengenai perintah menghadiri sembahyang Jum‘at di hari 'jm‘at, terlebih dahulu diterangkan bagaimana Tuhan mengutus dalam kalangan ummat yang masih Ummi, seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri untuk memimpin mereka ke dalam masyarakat tinggi mutunya, karena bimbingan Kitab dan hikmat menuju hidup yang lebih bersih dan suci, sehingga keummian dan kesesatan langkah hidup zaman jahiliyah bertukar dengan kecerdasan yang lebih tinggi.
Tetapi sesudah menerangkan itu, datang pulalah keterangan tentang ummat Yahudi yang memikul tanggungjawab dari Tuhan dengan menerima Kitab Taurat, tetapi mereka tidak hidup menuruttuntunan Kitab itu. Dan hanya tinggal kebanggaan diri saja, merasa bahwa mereka adalah ummat yang istimewa sebagai “Rakyat Allah yang terpilih” di antara segala bangsa di dunia. Dengan membawakan ayat-ayat mengenai orang Yahudi yang berkitab tetapi tidak menjalankan isinya, dua pihaklah yang kena. Pertama Yahudi itu sendiri, kedua kaum Muslimin pengikut Muhammad tadi. Bahwa mereka pun akan bernasib sebagai Yahudi itu pula, kalau mereka menerima al-Quran tetapi tidak hidup sepanjang ajaran yang dibawanya.
Di akhir Surat datanglah perintah menghadiri shalat yang ditentukan dua rakaat pada hari Jum‘at itu. Sehingga hari Jum‘at menjadi Hari Besar di antara hari yang tujuh, yang di waktu itu ummat Muhammad berkumpul beribadat di bawah pimpinan Imam, sebagai mencukupkan pelaksanaan kehendak AUah dalam Surat ash-Shaff ayat 4, bahwa AUah suka sekali kepada orang yang bershaf pada jalan AUah, laksana nunah yang dibangun kokoh.
Inilah intisari Surat al-Jumu‘ah.
Surat
AL-JUMU‘AH
(HARI JUM‘AT)
Surat 62: 11 ayat Diturunkan di MADINAH
Dengan nama Allah Yang Maha Murah lagi Pengasih.
(1) Mengucapkan tasbih kepada Allah apa yang di semua langit dan apa yang di bumi; Maha Raja, Maha Suci, Maha Perkasa, Maha Bijaksana.
djJt
(2) Dialah yang telah membangkitkan di dalam kalangan orangorang yang ummi, seorang Rasul daii kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka akan ayat-ayatNya dan membersihkan mereka dan mengajarkan kepada mereka akan kitab dan hikmah; dan meskipun mereka sebelumnya adalah di dalam kesesatan yang nyata.
^X / / » •// • ^
«IsICJT
(Tjy^^UgJ
(3) Dan yang lain dari mereka, yang belum bertemu dengan mereka; dan Dia adalah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.
/>/
_ I //#/ m * ^ / /
u rrt i/.-r' 4 -’
<r,pClr;.p-r
(4) Demikian itulah kumia Allah yang la berikan, kepada barangsiapa yang Dia kehendaki; dan Allah adalah mempunyai kumia yang agung.
r' ,rj' /* / f >•/
«cij 4ttt
Hikmah Kebangkitan Rasul Yang Ummi
Sebagai juga Surat ash-Shaff (Surat 61) yang terdahulu dari Surat al-Jumu‘ah ini, dia dimulai dengan menyatakan bahwa “ Mengucapkan tasbih kepada Allah apa yang di semua langit dan apa yang di bumi. ” (pangkal ayat 1). Ar-Razi menjelaskan dalam tafsimya apa yang ada di sekalian langit dan apa yang ada di bumi, bertasbih kepada Allah! Perbedaannya ialah bahwa pangkal ayat pertama Surat ash-Shaff memakai lafaz Sabbaha = &T~ yang berarti telah bertasbih pilihan katanya ialah perbuatan masa lalu (fi‘il madhi). Yang berarti telah bertasbih.
Ayat 1 di Surat al-Jumu‘ah dimulai dengan yusabbihu = , me
ngandung masa sekarang dan masa yang akan datang (Al-Haal wal mustaqbal), yaitu perbuatan kini dan nanti (fi‘il mudhaari') Maka sekarang dan seterusnya tetaplah seisi langit dan bumi itu bertasbih, mengucapkan kesucian bagi Allah. Keterangan mendalam tentang arti tasbih memadailah diambil dari apa yang telah kita nyatakan pada permulaan Surat ash-Shaff itu. Lalu disebutkanlah beberapa sifat Allah; “ Maha Raja.” Yang Maha Kuasa atas seluruh alam yang ghaib dan yang nyata, yang dahulu dan yang kemudian, yang zahir dan batin, semuanya tidak akan dapat menyimpang daripada apa yang telah ditentukan oleh Allah.
“Maha Suci.” Sebagai arti dari al-Qudduus. Artinya ialah yang suci dari segala macam kekurangan dan bersih dari segala tuduhan yang bukan-bukan, yang rahmatNya meliputi akan segala alam yang Dia ciptakan.
“Maha Perkasa.” Sebagai arti dari al-Aziiz. Yang gagah, yang tidak dapat disanggah, yang berlaku sekehendakNya, apa yang Dia maui itulah yang mesti
beriaku. Tak seorang pun tak siapa pun yang sanggup menentang. “Maha Bijaksana. ” (ujung ayat 1); arti dari al-Hakiim. Dialah yang serba tepat apa yang Dia tentukan, terletaklah sesuatu pada tempatnya, sesuai dengan akal orang yang bijak, karena kebijakan itu adalah kumia dari Dia juga.
“Dialah yang telah membangkitkan di dalam kalangan orang-orang yang ummi. ” Membangkitkan sama juga artinya dengan menimbulkan. Orang yang ummi artinya yang pokok ialah orang yang tidak pandai menulis dan tidak pandai membaca. Arti yang lebih mendalam lagi ialah bangsa Arab, atau Bani Ismail yang sebelum Nabi Muhammad diutus Tuhan, bangsa Arab itu belum pemah didatangi oleh seorang Rasul yang membawa suatu Kitab Suci. Sebagai timbaian dari orang yang ummi itu ialah ahlul-kitab, atau disebut juga uutulkitab. Yang pertama berarti ahli dari hal kitab-kitab, yang kedua berarti orangorang yang diberi Kitab.
Di dalam ayat 2 dari Surat 32, as-Sajdah ayat 3, bahwa Nabi itu diutus oleh Allah dengan kebenaran kepada kaum yang sebelumnya belum pemah didatangi oleh pengancam. Tegasnya sesudah Ismail meninggal, putus nubuwwat, tidak ada datang lagi kepada kaum itu sampai lebih daripada 20 turunan, barulah dibangkitkan; “Seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri. ” Yaitu bahwa Rasul itu bukan datang dari tempat lain, melainkan timbul atau bangkit dalam kalangan kaum yang ummi itu sendiri. Dan Rasul itu sendiri pun seorang yang ummi pula. Tidak pemah dia belajar menulis dan membaca sejak kecilnya sampai wahyu itu turun. Maka adalah dia Rasul yang ummi dari kalangan kaum yang ummi.
Mereka adalah ummi, bukan kaum terpelajar dan bukan kaum yang mempunyai sejarah peradaban yang tinggi sebagaimana yang dibanggakan oleh orang Yunani dan Romawi.orang Parsi (Iran) dan India. Kalau mereka mempunyai sejarah, namun hanya satu saja. Yaitu bahwa di negeri mereka yang tandus, lembah yang tidak ada tumbuh-tumbuhan itu dahulu kala pemah nenek-moyang mereka Nabi Ibrahim dan putera beliau Ismail diperintahkan Allah mendirikan Ka‘bah tempat menyembah Tuhan Yang Esa. Sesudah itu tidak ada berita lagi. Gelap karena hakikat ajaran Tauhid telah diselubungi oleh berbagai khurafat dan penyembahan berhala. Buta huruf betul-betul menurut arti yang sebenamya. Dalam 100 orang belum tentu seorang yang pandai menulis atau membaca. Cuma satu kelebihan mereka, yaitu karena menulis dan membaca tidak pandai, ingatan mereka kuat.
Orang-orang Yahudi yang banyak berdiam di Yatsrib yang kemudian bernama Madinah menyebut juga bahwa orang-orang Arab itu memang ummi, yang kadang-kadang diluaskan juga artinya, yaitu orang-orang yang tidak terpelajar. Dan orang-orang Arab itu tidaklah merasa hina karena sebutan itu. Bahkan kalau ada hal-hal yang sukar mereka tanyakan kepada orang-orang Yahudi itu. Malahan di Madinah sendiri, sebelum Nabi Muhammad hijrah ke sana, orang Arab Madinah banyak yang suka menyerahkan puteranya pergi belajar kepada orang Yahudi, sehingga anak-anak itu ada yang masuk Yahudi.
Dalam kalangan mereka itulah Nabi Muhammad s.a.w. dibangkitkan, dalam keadaan ummi pula. “Yang membacakan kepada mereka akan ayatayatNya.” Artinya bahwa diangkatlah Muhammad yang ummi itu menjadi Rasul Allah, diturunkan kepadanya wahyu Ilahi sebagai ayat-ayat, yang mula turunnya ialah di gua Hira’, dimulai dengan ayat “Iqra’”, artinya “Bacalah!” Pada ayat yang pertama dan “allama bil qalami, ‘allamal insaana maa lam ya'/am. ” (Yang mengajar dengan memakai pena, mengajarkan kepada manusia barang yang tadinya belum dia ketahui). Maka berturut-turutlah ayat-ayat itu turun selama beliau di Makkah dan berturut-turut lagi setelah pindah ke Madinah. Semuanya itu beliau bacakan dan beliau ajarkan; “Dan membersihkan mereka.” Yaitu membersihkan jiwa mereka daripada kepercayaan yang karut, daripada akidah yang salah, daripada langkah yang tersesat dan membersihkan pula badan diri mereka, jasmani mereka daripada kekotoran. Karena selama ini belum tahu apa arti kebersihan, sehingga diajar berwudhu’, diajar mandi junub dan menghilangkan hadas dan najis, bahkan sampai diajar menggosok gigi. “Dan mengajarkan kepada mereka akan kitab dan hikmah. ”
Menurut kata-kata ahli tatsir, kitab ialah setelah ayat-ayat yang turun itu yang berjumlah 6326 ayat, terkumpul dalam 114 Surat, tergabung dalam satu mushhaf; itulah dia al-Kitab! Hikmah ialah Sunnah Rasul, yaitu contoh dan teladan yang dilakukan oleh beliau dalam pelaksanaan al-Kitab.
Setengah ahli tafsir lagi mengartikan bahwa al-Kitab artinya ialah syariat itu sendiri, yang berisi perintah dan larangan. Hikmat ialah arti dan rahasia daripada perintah dan larangan itu. Misalnya sembahyang adalah salah satu macam isi al-Kitab;
“Sesungguhnya sembahyang itu adalah mencegah dari perbuatan keji dan munkar.” “Sembahyang adalah al-Kitab (perintah). Hikmah sembahyang ialah; mencegah dari perbuatan keji dan munkar."
Atau;
“Diperintahkan kepada kamu berpuasa.”
Hikmahnya ialah;
“Supaya kamu bertakwa.”
Oleh sebab itu supaya seseorang dapat menghayati hidup beragama, janganlah hanya bersitumpu pada syariat dengan tidak mengetahui latar belakang yang disebut hikmah itu. “Dan meskipun mereka sebelumnya adalah di dalam kesesatan yang nyata.” (ujung ayat 2).
Ujung ayat menerangkan dengan jelas sekali perubahan pada diri orang yang ummi itu setelah kedatangan Rasul Allah yang timbul dalam kalangan mereka sendiri. Sebelum Rasul itu dibangkitkan, terdapat berbagai kesesatan yang nyata. Karena mereka bukan saja ummi yang buta huruf, bahkan lebih dari itu; ummi buta agama, ummi buta jalan yang benar. Mereka kuburkan anak perempuan mereka hidup-hidup. Orang yang kaya hidup dengan menindas memeras orang miskin dengan meminjamkan uang memakai riba. Jalan menuju Allah dihambat dengan penyembahan kepada berhala. Perang suku perang kabilah. Ka‘bah pusaka Nabi Ibrahim dan Ismail, yang didirikan untuk menyembah Allah Yang Esa, mereka jadikan tempat mengumpulkan 360 berhala. Banyak lagi bukti-bukti kesesatan yang nyata yang lain-lain, yang semuanya ltu dapat berubah dalam masa 23 tahun sejak Nabi s.a.w. yang ummi dibangkitkan Tuhan dalam kalangan masyarakat yang ummi itu.
Syaikh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi menulis dalam tafsimya “Mahaasinut-Ta’u)H” tentang hikmat bahwa Nabi s.a.w. diutus dan dibangkitkan Tuhan dalam kalangan masyarakat orang-orang yang ummi demikian.
“Makanya diutamakan membangkitkan Nabi Muhammad s.a.w. itu dalam kalangan orang-orang yang ummi, ialah karena mereka masih mempunyai otak yang tajam, paling kuat hatinya, paling bersih hthrahnya dan paling fasih lidahnya. Kemumian batinnya (fithrahnya) belum dirusakkan oleh gelombang modenisasi, dan tidak pula oleh permainan golongan-golongan yang mengaku diri telah maju. Oleh sebab mereka itu masih polos, maka setelah jiwa mereka itu diisi dengan islam mereka telah bangkit di kalangan manusia dengan ilmu yang besar dan dengan hikmah yang mengagumkan dan dengan siasat yang adil. Dengan ajaran itu mereka memimpin bangsa-bangsa, dengan ajaran itu mereka menggoncangkan singgasana raja-raja yang besar-besar. Dan dengan jelasnya bekas ajaran itu pada sisi mereka, bukanlah berarti bahwa Risalah kedatangan Muhammad ini hanya khusus untuk mereka.” Sekian al-Qasimi.
Demikian pula Nabi Muhammad s.a.w. sendiri, seorang yang ummi bangkit dalam kalangan bangsa yang ummi. Itu pun suatu mu‘jizat yang besar. Beratus ribu, berjuta orang keluaran sekolah tinggi, orang belajar filsafat yang dalam-dalam, namun mereka tidaklah sanggup jnembawa perubahan ke dalam alam sehebat yang dibawa oleh “orang ummi” ini.
“Dan yang lain dari mereka yang belum bertemu dengan mereka.” (pangkal ayat 3). Yaitu, bahwa Nabi itu pun dibangkitkan bukan saja kepada orangorang ummi yang beliau dapati di kala hidupnya, bahkan beliau pun diutus kepada yang lain yang belum bertemu dengan mereka; yang lain yang datang
kemudian, yang belum pemah bertemu dengan kaum ummi yang bertemu dengan Nabi s.a.w. itu.
Siapakah mereka itu yang belum bertemu atau belum datang waktu Nabi masih hidup itu? Mujahid memberikan jawabnya; “Sekalian manusia yang datang sesudah bangsa Arab yang bertemu dengan Nabi s.a.w. itu.”
Ibnu Zaid dan Muqatil bin Hayyan mengatakan; “lalah sekalian orang yang memeluk Agama Islam sesudah Nabi s.a.w. wafat sampai hari kiamat.” Dan kata Muqatil pula; “Yang dimaksud dengan orang-orang ummi ialah Arab dan dengan “yang lain” ialah bangsa-bangsa yang menerima Islam kemudiannya.” “Don Dia adalah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (ujung ayat 3).
Keperkasaan Allah ialah karena tidak ada satu kekuatan pun yang dapat menghalangi tumbuhnya perubahan dalam dunia dari kalangan bangsa yang ummi. Sampai seorang pujangga lnggeris, Thomas Caryle pemah mengatakan bahwa padang pasir yang panas itu telah menggelegak menjadi mesiu untuk membuat perubahan besar di dunia. Dan Kebijaksanaan Tuhan ialah karena keadilanNya membagi-bagi sejarah; sesudah Mesir, Yunani, Romawi dan Persia, tiba pula giliran pada bangsa Arab menjadi pandu bagi perubahan besar dunia dengan Islam.
“Demikian itulah kumia Allah yang Ia berikan kepada barangsiapa yang Dia kehendaki.” (pangkal ayat 4). Tuhan Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana itulah yang menentukan kepada siapa Dia akan memberikan kumia. Seorang ummi dibangkitkan dari kalangan kaum yang ummi, dengan kumia Allah dapat memimpin dunia. Satu bangsa yang tadinya tidak mempunyai citacita, tidak mempunyai persatuan, yang berperang dan bermusuh sesamanya, dengan kumia Tuhan menjadi penyebar berita kesukaan ke seluruh dunia.
“Dan Allah adalah mempunyai kumia yang agung. ” (ujung ayat 4). Dan kumia Tuhan yang paling agung ialah menimbulkan kesadaran dalam hati manusia akan hubungannya dengan Allah dan sadar bahwa Allah itu adalah Esa. Akidah inilah yang membentuk peribadi bangsa yang ummi tadi sampai menjadi bangsa yang cerdas, gagah, berani dan berani berkurban buat menegakkan jalan Allah.
(5) Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan Taurat kepada mereka kemudian tidak dipikulnya, adalah seumpamaseekorkeledai yang memikul buku-buku. Buruklah perumpamaan bagi kaum yang mendustakan ayatayat Allah; dan Allah tidaklah akan memberi petunjuk bagi kaum yang zalim.
* } m* m* m) * 5 ^ i ) m ) *
^
Ji* ljU-f p
* * ' ' • m * *m*\X
4#1 J 'j) JO JJ'
(6) Katakanlah; “Wahai orang-orang Yahudi! Jika kamu menyangka bahwa kamulah yang auliya’ bagi Allah, bukan manusia lain, maka cita-citalah mati jika adalah kamu orang-orang yang benar.
(7) Dan tidaklah mereka mencita citakannya selama-lamanya, dari sebab apa yang telah didahulukan oleh tangan mereka; dan Allah lebih mengetahui akan orang-orang yang zalim.
i f * ; r '
X " V
y * 9) */
» /> f//t ^/**/// //
^-0^1 V_C Ijjl *i/j
(T) 4b\J
(8) Katakanlah! Sesungguhnya maut yang kamu lari daripadanya itu, sungguh dia akan menemui kamu; kemudian itu akan dikembalikan kamu kepada Yang Maha Tahu akan yang ghaib dan yang nyata; maka akan Ia beritakan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.
jjjjti (^JJT OjJI j ^
bt
•/% * * / • /> » / /i
p-tp f
s }s 9 * / / » f /
^ X. * O-.t S Ojj-tiTj
CP
Umpama Keledai Memikul Buku
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan Taurat kepada mereka, kemudian tidak dipikulnya." (pangkal ayat 5). Sebagaimana kita telah maklum, Taurat adalah kumpulan wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa ‘alaihis-salam, yang berpangkal pada 10 hukum yang diturunkan di atas Bukit Thursina, di lembah suci yang bemama Thuwaa. Taurat dan tambahan peraturan-peraturan yang lain diturunkan Tuhan kepada beliau setelah Bani lsrail dibebaskan dari perbudakan Fir‘aun dalam penderitaan yang sampai 400 tahun lamanya. Setelah selamat sampai di seberang, diturunkanlah Taurat itu untuk mengatur masyarakat Bani lsrail. Oleh sebab itu maka kaum Yahudi sebagai keturunan Bani Israil mengakui bahwa sejak meninggalnya Nabi Musa, Taurat itulah pedoman hidup mereka dan karena Taurat itulah mereka disebut Ahlul-Kitab atau Uutul-Kitab.
Maka menjadi kebanggaanlah bagi mereka karena mereka mempunyai Taurat. Merasalah mereka bahwa mereka paling tinggi kedudukannya di sisi Tuhan, karena mereka menerima Taurat, walaupun Taurat itu hanya disebut dengan mulut, hatal segala ayatnya, tetapi tidak dihayati dan tidak dipegang teguh lagi intisari yang dikandung di dalamnya. Samalah dengan keadaan orang yang dibebani dengan suatu pikulan, padahal tidak dipikulnya dengan benar; “Adalah seumpama seekor keledai yang memikul buku-buku.” Dipikulkan kepada keledai itu buku-buku untuk diangkat dari satu tempat ke tempat yang lain. sampai dia keluar keringat karena beratnya, tetapi keledai itu tidak tahu apa isi dari yang dipikulnya itu.
Perumpamaan keledai memikul ini ada dalam Ceritera Perumpamaan Melayu. Yaitu tentang dua ekor keledai menyeberangi sungai. yang seekor memikul beban garam dan yang seekor lagi memikul beban bunga karang. Yang mula-mula menyeberang sungai ialah yang memikul garam. Maka mulai saja kakinya tercecah ke dalam sungai garam itu telah mulai cair karena bertemu dengan air. Sehingga setelah ia sampai di seberang, dia merasa ringan karena garam itu telah hancur samasekali kena air. Melihat temannya telah ringan demikian, maka keledai yang memikul bunga karang itu pun mencoba pula. Padahal pikulannya sangat ringan. sebab hanya bunga karang atau spons. Tetapi berbeda dengan kawannya yang telah menyeberang dengan keringanan itu, pada dirinya terjadi sebaliknya. Mulai saja kakinya tercecah masuk sungai bunga karang telah mulai mengisap air. Bertambah dia melangkah bertambah berat bebannya, sebab air telah dihisap oleh bunga karang. Nyaris dia mati hanyut terbenam dalam sungai itu, karena berat beban air yang dibawanya.
Di masa mudaku pada tahun 1926 seorang Keling tua di pasar Mudik di Padang berceritera tentang pepatah di negerinya; “Gaddake za‘faran kia malem.’’ Artinya; “Keledai tidaklah tahu bahwa yang dipikulnya itu adalah za‘faran yang harum wangi.” Baginya akan sama saja harga za‘faran itu dengan rumput.
Di dalam ayat 5 Surat al-Jumu‘ah ini bertemu perumpamaan keledai memikul buku-buku. Bebannya berat, tetapi dia tidak tahu bahwa isi bukubuku itu adalah mahal. Begitulah orang Yahudi yang memikul Taurat itu. Dia membanggakan diri memikul Taurat, namun sikapnya terhadap Taurat itu sama saja dengan sikap keledai. Isinya tidak dipelajarinya dan tidak diamalkannya.
Ayat ini ada pertaliannya dengan ayat yang sebelumnya. Yaitu tentang kumia Allah yang Dia berikan kepada barangsiapa yang Dia kehendaki. Orang Yahudi di Madinah timbul dengki karena kaum yang ummi dan seorang puteranya yang ummi pula jadi Rasul. Mereka selama ini memandang rendah orangorang Arab itu, sehingga kata-kata Arab disejalankan dengan ummi. Sampai mereka tidak memandang berdosa jika orang yang ummi itu dianiaya saja, hutang kepadanya tidak dibayar, dipandang manusia kela6 dua di mana bertemu kepada bangsa yang dipandang ummi itu Tuhan memberikan kumia
bukan kepada yang membangga karena mereka mempunyai kitab suci, padahal tidak mengamalkannya. (Lihat Surat 3, ali Imran ayat 75).
Mereka mengatakan diri terpelajar, memikul kitab Taurat, padahal isinya tidak mereka amalkan. Di dalam kitab-kitab Injil yang dikarang Matius, Markus, Lukas dan Yohannes (Yahya) didapati penyesalan Nabi Isa kepada mereka, keras mempertahankan nash tulisan Taurat, tetapi tidak memahamkan hikmatnya. Yang terkenal ialah ketika mereka menangkap perempuan berzina, minta supaya Nabi Isa menjalankan hukum Taurat kepadanya, yaitu dirajam sampai mati.
Nabi Isa Almasih bersedia menyaksikan hukuman rajam itu. Beliau peringatkan bahwa orang-orang yang hendak menjalankan rajam kepada perempuan yang berdosa besar berzina itu hendaklah orang-orang yang merasa bahwa dirinya tidak pemah berbuat dosa. Maka ketika hukuman hendak dijalankan dan perempuan itu telah diikat, dipersilahkan tampil ke muka orang yang akan menjalankan hukuman rajam atas perempuan itu. dengan syarat tidak pemah berbuat dosa. Akhimya tidaklah jadi hukuman itu dijalankan, karena tidak seorang jua pun di antara yang hadir itu yang merasa dirinya bersih dari dosa.
Inilah salah satu kesan dengan kebanyakan manusia yang memikul kitab Taurat itu. Mereka sangat berhati-hati hendak menjalankan bunyi hukum sebagaimana yang tertulis, namun mereka tidak memperhatikan isi dan hikmat yang tersembunyi dari hukum. Mereka berlomba hendak menuntut agar hukum dijalankan atas orang lain, tetapi tidak ingat hendak menyesuaikan isi kitab dengan hidupnya sendiri.
“Buruklah perumpamaan bagi kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. ” Meskipun mulut mereka tidak pemah memungkiri bahwa isi kitab Taurat itu adalah kebenaran sejati dari Allah, namun mereka adalah jadi pendusta besar, karena isi kitab itu tidak pemah mereka sesuaikan dengan kehidupannya sendiri. Oleh sebab itu kalau dibuat perumpamaan dengan keledai memikul bukubuku adalah perumpamaan yang buruk, tetapi perumpamaan yang tepat. “Dan Allah tidaklah akan memberi petunjuk bagi kaum yang zalim.” (ujung ayat 5). Karena yang terlebih dahulu zalim, yaitu aniaya atau keluar dari garis yang benar ialah mereka sendiri. Sebab itu kalau Allah tidak memberikan petunjuk lagi, sehingga dalam kehidupan mereka itu hanya sebagai mehesta kain sarung berputar dari situ ke situ saja, sudahlah dari sebab salah mereka sendiri.
Keledai memikul buku-buku ini bukan saja mengenai diri orang Yahudi yang menerima Taurat. Orang Islam ummat Muhammad s.a.w. pun serupa juga dengan keledai memikul buku-buku” yang tidak tahu atau tidak mengamalkan apa isinya. Berapa banyaknya kaum Muslimin yang fasih sangat membaca alQuran, tetapi tidak faham akan maksudnya. Atau bacaannya itu hanya sehingga leher ke atas, tidak sampai ke lubuk hati dan jiwa. Sebab itu dengan tegasJah al-Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah menulis dalam kitabnya Tlamul-Muwaqqi‘iin”, bahwa ayat ini, “walaupun dijadikan perumpamaan bagi orang Yahudi,
namun makna yang terkandung di dalamnya mengenai juga bagl orang-orang yang memikul al-Quran, namun mereka tidak mengamalkannya dan tidak memenuhi haknya dan tidak memelihara maksudnya dengan sepatutnya.”
“ Katakanlah! “Wahai orang-orang Yahudi. ” (pangkal ayat 6). Yaitu wahai orang-orarrtj yang mendabik dadanya meninggikan dirinya dan menyebut bahwa mereka adalah orang Y ahudi. Dan orang Y ahudi mendapat hak istimewa di sisi Allah; “ Jika kamu menyangka bahwa kamulah yang au/iya’ bagi Allah, bukan manusia lain.” Orang Yahudi di zaman Rasulullah itu, ketika ayat ini diturunkan, sampai pun kepada zaman kita sekarang ini mempunyai perasaan bahwa mereka adalah bangsa yang terpilih di sisi Allah. Bangsa-bangsa yang lain ini adalah hina-dina belaka.
Di dalam Surat 5 al-Maidah ayat 18 pemah disebutkan perasaan orang Yahudi dan Nasrani;
“Dan berkata orang Yahudi dan Nasrani; “Kami ini adalah anak-anak Allah dan orang-orang yang paling dicintaiNya. ”
Orang yang paling dekat kepada Allah, ialah orang yang telah memberikan segenap pengurbanan untuk menegakkan jalan Allah. Orang-orang yang demikian telah disebut Auliya’, kalau orang seorangnya disebut Wali. Maka di dalam Surat 10, Surat Yunus ayat 62 Allah menunjukkan ciri-ciri yang khas dari orang-orang yang menjadi Wali (satu orang) atau Auliya' (banyak orang) itu;
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya auliya' Allah itu tidaklah mereka merasakan takutdan tidaklah mereka berdukacita.”
Dijelaskan bahwa mereka itu tidaklah merasa takut akan rugi, akan tewas dan serba macam penderitaan. Terutama ialah bahwa mereka tidak sekali-kali merasa takutakan mati. Asal untuk membela jalan Allah mereka bersedia mati.
Dan mereka tidak merasa dukacita jika ditimpa oleh suatu percobaan, jika misalnya kehilangan harta, kematian anak dan orang-orang yang dicintai, atau mendapat cacat badan karena kurban dari perjuangan.
Lalu diterangkan sebab-sebab hilangnya ketakutan itu, (ayat 63);
L^\p
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka itu adalah bertakwa. ”
Karena adanya Iman dan Takwa itu mereka tidak mengenal takut dan gentar dan tidak pemah berdukacita, mereka selalu girang, karena hidup mempunyai tujuan.
Di ayat 64 lanjutannya dijelaskan bahwa bagi mereka itu telah sedia berita yang menggembirakan dunia ini dan akhirat kelak. Dan dijelaskan pula bahwa jalan pasti yang telah digariskan oleh “Kalimat Allah” yaitu kalau dia Wali, pasti tidak ada rasa takut akan mati.
Pertama; karena dia Wali Allah, artinya dia cinta kepada Allah. Orang yang cinta kepada Allah rindu sekali lekas bertemu dengan Allah. Sebab itu dia menghadapi maut dengan senyum.
Kedua; kalau ada orang lain yang menantang Allah, mencemuh kepada Allah, dia berani bertentangan dengan orang itu, walaupun lantaran itu dia akan mati terbunuh. Kalau dia mati lantaran itu, dia akan mendapat kemuliaan yaitu mati syahid.
Sekarang orang-orang Yahudi itu mengakui bahwa mereka adalah Waliwali dari Allah, orang yang paling dekat kepada Allah, orang yang paling cinta kepada Allah dan dibalas pula cintanya oleh Allah, sedang manusia lain tidaklah ada yang mencapai derajat setinggi mereka. Sekarang ditentanglah pengakuan mereka; “Maka cita-citalah mati, jika adalah kamu orang-orang yang benar.” (ujung ayat 6).
Kalau benar kamu Auliya’ Allah, cobalah citakan mati! Berani?
Mereka akan gugup menjawabnya karena persediaan jiwa tidak lengkap. Karena Taurat hanya dipikul, tidak diamalkan. Karena hanya membanggakan karena keturunan Kitab, bukan karena menegakkan isi kitab itu. Sebab mereka jelas ragu-ragu, maka jawabnya telah disediakan lebih dahulu oleh lanjutan ayat;
“Dan tidaklah mereka mencita-citakannya selama-lamanya. ” (pangkal ayat 7). Selamanya mereka tidak akan mencita-citakan maut. Karena hati mereka terpaku kepada dunia dan terpaku kepada hartabenda. “Dari sebab apa yang telah didahulukan oleh tangan mereka. ” Artinya dari sebab langkah-langkah yang telah terlanjur di masa lampau.
Inti dari ayat ini berisi ilmu yang mendalam tentang jiwa manusia, kalau manusia telah bersalah di zaman yang sudah-sudah sukarlah bagimu buat mengajak orang lain agar jangan berbuat kesalahan seperti itu. Rasa dosa telah menekan jiwanya. Dalam sejarah orang Yahudi nyata kelihatan bahwa kesalahan mereka telah besar dalam memungkiri kebenaran. Mula Nabi Muhammad s.a.w. hijrah dari Makkah ke Madinah, mereka itu telah membuat perjanjian dengan beliau akan hidup berdamai, akan bertetangga baik. Tetapi melihat kemajuan gerakan Islam, kian lama kian timbullah rasa dengki dalam hati mereka, sehinggamereka memungkiri janji itu diam-diam, mereka hubungi
musuh-musuh Rasulullah s.a.w. yang ada di Makkah, dan ketika ditanyai mana yang baik agama Muhammad dengan agama menyembah berhala, mereka telah menjawab bahwa menyembah berhala lebih baik, padahal agama Yahudi yang mereka peluk adalah berdasarkan Tauhid sebagai Islam juga, sebab sumbemya satu. Bani Nadhir membuat muafakat busuk hendak membunuh Nabi. Bani Quraizhah menyertai persekongkolan Quraisy dengan Arab yang lain dalam peperangan Ahzab, ketika kota Madinah mulai dipagari dengan parit dalam yang bemama Khandaq.
Oleh sebab itu maka perlawanan mereka kepada Nabi s.a.w. tidaklah atas dasar cita-cita yang suci, yang di zaman sekarang disebut ideologi. Lama sebelum Nabi pindah ke Madinah mereka telah selalu mengatakan kepada orang-orang Arab di Madinah bahwa seorang Nabi akan datang. Tetapi setelah Nabi itu datang, yang mereka kenal sebagai “mengenal anak-anak mereka sendiri”, sebab telah tersebut tanda-tandanya dalam kitab Taurat dan kitab-kitab Nabi yang lain, hati mereka jadi berubah. Mereka memungkiri isi kitab mereka sendiri. Kalau dalam kitab itu memang masih terpancang janji dan berita gembira menunggu kedatangan Nabi itu, mereka ta’wilkan kepada yang lain. Yang ditunggu itu bukanlah Muhammad ini, tetapi Nabi yang lain lagi kelak.
Oleh sebab pendirian itu telah salah dari bermula, mereka sendiri pun telah merasa bahwa yang mereka pertahankan itu bukan lagi suatu kebenaran yang sejati, melainkan golongan sendiri. Sebab itu kalau ditanyakan, sudikah mereka menempuh maut, kalau betul kamu merasa bahwa kamulah yang sejati wali-wali Allah? Mereka tidak berani, mereka takut.
“Dan Allah lebih mengetahui akan orang-orang yang zalim. ” (ujung ayat 7). Artinya bahwa rahasia yang tersembunyi di belakang, atau hakikat yang tersembunyi dalam hati mereka diketahui oleh Allah. Mereka memang sengaja hendak membantah, sengaja hendak menantang Nabi dan ajarannya itu saja. Bukan karena palsunya Nabi itu dan bukan pula karena salah apa yang dia ajarkan, mereka semata-mata tidak mau kalau “kaum ummi” yang tidak terpelajar itu akan menduduki tempat yang layak di muka bumi.
“Katakanlah! Sesungguhnya mautyang kamu lari daripadanya itu. ” (pangkal ayat 8). Kamu lari daripadanya karena kamu sangat takut menghadapinya. Karena kamu sangat cinta akan hidup di dunia ini. Karena kamu ingin hendak hidup seribu tahun (Surat 2 al-Baqarah ayat 96). Ke mana pun kamu lari, “Sungguh dia akan menemui kamu. ” Ke mana kamu akan lari mengelak dari maut? Padahal di tempat kamu akan bersembunyi itulah dia menunggu. Kamu bersembunyi ke dalam peti yang pengap, supaya Malaikat maut jangan masuk rnenjemput nyawamu, namun karena pengap itulah kamu akan mati. Kamu lari ke dalam lautan yang dalam, maka di dasar laut itulah mati menunggumu;
“Barangsiapa yang takut akan sebab-sebab kematian, pastilah dia menemuinya,
Walaupun akan didakinya tingkat-tingkat langit dengan tangga. ”
“Kemudian itu akan dikembalikan kamu kepada Yang Maha Tahu akan yang ghaib dan yang nyata. ” Yaitu Allah Subhanahu wa Ta‘ala, karena pengetahuan sejati adalah padaNya saja. Dia yang sebenamya mengetahui akan barang yang nyata, yang dapat ditangkap oleh Pancaindera kita, yang dekatnya dapat dipegang, jauhnya dapat ditunjukkan. Sedangkan yang nyata itu saja pun tidaklah sempuma pengetahuan kita terhadapnya. Sedangkan yang nyata gunung yang dianggap nyata itu saja pun tidaklah cukup pengetahuan kita; berbeda tempat tegak berbeda pula yang nampak. Nyata kelihatan dari jauh puncak sebuah gunung yang amat indahnya. Tetapi ditakdirkan kita sampai ke puncak itu akan nyata pulalah bahwa dia tidaklah seindah daripada yang kita lihat dari jauh. Wama alam yang kita lihat pun berbeda di waktu pagi mulai dari matahari terbit dengan waktu senja ketika matahari akan terbenam, padahal yang dilihat itu-itu juga. Sehingga apa yang kita katakan nyata itu kerapkali, bertambah diselidiki bertambah tidak nyata lagi.
Adapun yang ghaib lebihlah sulit lagi daripada yang dianggap nyata itu. Banyak hal yang kita tidak pemah bertemu, kita tidak pemah melihat dengan mata, atau mendengar dengan telinga, atau meraba dengan tangan, tetapi akal meyakinkan bahwa dia ada. Dalam diri kita sendiri pun terdapat banyak kenyataan yang tetap ghaib bagi kita dan banyak pula hal yang ghaib namun dia nyata menurut akal kita.
Dan bagi orang Yahudi yang jadi pokok seruan ayat tadi, diberi ingatlah mereka bahwa mereka akan dikembalikan kepada Tuhan yang Maha Mengetahui akan yang Nyata, yang syahadah yang dapat disaksikan Pancaindera, termasuk kitab Taurat, lnjil, Zabur dan al-Quran. Dan di sana pula kelak akan dibongkar sesuatu yang ghaib bagi orang lain, tetapi jelas bagi Tuhan; yaitu sebab-sebab kamu mendustakan Nabi yang telah diutus Tuhan itu, sebagaimana telah disabdakan oleh Nabi s.a.w.;
“Dari Abu Hurairah (moga-moga Ridha Allah untuknya), berkata dia, berkata Rasulullah s.a.w.; “Demi Tuhan yang diri Muhammad tergenggam di
Tafsir Al-Azhar (Juzu 28)
tanganNya, tidaklah mendengar akan daku dari ummat ini, seorang Yahudi dan tidak pula seorang Nasrani, kemudian dia pun mati, padahal tidak juga dia beriman kepadaku, melainkan jadilah dia dari ahli neraka. ” (Riwayat Muslim)
“Maka akan la beritakan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (ujung ayat 8). Maka di hadapan Tuhan kelak akan terbukalah rahasia itu semuanya. Keingkaran dan keras kepala menolak kebenaran yang nyata akan mendapat perhitungan yang seksama di hadapan Allah. Sedang ajaran sejati dari Muhammad s.a.w. adalah sesuai dengan tithrah (j> w a mumi) manusia, sehingga seorang Badwi dari sebuah Desa yang jauh, ketika ditanyai apa yang menarik hatinya memeluk Islam, dia telah menjawab bahwa tertarik hatinya, karena kalau dia dengar sesuatu yang diperintahkan oleh Nabi, sebelum perintah didengamya, hati kecilnya telah mengatakan bahwa perbuatan itu memang baik. Dan kalau ada larangan, m3ka sebelum larangan itu didengarnya dari Rasul, hatinya pun telah mengatakan bahwa perbuatan semacam ini patutlah dilarang.
Kemudian dari itu maka ayat-ayat yang mengenai Yahudi dengan sikap mereka mendabik dada mengatakan bahwa mereka adalah wali-wali terdekat kepada Allah, padahal mereka takut mati, bukan saja bertemu pada diri orang Yahudi, orang Islam pun banyak yang ditimpa penyakit demikian itu. Mereka menyangka bahwa apabila kita sudah bemama Islam, walaupun kehidupan kita jauh dari apa yang diajarkan oleh Islam, maka kitalah orang yang paling dekat kepada Tuhan. Kita katakan bahwa ummat Muhammad semulia-mulia ummat; padahal kita tidak mengukur diri kita apakah benar-benar ummat Muhammad. Maka dalam ayat ini pun telah diberikan “thermometer” untuk mengukur “panas dingin”nya udara Iman di diri kita. Beranikah kita menghadapi maut karena mempertahankan agama Allah? Beranikah kita menempuh syahid karena berjihad pada jalan Allah? Masihkah hati kita terikat pada dunia fana ini, sehingga timbul rasa takut mati?
Hendaklah kita camkan, bahwa sebab turun ayat ini karena ada di zaman Nabi kita Yahudi-yahudi berperangai demikian. lalu mereka ditegur. Bukan karena Yahudinya, melainkan karena perangainya. Dan Nabi pun pemah mengatakan bahwa kamu akan mengikuti jejak mereka setapak demi setapak.
(9) Wahai orang-orang yang beriman! Apabila diseru kamu kepada sembahyang pada hari Jum‘at, maka bersegeralah kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli; demikianlah yang amat baik bagi kamu, jika kamu ketahui.
' - ' > * , 7 - / '
C / 4 y I \yj\1
'jjij ji)T ^ ij*-li
c
(10) Maka apabila telah diselesaikan sembahyang itu, maka bertebaranlah di bumi dan carilah kumia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beroleh keberuntungan.
J 'j
Up <di' 'j^J
/ > - > •• •
^ •* / /
(11) Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka pun bubar untuk pergi kepadanya dan mereka tinggalkan engkau sedang berdiri. Katakanlah! Apa yang sedia di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan pemiagaan itu; dan Allah adalah yang sebaik-baik pemberi rezeki.
•— i / Y * ►/ »( ^/ /,, •»(/ / /
E.
/ /^» / f / / »^ , -/ /, ^//^
ojj/- >»' Ji LtU
// / / /
0
Shalat Jum‘at
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila diseru kamu kepada sembahyang pada hari Jum‘at, maka bersegeralah kepada mengingat Allah. ” (pangkal ayat 9). Ayat ini menunjukkan bahwa sembahyang Jum‘at ini adalah wajib bagi barangsiapa yang mendengar seruan, yaitu azan. Kalau yang difahamkan hanya ayat ini saja, niscaya tidaklah wajib pergi ke Jum‘at bagi orang yang tidak meridengamya. Tetapi tiga orang ulama sahabat, yaitu Abdullah bin Umar, Anas bin Malik dan Abu Hurairah berpendapat bahwa dalam satu kota batas enam mil wajiblah bersegera pergi ke Jum‘at. Menurut Rabi‘ah batas empat mil. Menurut Imam Malik dan Laits batas tiga mil. Menurut Imam asy-Syafi‘i ukurannya ialah seorang Muazzin yang amat lantang suaranya, dan angin tenang dan muazzin itu berdiri di atas dinding kota.
Tetapi menurut Hadis yang shahih dari Bukhari yang diterima dari Aisyah bahwa penduduk kampung ketinggian (awaali) di Madinah datang pergi berjum‘at dari kampung mereka di luar kota Madinah yang jauhnya sekira tiga mil.
Dalam hal ini lebih dekatlah kepada faham kita pendapat yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan murid-murid beliau, wajib ke Jum‘at bagi penduduk suatu kota, didengamya seruan itu ataupun tidak didengamya, dan yang bukan penduduk kota itu, walaupun azan didengamya tidaklah dia wajib berjum‘at.”
Niscaya dapatlah kita perluas apa yang dimaksud dengan seruan itu. Karena kalau Jum‘at baru diwajibkan kalau azan sudah terdengar, pada Imam
176
Tafsir Al-Azhar (Juzu‘ 28)
Jum‘at yang mengikuti Sunnah bahwa azan hanya satu kali, yaitu setelah Imam Khatib telah naik ke mimbar, niscaya banyak orang yang tidak akan terkejar olehnya pergi ke Jum‘at dan mendengarkan khutbah, kalau wajibnya baru setelah azan didengamya. Sedang azan yang menurut sunnah itu dilakukan ialah sesudah waktu masuk, setelah Imam naik ke mimbar.
Melihat kepada perbuatan sahabat-sahabat Rasulullah, nyatalah bahwa mereka sejak pagi-pagi hari telah bersiap pergi ke mesjid, dengan tidak menunggu lebih dahulu ada orang melakukan azan. lni dikuatkan oleh sebuah Hadis;
. ^4 J—^=-(p>
0 tto-p.
^=i)' Sb5 p
“DariAbu Hurairah, berkata dia, berkata Rasulullah s.a.w.; “Barangsiapa yang mandi pada hari Jum‘at mandi jinabat, kemudian dia pergi (ke mesjid untuk shalat Jum‘at), samalah keadaannya dengan berkurban seekor unta. Barangsiapa yang pergi pada saat kedua, sama dengan berkurban seekor sapi. Barangsiapa pergi pada saat ketiga sama dengan berkurban seekor domba. Barangsiapa yang pergi saat keempat sama dengan berkurban seekor ayam. Bamngsiapa pergi saat kelima sama dengan berkurban sebutir telur; maka apabila Imam telah keluar, hadiriah malaikat-malaikat turut mendengarkan zHdr.”
(Riwayat Bukhari dan Muslim, Imam Malik dalam al-Muwaththa’,
Abu Daud, Termidzi dan an-Nasa’i)
Dengan adanyd Hadis ini disertai pula dengan Hadis-hadis lain yang sama maknanya dapatlah pula kiranya kita tahamkan bahwa terdengr atau tidak seruan azan, namun seruan telah ada langsung dairi Tuhan sendiri, dengan ayat ini. Apatah lagi sembahyang Jum‘at itu hanya sekali tiap hari Jum‘at itu saja, sehingga bila hari Jum‘at telah masuk, orang yang beriman dengan sendirinya telah beisedia.
“Dan tinggalkanlah jual-beli. ” Artinya ialah bagi orang yang sedang berjual-beli, hendaklah ditinggalkannya jual-beli apabila seruan azan sudah terdengar. Dan walaupun tidak terdengar azan itu, karena azan dilakukan ialah setelah waktu Jum‘at masuk, yaitu bersamaan dengan waktu Zuhur, maka lekaslah tinggalkan jual-beli, tutuplah kedai. Dengan perintah kepada orang beriman agar bersegera pergi ke Jum‘at bila seruan telah sampai, dan dengan perintah menghentikan jual-beli, diambillah kesimpulan bahwa Jumat adalah wajib.
Meskipun ada juga qaul-qaul yang lemah yang mengatakan bahwa Sembahyang Jum‘at itu adalah tardhu kitayah, namun kata yang kuat dari Imam-imam ikutan ialah wajib dan fardhu ‘ain. Hadis-hadis yang berhubungan dengan Jum‘at ini meninggalkan kesan pada kita bahwa Jum‘at adalah fardhu ‘ain.
Bersabda Rasulullah s.a.w.;
< ' i < < '->->2 '
“Barangsiapa yang meninggalkan Jum‘at tiga kali berturut-turut dengan memandang enteng, akan dicap Allah atas hatinya. ”
(Hadis Shahih dirawikan oleh lbnu Majah dari Abu al-Ja‘ad adh-Dhamri)
Dan sebuah Hadis lagi, sabda Nabi s.a.w.;
“Hendaklah berhenti kaum itu dari meninggalkan Jum‘at, atau akan dicap Allah hati mereka, maka jadilah mereka orang yang lalai.”
Dan terdapat lagi sebuah Hadis yang dirawikan dengan sanadnya oleh Ibnul ‘Arabi demikian bunyinya;
“Pergi ke Jum‘at adalah wajib atas tiap-tiap orang Islam."
Tentu saja kalau hendak pergi ke Jum‘at atau hendak mengerjakan sembahyang Jum‘at, yang lebih dahulu wajib dikerjakan ialah berwudhu’.
Sebab al-Quran telah menentukan bahwa tiap-tiap hendak berdiri sembahyang hendaklah berwudhu’ lebih dahulu. Berwudhu’ adalah menjadi wajib, sebab sembahyang Jum‘at adalah wajib. Sudah ada ketentuan dalam agama;
“Kalau yang wajib tidak sempuma kalau suatu pekerjaan tidak dikerjakan, maka mengerjakan pekerjaan itu menjadi wajib pula."
Sembahyang tidak sempuma, atau tidak dapat dilakukan kalau tidak berwudhu’ lebih dahulu. Sebab itu berwudhu’ jadi wajib.
Tentang mandi hari Jum‘at terdapat pula perselisihan pendapat di antara Ulama. Setengah ulama mengatakan mandi pada hari Jum‘at itu wajib sebagaimana wajibnya wudhu’ juga. Alasan mereka ialah sebuah Hadis yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Said al-Khudri;
“Mandi pada hari Jum‘at itu wajib atas tiap-tiap pemuda yang telah bermimpi.”
Arti muhtalimin ialah pemuda yang telah mulai bermimpi-mimpi, bersetubuh dengan perempuan sehingga keluar mani. Maka menurut Hadis ini, walaupun pada malam Jum‘at ini dia tidak bermimpi, namun dia diwajibkan juga mandi pagi Jum‘at.
Tetapi Hadis-hadis lain membawa kesimpulan bagi banyak ulama bahwa mandi hari Jum‘at itu bukanlah wajib, melainkan sunnah yang sangat dianjurkan, demi kebersihan. Di antara Hadisnya ialah sabda Rasulullah s.a.w. yang dirawikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari Hadis Abu Ayyub al-Anshari melalui Abdullah bin Ka‘ab bin Malik;
“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum‘at dan dia gosokkan dari wangiwangian isterinya jika ada padanya, lalu dipakainya yang bagus, kemudian itu
dia pun keluar sehingga datang ke mesjid, lalu dia sembahyang (sunnat) sesenangnya dan tidak dia mengganggu barang seorang pun, kemudian dia duduk diam; apabila /mamnya telah keluar, sampai dia sembahyang, semuanya itu akan menjadi penebus dosanya di antara Jum‘atnya itu dengan Jum‘at yang lain. ”
Hadis yang lain pula menunjukkan bahwa mandi pada hari Jum‘at itu adalah satu anjuran kebersihan semata-mata, yakni sekurang-kurangnya sekali sepekan dan harinya ialah hari Jum‘at hendaklah mandi. Nabi bersabda pula;
*'>.*>. (£-'•' '\i'- \ *> \ > '
J—l
“Hendaklah tiap laki-laki Muslim pada tiap-tiap tujuh hari mandi suatu hari, yaitu hari Jum‘at."
(Riwayat Imam Ahmad, an-Nasa’i dan Ibnu Hibban)
Dan sabdanya pula;
“Menjadi kewajiban karena Allah atas tiap-tiap Muslim mandi sekali pada tiap-tiap tujuh hari, supaya dimandikannya kepalanya dan tubuhnya. ”
(Riwayat Muslim)
Tanda bukan wajib, melainkan anjuran kebersihan ialah Hadis ini;
”, r' ' „ -l '' * '
“Barangsiapa yang berwudhu’ hari Jum‘at, itu adalah baik. Dan barangsiapa yang mandi, maka mandi adalah lebih afdhal. ”
(Riwayat an-Nasa’i dan Abu Daud)
Imam Ghazali dalam “/hya’” menganjurkan, agar mandi pagi Jum‘at itu menjadi penting, hendaklah dia dibuat jadi wajib. Yaitu dibuat jadi mandi janabah, dengan jalan bersetubuh dengan isterinya pada malamnya.
Di dalam ayat disebut bersegeralah mengingat Allah dari kalimat “fas‘au ilaa dzikrillaah!”
Manakah yang dimaksud dengan dzikrullah atau mengingat Allah itu? Penyusun tafsir ini adalah penganut pendapat bahwa yang dikatakan dzikrullah atau mengingat Allah itu ialah gabungan sejak azan, khutbah, iqamat dan sembahyang. Bahkan Said bin Jubair berpendapat bahwa kedua khutbah Jum at itu adalah sebagai pengganti dari dua rakaat Zuhur.
lbnul ‘Arabi pun berpendapat bahwa keseluruhannya, termasuk khutbah adalah wajib semuanya. Meskipun ada yang berpendapat bahwa khutbah tidak termasuk dalam perlengkapan Jum‘at, dengan arti bahwa Jum‘at sah juga meskipun khutbahnya tidak ada, faham demikian itu adalah ijtihadiyah yang jauh dari dasar. Sebab sejak Jumat diwajibkan pada permulaan hijrah ke Madinah, belum pemah Rasulullah sampai wafatnya yang mengerjakan sembahyang Jum‘at dengan tidak memakai khutbah.
Kewajiban bersegera ke mesjid dan larangan keras berjual-beli, bukanlah semata-mata hendak mengejar Jumat, melainkan mengejar Jum‘at yang di dalamnya termasuk mendengar khutbah.
Di dalam ayat tersebut pun perintah bersegera diartikan dari Fas‘au. Asal kata ialah dari kalimat So‘y/ atau bersegera bukanlah tergesa-gesa dan terburuburu, mengejar karena takut ketinggalan. Nabi bersabda;
“Apabila telah kamu dengar iqamat, maka pergilah sembahyang dan hendaklah kamu bertenang dan merendahkan diri dan jangan tergulut-gulut (tergesa-gesa). Mana yang kamu dapati sembahyanglah dan mana yang ketinggalan cukupkanlah. ” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan ada lagi dua tiga Hadis yang lain yang sama maknanya.
Al-hasan al-Bishri menjelaskan lagi, “Demi Allah bukanlah yang dimaksud dengan bersegesa itu bahwa kamu berjalan kaki dengan cepat-cepat bahkan dilarang kamu pergi sembahyang, melainkan dengan tenang dan merendahkan diri di hadapan Tuhan dan maksud bersegera itu ialah kesiapan hati dan niat serta khusyu‘.”
Oleh sebab itu dapatlah kita artikan kesegeraan di sini ialah kesiapan hati kita akan pergi berjum‘at sejak hari Jum‘at itu telah datang. Sampai pun menyiapkan diri dengan mandi, dengan membersihkan badan, menyediakan baju atau pakaian yang bagus, memakai yang harum-harum, mengejar shaf pertama, semuanya itu termasuk kesegeraan; jadi bukanlah berlari-lari, bergulut-gulut terburu-buru.
Di ujung ayat dijelaskan; “Demikianlah yang amat baik bagi kamu, jika kamu ketahui. ” (ujung ayat 9). Sebab dengan melakukan Jum‘at pada saat-saat hari tertentu itu akan timbullah hubungan yang rapat antara kamu dengon
orang-orang yang beriman, akan terpeliharalah agama karena persatuan langkah, akan rapatlah barisan karena kesatuan Iman, akan timbullah kesadaran diri dalam berjamaah di bawah pimpinan Rasul. Yang akan beruntung dalam hal ini adalah masyarakat kamu sendiri, Itu akan kamu rasakan jika kamu mengetahui betapa pentingnya perpaduan ummat di dalam menjunjung tinggi perintah Allah.
Terbukti bahwa sudah 14 abad sampai sekarang ini, ketika Tafsir Al-Azhar ini disusun, dan Islam telah merata ke seluruh dunia, namun di mana pun kita berada di bahagian dunia ini, berbagai ragam bangsa dan suku yang memeluknya, namun corak sembahyangnya masih tetap satu; sama cara sembahyang orang di zaman Abu Bakar Shiddiq dengan di zaman almarhum Syahid Raja Faishal bin Abdul Aziz. Dan sama cara sembahyang orang di ujung Tiongkok dengan di kepulauan Inggeris. Sama corak sembahyang orang sejak dari Moroko di Afrika Utara sampai di Merauke di ujung timur kepulauan Nusantara. Salah satu sebabnya yang utama ialah karena adanya jamaah dan Jum'at, sehingga kalau ada yang salah, sebentar itu juga membuat teguran dari temannya supaya diperbaiki.
Suatu kesatuan corak dan cara yang tidak terdapat dalam agama lain mana pun di dunia ini.
Sebagaimana shalat pada waktu yang lima, sembahyang Jum at itu pun memakai azan juga. Apatah lagi telah disebutkan dalam ayat “Apabila diseru kamu”; niscaya maksud yang khas dari seruan di sini ialah azan. Adapun yang azan hari Jum‘at ini dilakukan ialah sesudah Nabi s.a.w. duduk di atas mimbar kemudian mengucapkan khutbahnya. Cara yang demikian itu dituruti juga oleh Abu Bakar dan Umar dan dilakukan juga oleh Ali setelah pusat pemerintahannya dipindahkan ke Kufah.
Setelah kaum Muslimin bertambah ramai dalam kota Madinah, lipat-ganda berpuluh kali banyaknya dalam zaman pemerintahan beliau sehingga penduduk yang tadinya misalnya 1,000 orang telah menjadi 10,000 orang atau lebih, di zaman pemerintahan Saiyidina Ustnan bin Affan, teringatlah oleh beliau mengadakan azan tambahan, sekedar untuk memperingatkan penduduk yang telah banyak itu agar segera masuk ke dalam mesjid, sebelum waktu masuk. Tempat berdiri azan itu ialah suatu tempat yang agak tinggi dekat pasar di Madinah, bemama “Az-Zauraa”. Muazzin itu keluar dari mesjid, lalu azan ke tempat yang tinggi itu dan selesai azan dia pun turun. ,
Ai-Maawardi menyatakan bahwa azan pertama itu adalah muhdats, (diadaadakan kemudian), dibuat oleh Usman bin Affan setelah penduduk Madinah bertambah banyak, supaya orang segera masuk ke mesjid.
Ibnul ‘Arabi Ulama terkemuka dalam Mazhab Malik mengatakan tentang Hadis shahih yang berbunyi;
Di antara dua azan ada sembahyang, bagi barangsiapa yong mau
Kata beliau; “Banyak orang menyangka bahwa sembahyang sunnat itu ialah di antara dua azan, yaitu azan tambahan Usman dengan azan yang asli daii Rasulullah s.a.w. itu. Padahal yang dimaksud dengan dua azan ialah azan dan iqamat karena keduanya adalah panggilan kepada sembahyang. Lalu beliau jelaskan lagi bahwa tambahan azan Saiyidina Usman itu adalah perbuatan yang diadakan kemudian. Tegasnya tidak tepat lagi menuruti sunnah.
Kalimat muhdats = , adalah kata lain yang lebih hormat tentang
Bid‘ah. Oleh sebab yang memulai tambahan azan itu sahabat Rasulullah s.a.w. orang merasa kurang hormat memakai kalimat bid‘ah buat diri beliau, lalu disebut yang lebih halus, meskipun artinya bersamaan, yaitu muhdats.
Di Indonesia umumnya mazhab yang dipakai ialah Mazhab Syafi‘i. Maka kalau ada orang memperkatakan hendak menghilangkan azan dua kali itu dan memilih yang satu kali banyak orang yang bertahan mengambil alasan dengan mengatakan bahwa kita bermazhab Syafi‘i. Setelah beliau menguraikan terlebih dahulu, menurut riwayat Rabi‘ bahwa Imam ‘Atha’ mengatakan bukan Usman yang memulai tambahan azan itu melainkan Mu awiyah, maka Imam Syafi‘i berkata;
“Yang mana pun di antara keduanya itu yang terjadi (Usmankah atau Mu‘awiyahkah yang mengadakan tambahan itu), namun perbuatan yang dikerjakan di zaman Rasulullah s.a.w. itulah yang lebih disukai di sisi saya.” (Lihat al-Umm juzu’ 1).
Memang kita menghormati sangat-sangat kepada sahabat-sahabat Nabi kita s.a.w. Tetapi apabila kita memilih mana yang dikerjakan Rasulullah sendiri dan meninggalkan tambahan yang dari sahabat beliau, tidaklah berarti bahwa kita kurang hormat kepada beliau, melainkan kita telah meletakkan Nabi lebih tinggi daripada sahabatnya; niscaya sahabat-sahabat itu sendiri akan bersuka hati jika sikap kita demikian.
Apatah lagi tidaklah pula boleh kita lupakan kemajuan zaman kita sekarang, dengan adanya alat-alat listrik pengeras suara, adanya mikrofon dan loudspeaker, sehingga suara azan sudah dapat didengar dari tempat yang ukurannya sudah lebih jauh dari berganda-lipat daripada di zaman Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau dahulukala itu.
Ahli-ahli Fiqh menyimpulkan bahwa orang yang wajib mengerjakan Jum‘at ialah; orang Islam, merdeka, berakal, telah baligh, menetap, sanggup pergi ke tempat Jum‘at, tidak berhalangan dengan halangan-halangan yang menyebabkan tergendalanya kowajiban itu.
Yang tidak wajib ke Jum‘at disebutkan oleh Rasulullah s.a.w. demikian sabdanya;
< \ ' A 4, ' \
V'-5'
“Berjum‘at adalah hak yang wajib atas tiap-tiap Muslim dengan berjamaah, kecuali empat; (1) budak yang dipunyai orang, atau (2) perempuan, atau (3) kanak-kanak, atau (4) orang sakit. ”
Imam an-Nawawi berkata bahwa lsnad Hadis ini adalah shahih atas syarat Bukhari dan Muslim. Al-Hafidz lbnu Hajar mengatakan bahwa yang menyatakan shahih Hadis ini bukan seorang.
(5) Orang musatir meskipun dia singgah di suatu tempat yang di sana orang akan bersembahyang Jum‘at, tidaklah orang musafir itu berjum‘at Karena Nabi sendiri tidaklah berjum‘at ketika dalam perjalanan. Ketika mengerjakan Haji Wada‘, beliau wukuf di Arafah pada hari Jumat, namun beliau hanya menjama' taqdim dan mengqashar, beliau tidak berjum‘at. Khalifa"h beliau di belakang pun melakukan begitu
(6) Orang berhutang yang hutang belum sanggup membayar, takut akan diberi malu oleh orang yang menagih piutang di hadapan orang banyak, atau ditangkap dan dipenjarakan.
(7) Orang yang bersembunyi dari tangkapan Penguasa yang zalim
(8) Uzur halangan yang lain yang menyebabkan meninggalkan jamaah, seperti hujan lebat, panas sangat terik, dingin sekali, atau bekas hujan tanah jadi berlumpur sehingga sukar dilalui, banjir dan seumpamanya. Kalau sudah demikian orang sudah boleh sembahyang di rumah saja.
Adapun perempuan, mereka tidaklah diwajibkan pergi ke Jum‘at. Tetapi di zaman Rasulullah s.a.w. perempuan-perempuan ada juga yang pergi ke Jum‘at. Rasulullah telah meninggalkan pegangan dengan sabda beliau;
“Jangan kamu larang perempuan-perempuan kamu ke mesjid-mesjid; tetapi mmah-njmah mereka lebih baik untuk mereka. ”
(Riwayat Abu Daud dari Hadis Abdullah bin Umar)
Jumhur Ulama (sebahagian yang terbesar) baik dari kalangan sahabatsahabat Rasulullah s.a.w. ataupun Tabi‘in sama pendapat bahwa waktu Jum‘at adalah waktu Zuhur, yaitu sesudah zawal (tergelincir) matahari dari pertengahan siang. Dalilnya yang kuat adalah sebuah Hadis yang dirawikan oleh Imam Ahmad, Bukhari, Abu Daud, Termidzi dan al-Baihaqi, diterima dari Anas bin Malik bahwa Nabi sembahyang Jum‘at setelah condong matahari. Bukhari sendiri berdasar atas Hadis yang dia rawikan mengatakan bahwa waktu sembahyang Jum‘at ialah setelah matahari tergelincir dari pertengahan siang. Demikian juga dirawikan orang dari Umar, dari Ali dan dari Nu‘man bin Basyir dan Umar bin Harits; semuanya itu sahabat Rasulullah.
Imam asy-Syafi‘i berkata; “Nabi dan Abu Bakar, dan Umar dan Usman dan Imam-imam sesudah mereka sembahyang Jum‘at ialah sesudah matahari condong dari pertengahan siang.
Tetapi ada juga khilahyah perkara ini. Sebab ada riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal dan lshaq bin Rawaihi yang menyatakan bahwa beliaubeliau berpendapat bahwa waktu Jum‘at ialah dari permulaan waktu sembahyang Hari Raya sampai kepada akhir waktu Zuhur. Karena pendapat ini ada pula dalilnya dari Hadis yang dirawikan oleh Imam Ahmad sendiri dan Muslim dan an-Nasa’i, diambil kesimpulan oleh pemegang pendapat pertama bahwa kejadian itu ialah di waktu sangat musim panas, dan diartikan bukanlah benarbenar sembahyang Jum‘at di waktu pagi sebagai permulaan Shalat idul Fithri dan idul Adhha itu, melainkan dicepatkan saja karena mengelakkan nyala musim panas di musim shaif (panas). Namun waktunya ialah waktu Zuhur juga
Pendapat tentang berapa orang baru sah berdiri Jum‘at banyak sekali, al-Hafiz Ibnu Hajar menyalinkan dalam Fat-hul-Dari tidak kurang daripada 15 qaul tentang berapa baru sah itu.
Nabi s.a.w. sendiri mengatakan bahwa kalau orang sudah berkumpul berdua, yang seorang sudah tentu menjadi Imam dan bersembahyanglah berdua berjamaah. Oleh karena Jum‘at itu berjamaah, berdua pun telah berjum‘at. Al-Hasan al-Bishri mengeluarkan pendapat ini.
Allails dan Abu Yusuf mengatakan; “Bertiga
Sufyan ats-Tsauri dan Abu Hanifah; “Berempat.”
Rabi‘ah mengatakan; “Duabelas orang.”
Ada satu riwayat dari az-Zuhri yang diterimanya dari ceritera sahabat Rasulullah s.a.w. Mush‘ab bin Umair yang diutus beliau jadi guru kaum Anshar ke Madinah, bahwa dia di Madinah tinggal menumpang di rumah Sa‘ad bin Mu‘az; di rumah itu dia selalu berkumpul dengan duabelas orang sefaham dan di hari Jum‘at mulailah mereka melakukan sembahyang bersama.
Imam Syafi‘i terkenal dengan pendapat beliau bahwa baru wajib Jum‘at kalau bilangan orang yang menetap empat puluh orang banyaknya; keempat puluhnya itu hendaklah orang baligh, lagi berakal, merdeka dan menetap tinggal di sana. Imam Syafi‘i berpegang kepada Hadis dari Jabir bin Abdullah yang dirawikan oleh ad-Daruquthni, juga tersebut dalam Sunan Ibnu Majah dan dalam “Dalaailun Nubuwwah ” dari al-Baihaqi satu Hadis pula diterima dari Abdurrahman bin Ka‘ab bin Malik. Ka‘ab bin Malik adalah salah seorang Anshar yang turut dalam perjanjian 'Aqabah di Mina ketika mereka menerima Islam. Abdurrahman bin Ka‘ab bin Malik itu bercerita bahwa setelah ayahnya Ka‘ab itu tua dan telah buta matanya, dialah yang selalu membimbing ayahnya ke Jum‘at. Abdurrahman bin Ka‘ab berceritra bahwa tiap-tiap ayahnya yang telah buta itu mendengar lapal-lapal azan diserukan muazzin, selalu beliau berdoa memohonkan kumia ampunan Ilahi bagi Abu Amamah. Asal saja terdengar azan beliau mendoakan Abu Amamah. Lalu Abdurrahman bertanya; “Ya ayah! Mengapa tiap terdengar azan ayah mendoakan Abu Amamah? Mengapa dengan dia? Lalu beliau jawab; “Hai anakku! Abu Amamah itulah yang mula-mula mengajak kami berkumpul di Madinah di lembah Bani Bayadhah yang bemama Naqi’ al-Khadhimaat.” Lalu Abdun-ahman bertanya; “Berapa orang yang berkumpul waktu itu?” Dia menjawab; “Empat puluh orang!”
Hadis Jabir bin Abdillah itu demikian pula bunyinya;
“Telah berlaku sunnah bahwa tiap-tiap tiga orang, seorang menjadi Imam; tiap-tiap sudah sampai empat puluh orang lalu ke atasnya berdiri Jum‘at dan Hari Raya Adhha dan Fithri. ” (Riwayat ad-Daruquthni)
Ada lagi riwayat lain, keterangan dari sahabat Rasulullah s.a.w. Abu Hurairah yang dirawikan oleh az-Zuhri dengan sanadnya, ketika ada yang menanyakan kepada Abu Hurairah itu berapa orang baru Rasulullah mendirikan JunTat? Dia menjawab, “Setelah bilangan sampai lima puluh orang, Rasulullah telah mengumpulkan jadi Jum‘at.”
Oleh sebab itu dilihat dari keselumhan tidaklah ada sesuatu yang jelas sehingga Abdulhaq berkata; “Tidak ada satu Hadis dari riwayat-riwayat itu yang lebih kuat dari yang lain, dan semua ada alasannya ”
Satu yang menarik hati kita di antara limabelas qaul yang dinukil oleh al-Hafiz Ibnu Hajar itu, yaitu bahwa yang penting ialah beijamaah dan ramai! Berapa bilangannya, tidak ada ketetapan.
Tetapi tidaklah lepas dari ingatan kita bahwa dari taqlid Mazhab dalam penganut Mazhab Syafi‘i. Yaitu karena beliau pemah menyatakan pendapat barulah sah Jum‘at kalau jamaah telah empat puluh orang, kesemuanya menetap di kampung itu, ditambah lagi tentunya kesemuanya hendaklah fasih bahasa Arabnya, sekurang-kurangnya di dalam membaca bacaan-bacaan yang jadi rukun dari sembahyang Jum‘at itu. Maka kalau segala syarat itu tidak dapat dipenuhi, meskipun sampai empat puluh, tetapi ada beberapa orang yang kurang fasih lidahnya, tidaklah sempuma Jum‘at itu. Oleh karena merasa tidak sempuma, maka mereka tambahlah Jum‘at yang dua rakaat itu dengan Zuhur pula empat rakaat.
Itu betul-betul kesempitan faham karena taqlid. Mereka memandang bahwa agama yang sah hanyalah apa yang diterima dari Mazhab Syafi‘i. Padahal Imam Malik mengatakan 12 orang telah sah Jum‘at. Mengapa mereka tambah lagi dengan Zuhur? Kalau ragu akan sahnya Jum‘at saja, tidak usah menambah dengan Zuhur lagi dan diikuti saja pendapat Imam Malik yang mengatakan duabelas orang telah sah? Apakah amalan Imam Malikitu tidak boleh diamalkan? Apakah itu tidak amalan orang Islam?
Ada beberapa syarat pula yang diperbuat oleh Ulama-ulama Fiqh.
Saiyidina Umar bin Abdul Aziz mengeluarkan perintah; bila sebuah desa penduduknya telah sampai tiga puluh rumah, di sana sudah wajib berdiri Jum‘at
Imam Abu Hanifah memberi syarat, bahwa baru boleh mendirikan Jum‘at pada negeri yang telah disebut Mishr, artinya kota besar. Mempunyai Sultan yang berkuasa dan berwibawa, ada pasamya dan ada pula sungainya yang mengalir. Kalau semata-mata sebuah kampung belum boleh berdiri Jum‘at.
Syafi‘i dalam qaul yang qadim menyatakan bahwa dalam sebuah kota tidak boleh berdiri Jum‘at, kalau ada berbilang mesjid, atau surau atau langgar, yang dipakai untuk Jum‘at hanya satu. Kalau dua tiga mendirikan Jum‘at, maka yang sah hanya satu, yaitu yang tua. Tetapi oleh karena di tengah-tengah kota Baghdad mengalir sungai Dajlah yang besar, maka beliau berpendapat boleh berdiri lagi Jum‘at di seberang sungai.
Dalam qaul Jadid, yaitu setelah beliau pindah ke Mesir, berbeda pula letak kota daripada di Baghdad, pendapat beliau pun ada perubahan. Yaitu berbilang Jum‘at tidak mengapa lagi, asal Imam (Penguasa) yang menentukan.
Tidaklah boleh kita tergesa-gesa mencap pendapat Ulama-ulama yang begitu besar, dua mesjid berdekat-dekatan, pembatasnya hanya sebuah jalan kecil, yaitu di antara Mesjid Sultan Hasan dan Mesjid ar-Rifa‘i, dan keduanya dipakai untuk JunrTat.
Penulis tafsir ini teringat ketika menjadi tamu Sultan Terenggapu pada tahun 1960. Mufti kerajaan Terangganu, Assayyid Yusuf Zawawi, Ulama keluaran Azhar menceriterakan bahwa beliau telah memberikan fatwa kepada Sultan Terengganu supaya di beberapa kampung yang selama ini belum pemah berdiri Jum‘at di tempat itu, meskipun di sana ada surau-surau tempat orang kampung mendirikan sembahyang Jamaah lima waktu, oleh karena syarat lima puluh orang baligh, berakal, merdeka, menetap dan ditambah lagi dengan kefasihan membaca bacaan sembahyang, sukar mencapainya, maka tuan Mufti telah memfatwakan agar didirikan saja di kampung itu Jum‘at, meskipun “mustautin” (yang menetap) itu belum juga cukup empat puluh. Karena kalau ditunggu juga bilangan empat puluh itu, mungkin berpuluhpuluh tahun tidak akan tercapai, dan tidak semua mereka itu sanggup akan pergi berjum‘at ke tempat lain yang ada Jum‘atnya.
Agama Islam adalah mudah! Tidak mempersukar-sukar. Buah pendapat ahli-ahli fiqh terkemuka kadang-kadang sesuai dengan zamannya, tetapi belum tentu sesuai dipasangkan di tempat lain.
Misalnya di kota Jakarta sendiri sesudah pergolakan rakyat Indonesia dalam kesadaran beragama, sehabis penghancuran fikiran yang disebarkan orang komunis, dapat dikalahkan, maka semangat beragama timbul kembali, sehingga di kantor-kantor, di kementerian, di bank-bank orang mendirikan sembahyang JunrTat. Kalau kita njlimet memakai pendapat ahli-ahli fiqh niscaya banyak di antara tempat Jum‘at itu akan ditutup, karena tempatnya kadangkadang berdekatan. Misalnya di Merdeka Barat terdapat tempat berjum‘at di Gedung Radio Republik Indonesia, di departemen Penerangan, di departemen Pertahanan dan Keamanan (ada sebuah mesjid yang muat sembahyang 500 orang), di Bank Negara, di mesjid di belakang toko Serba Ada Sarinah dan di Hotel lndonesia.
Begitu pula di tempat-tempat yang lain. Sedang di mesjid-mesjid yang telah ada tidak pula kurang ramainya.
Semuanya itu kalau sudah mencapai pokok anjuran, niscaya telah sah Jum‘atnya. Pokok anjuran ialah berjamaah!
Sudah nyata bahwa yang terpenting dari sembahyang Jum‘at itu ialah karena akan mendengarkhutbah lmam. Sekali dalam sepekan kita berkumpul, sehingga di hari Jum‘at itu sembahyang Zuhur yang empat rakaat dijadikan dua rakaat dan dinamai Jum‘at, ditambah dengan khutbah.
Yang jadi pokok dari memberikan khutbah ialah memberi pelajaran, pendidikan, peringatan dan kesadaran beragama, mengulang-ulangkan peringatan ke dalam hati orang yang beriman agar mereka memperteguh takwanya kepada Tuhan dengan anjuran yang benar-benar menawan hati dan menimbulkan keinsatan.
Dalam mazhab Syafi‘i disebutlah rukun-rukun khutbah. Yaitu;
(1) Memuji Tuhan dengan ucapan Alhamdulillah,
(2) Mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasulullah s.a.w.,
(3) Memberikan nasihat agar bertakwa kepada Allah dalam kedua khutbah,
(4) Bacakan ayat al-Quran walaupun hanya satu ayat,
(5) Mendoakan kaum Muslimin.
Dalam mazhab Hanbali hanya empat, sekadar mendoakan kaum Muslimin itu tidak masuk.
Dalam mazhab Malik, rukun Khutbah hanya satu. Yaitu asal khutbah itu mengandung satu hal saja yang amat penting, yaitu memberikan kesadaran beragama kepada jamaah yang mendengarkan sehingga meresap padanya kesadaran beragama.
Dalam mazhab Hanafi pun hanya satu saja. Yaitu asal khutbah itu mengandung dzikr (menyebut dan mengingat) Allah.
Memang, sudah biasa apabila orang berkhutbah yang berdasarkan agama, baik tabligh agama, baik ceramah atau pengajian, dituruti orang sunnah Nabi, yaitu dimulai dengan memuji Allah. Maka kalau dalam mazhab Syafi‘i hal itu dijadikan rukun, maka oleh mazhab Hanafi dan Maliki tidaklah kepada kemestian membaca Alhamdulillah itu perhatian ditekankan, melainkan kepada isi khutbah.
Hendaklah kita tinjau dan simpulkan pendapat-pendapat dari inazhabmazhab itu dengan sebaik-baiknya. Kalau kita hanya membeku saja menurut rukun Khutbah yang digariskan dalam mazhab Syafi‘i, niscaya mudah saja seorang Khathib naik mimbar lalu berkhutbah;
“Segala puji bagi Allah.
Shalawat dan Salam atas Rasulullah,
Wahai sekalian manusia, takwalah kcpada Allah, Katakanlah bahwa Allah itu adalah Satu,
Ya Tuhanku, ampunilah Muslimin dan Muslimat.’’
Cuma itu saja, lima patah kata; dia pun turun sebentar dan naik lagi untuk khutbah kedua, dibacanya itu juga. Dalam tjga menit selesai dia baca Khutbah.
Atau menurut mazhab Hanbali, dibacanya semua kecuali yang kelima dengan cara begitu pula. Semua sah! Tetapi hambar saja!
Atau turuti Mazhab Hanafi; baca saja Alhamdulillah, La ilaha Ulallah, Allahu Akbar! Lalu turun.
Cara-cara begini mungkin bisa terjadi di kampung yang bapak Imam dan Khathibnya telah lama mati dan hanya seorang yang berani menggantikan dengan cara begitu.
Yang sebaiknya ialah perhatikan Mazhab Maliki, isi khutbah itu dengan pelajaran bagi kaum Muslimin dan hiasi khutbah itu menurut tuntunan Mazhab Syafi‘i; tetapi kalau berkurang-kurang, tidak persis lima (Mazhab Syafi‘i).atau empat (Mazhab Hanbali), janganlah langsung khathib disuruh turun dari Mimbar dan dikatakan bahwa khutbahnya tidak sah.
Yang penting hendaklah orang yang jadi Khathib itu seorang yang patut dijadikan teladan yang baik. Hendaknya Imam merangkap jadi Khathib. Dalam sembahyang dia Imarn, sebelum sembahyang dia memberikan nasihat dan ajaran mendalam di khutbahnya. Sebab pada hakikatnya beliau itu adalah penerus dari tugas Nabi dan tugas Khalifah-khalifahnya.
Yang penting sekali diperhatikan ialah bahwa khutbah itu ialah pidato. Dia adalah semacam seni yang halus untuk menawan dan menaklukkan hati pendengar Pemah ditanyakan orang kepada Abdulmalik bin Marwan; belum sampai dua tahun dia memegang pemerintahan, rambutnya telah memutih, telah tumbuh banyak uban. Ditanyakan orang, mengapa sampai begitu. Beliau menjawab bahwa yang menambah banyak uban di kepalanya itu ialah karena tiap-tiap hari Jum‘at naik tangga mimbar. Karena sejak sehari sebelumnya sudah dihkirkan apa yang patut dikhutbahkan, apa yang sesuai dengan keadaan jamaah yang akan mender.gar.
Apatah lagi Nabi s.a.w. sendiri memberi ingat menurut sebuah Hadis;
“Sesungguhnya panjang sembahyang seseorang dan pendek khutbahnya adalah alamat dari fiqhnya. Sebab itu panjangkanlah sembahyang kamu dan pendekkan khutbah.”
(Riwayat Imam Ahmad dan Musiim dari Hadis ‘Ammar bin Yasir)
Arti alamat dari riqhnya ialah alamat dari mendalam fahamnya tentang hikmah-hikmah agama dan kesanggupannya mengetahui kepentingan orang banyak.
Jabir bin Samurah (radhiallahu ‘anhu) berkata; “Sembahyang Rasulullah s.a.w. itu adalah sederhana dan khutbahnya pun sederhana.”
Abdullah bin Abu Aufaa (radhiallahu ‘anhu) berkata; “Rasulullah s.a.w. itu sembahyangnya panjang khutbahnya pendek.” (Dirawikan oleh an-Nasa’i dengan sanad yang shahih).
Berkata Jabir bin Abdullah (radhiallahu ‘anhu); “Rasulullah itu kalau beliau berkhutbah merah kedua matanya, tinggi suaranya, bersikap marah seakanakan beliau mengerahkan tentara; “Awaslah pagi-pagi kamu, petang-petang kamu.” (Dirawikan oleh Muslim dan Ibnu Majah).
Imam Nawawi berkata; “Sangat disukai khathib itu kalau berkhutbah hendaklah dengan bahasa yang fasih, menarik dan terasa ke hati, tersusun dan jelas, dengan tidak usah kata-kata yang berlebih-lebihan dan berdalam-dalam. Dan jangan dipakai kalimat-kalimat yang rendah mutunya atau yang dibuatbuat; sebab yang demikian itu tidak akan berpengaruh ke dalam hati dengan sempuma. Jangan pula kata-kata yang kasar, sebab yang demikian tidak akan menghasilkan maksud. Tetapi pilihlah kata-kata sederhana yang dapat segera difahamkan.”
Dalam kongres anjuran Rabithatul ‘Aalamil Islami, memperkatakan mesjid di Makkah pada Ramadhan 1398, (September 1975) diperbincangkan juga kepentingan khutbah. Mesjid dengan khutbah yang baik dianggap sebagai pembangkit yang baik dari kesadaran beragama. Di sana pun dianjurkan agar Imam-imam dan khathib Jum at itu hendaknya orang yang berkeahlian dan mempunyai wibawa peribadi. Dikaji juga di situ bahwa setelah Islam mundur, mesjid tidak berperan lagi dan khutbah Jum‘at pun mundur samasekali.
Kita pun dapat melihat khathib-khathib kampungan membawa khutbahkhutbah yang telah dikarang. Enam puluh tahun yang lalu masih ditemui kitab khutbah yang dikarang oleh tuan Syaikh Ahmad Khathib diMakkah dan dikirim ke mesjid-mesjid di tanahair kita buat dibaca. Khutbah itu bahasa Arab. Khathibkhathib membacanya dengan dilagukan, jamaah yang hadir tidak faham apa yang dibaca khathib, bahkan khathib itu sendiri pun tidak faham apa yang dia baca. Bahkan pengetahuannya tentang agama hanya sekedar melagukan khutbah itu saja. Di dekat mihrab digantungkan sehelai jubah, yang apabila khathib akan naik mimbar dipakainya jubah itu lebih dahulu, dan disediakan tongkat yang akan dipertongkatnya selama berkhutbah. Tongkat itu biasanya berupa tombak, katanya karena sunnah Nabi memakai tombak, namun tombak itu ialah tombak kayu. Kadang-kadang ada pula memakai pedang, pedang itu pun pedang kayu. Dan sesudah selesai sembahyang kelak, mereka pun menyusun shaf kembali, lalu sembahyang Zuhur. Sebab mereka sendiri memutuskan bahwa Jum‘at yang baru mereka lakukan itu tidak sah, sebab bilangan empat puluh orang dengan syarat-syarat yang ditentukan tidak tercapai!
Mazhab Maliki dengan tegas menyatakan bahwa khutbah Jum‘at mesti bahasa Arab, meskipun jamaah yang berjum‘at bukan orang Arab. Khathibnya wajib mempelajari khutbah yang bahasa Arab itu dan membacanya, walaupun hadirin tidak mengerti. Kalau tidak ada khutbah demikian, gugurlah kewajiban Jum‘at bagi mereka.
Mazhab Hanafi; “Boleh saja memakai khutbah bahasa selain bahasa Arab, walaupun atas orang yang mengerti bahasa Arab. Atau jamaah itu orang Arab.”
Mazhab Hanbali; “Kalau khathib sanggup berkhutbah bahasa Arab tidaklah boleh memakai khutbah dalam bahasa selain Arab. Lain perkara kalau tidak sanggup; waktu itu baru boleh memakai bahasa yang lain. Tetapi ayat-ayat alQuran wajib dibaca menurut aslinya.”
Menurut Mazhab Syafi‘i, disyaratkan kedua khutbah itu dalam bahasa Arab. Tidaklah memenuhi syarat berkhutbah dengan bahasa selain Arab kalau masih bisa dipelajari bahasa Arab; tetapi kalau tidak mungkin, barulah boleh dipakai bahasa selain Arab. Peraturan ini berlaku jika jamaahnya itu bukan orang Arab, tidaklah disyaratkan rukun-rukun khutbah itu mesti bahasa Arab juga. Kalau terpaksa dia memakai bahasa selain bahasa Arab, namun ayat-ayat al-Quran hendaklah dibaca menurut asli Arabnya. Kalau ayat itu tidak hafal dalam bahasa Arabnya, boleh diganti dengan doa-doa dalam bahasa Arab.
Selain dari rukun-rukun khutbah yang lima perkara boleh saja diucapkan dalam bahasa selain Arab.
Dalam hasil Permusyawaratan Kongres di Makkah memusyawaratkan soal Mesjid pada Ramadhan 1395 itu segenap hadirin bersetuju bahwa terhadap bangsa Arab sendiri hendaklah dipakai bahasa Arab yang fasih. Adapun terhadap Kaum Muslimin yang bukan Arab hendaklah dipakai untuk khutbah bahasa yang dapat mereka fahamkan. Karena tujuan khutbah ialah memberi ajaran agama kepada jamaah.
Wajiblah bagi jamaah mendengarkan khutbah dengan tertib dan hening, jangan ribut supaya khutbah bisa didengarkan dengan baik. Sehingga jika ada yang ribut janganlah yang lain menegur yang ribut itu pula, supaya jangan bertambah ribut. Karena ada Hadis;
jLk 'jW jla A' JJ^y 'J » J) J*
“Daripada Abu Hurairah, bahwa Nabi s.a.w. pemah berkata; “Apabila engkau katakan kepada kawan engkau “Diamlah” pada hari Jum‘at sedang Imam berkhutbah, maka jadi gagallah engkau. ” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan bila Imam itu telah naik ke atas mimbar menghadap kepadanya baikbaik, artinya supaya tertuju perhatian kepada isi khutbah yang akan beliau khutbahkan. Karena begitulah yang dilakukan oleh sahabat-sahabat Rasulullah kepada diri beliau setelah beliau naik ke atas mimbar.
Menjadi perselisihan pendapat di kalangan Ulama-ulama salat kalau bertemu dua Hari Raya. Yaitu jatuh sebelum sembahyang Hari Raya Fithri atau Adhha pada hari Jum‘at. Banyak ulama berpendapat kalau terjadi demikian, Jumat tidakwajib lagi. Artinya boleh orang yangtelah melakukan sembahyang Hari Raya itu tidak ke Jum at lagi. Yang dengan tegas menyatakan tidak wajib Jum‘at lagi kalau sudah sembahyang Hari Raya, di antaranya ialah Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau beralasan karena di zaman Rasulullah s.a.w. pemah kejadian demikian, beliau pemah berkata;
’ 'S-Srs} r**J 'r~J' ‘O 1 o*
“Barangsiapa yang ingin hendak bersembahyang, sembahyanglah. ” Artinya sembahyang Jum‘at. (Dirawikan oleh lima orang Imam Hadis, disahkan oleh Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim).
Dan Hadis dari Abu Hurairah,
“Pada harimu ini telah berkumpul dua Hari Raya; maka barangsiapa yang suka, bolehlah dia memadakan Hari Raya itu dari Jum‘at, tetapi sesungguhnya kami tetap berjum ‘at. ” (Riwayat Abu Daud)
Tetapi tidak semua ulama menganut pendapat itu. Imam Syafi‘i menjelaskan pendirian beliau di dalam “ al-Umm”, bahwa yang diberi kelapangan meninggalkan Jumat pada pertemuan dua Hari Raya itu hanyalah orang dusun yang jauh dari kota yang di sana tidak berdiri Jum‘at. Dalam Hadis mereka itu disebut orang “ai ‘Awwali”, yang berarti mereka-mereka yang tinggal di pegunungan atau di kampung ketinggian. Oleh karena rumah mereka jauh, terserahlah kepada mereka apakah mereka akan menunggu di Madinah sampai selesai sembahyang Jum at, atau akan pulang saja kembali ke kampung mereka sehabis sembahyang Hari Raya, sehingga mereka tidak ikut berjum‘at lagi.
lni beriaku di zaman Rasuluilah s.a.w. dan lebih diperjelas lagi oleh yang terjadi di zaman pemerintahan Khalifah yang ketiga, Usman bin Affan, yaitu orang “pegunungan” beliau persilahkan memilih sendiri apa akan pulang sehabis sembahyang Hari Raya, atau akan menunggu sampai selesai Jum‘at. Ujung sabda Nabi tadi:
“Sesungguhnya kami adalah berjum‘at.”
Artinya ialah “sesungguhnya kami tetap mengumpulkan kedua Hari Raya itu, sama-sama kami kerjakan.” Sebab Rasulullah s.a.w. dan sahabat-sahabat yang lain tinggal dalam kota Madinah sendiri. Sebab itu kalau kiranya rukhshah (dibolehkan tidak berjum‘at lagi bagi semuanya, niscaya Rasulullah akan membuat contoh yang patut ditiru, yaitu tidak usah berjum‘at lagi. Padahal beliau jelaskan dengan mulut, kami berjum‘at.
Al-Imam lbnu Hazmin al-Andalusi, Imam Zhahir dalam kitabnya “ al Muhalla” bahwa beliau tidaklah dapat menerima pendapat itu. Alasannya sederhana saja. Yaitu Jum‘at adalah wajib, sedang Sembahyang Hari Raya yang kedua itu adalah sunnat. Bagaimana perintah yang wajib akan boleh ditinggalkan karena telah melakukan yang sunnat?
Kemudian itu dikemukakan orang pula suatu Hadis bahwa di zaman Abdullah bin Zubair menguasai Hejaz dalam pemberontakannya menentang Kerajaan Bani Umaiyah, bahwa berdasar kepada pendapat bahwa dua Hari Raya berkumpul di satu hari Jum‘at, beliau sembahyang Hari Raya agak tinggi hari, dan beliau tidak sembahyang Jum‘at lagi, bahkan tidak pula sembahyang Zuhur, terus Ashar saja. Ketika ceritera ini didengar oleh Abdullah bin Abbas, beliau katakan bahwa perbuatan Abdullah bin Zubair yang diakui oleh Ibnu Abbas ini adalah orang yang mengeluarkan pendapat bahwa jika bertemu dua Hari Raya, bukan saja berjum‘at tidak wajib lagi, sembahyang Zuhur pun tidak.
Setengah orang mentawilkan kejadian ini dengan berkata; Mereka sembahyang Zuhur juga di tempat masing-masing, tetapi tidak berjamaah. Setengah lagi mengatakan memang Abdullah bin Zubair tidak bersembahyang Zuhur lagi.
Pendapat penyusun tafsir ini lebih condong kepada yang pertama bahwa tidak mungkin Abdullah bin Zubair telah meninggalkan Jum‘at dan Zuhur samasekali, karena telah menyembahyangkan Hari Raya.
Kalau itu kejadian, dengan tegas kita tidak dapat mengikuti perbuatan Abdullah bin Zubair itu. Sedangkan perbuatan Saiyidina Usman bin Affan menambah Azan satu lagi untuk menyuruh orang berkumpul menunggu shalat Jum'at di mesjid, dan disuruhnya muazzin itu ke “az-Zauraa," dekat pasar, padahal maksud beliau baik, lagi kita tinggalkan dan kita sefaham dengan
lmam Syafi‘i bahwa azan satu kali saja yang diperbuat oleh Rasulullah dan kedua sahabat Abu Bakar dan Umar “lebih disukai di sisi kita” kononlah perbuatan Abdullah bin Zubair yang meninggalkan satu waktu yang wajib, yaitu waktu Zuhur karena sudah diselesaikan dengan sembahyang Hari Raya saja.
Ibnu Katsir menulis dalam tatsimya; “Dinamai hari Jum‘at, diambil dari kata “al-Jum‘” yang berarti berkumpul Karena orang lslam berkumpul tiap hari itu di rumah-rumah ibadat yang besar-besar. Dan pada hari itu pulalah disempumakan kejadian sekalian makhluk, karena dia adalah hari keenam Allah menciptakan semua langit dan bumi. Dan di hari itu Adam diciptakan, di hari Jum‘at juga dia dimasukkan ke dalam syurga dan di hari Jum‘at juga dia dikeluarkan dari dalamnya. Di hari Jum‘at kiamat akan berdiri, dan pada hari Jum‘at ada suatu saat yang tiap-tiap apa pun kebaikan yang dimohonkan oleh hamba Allah, bila bertepatan dengan saat itu pastilah akan dikabulkan, sebagaimana telah sabit dalam Hadis-hadis yang shahih."
Sebagaimana disalinkan oleh al-Qurthubi dalam tatsimya; “Ka‘ab bin Luai di zaman jahiliyah yang mula pertama menamainya Hari Jum‘at. Dan dinamai juga hari ‘Arubah. Tetapi riwayat yang dikenal dalam Islam yang mulai menamainya Jum‘at ialah kaum Anshar, sebelum Rasulullah s.a.w. pindah ke Madinah. Ibnu Sirin mengatakan memang kaum Ansharyang menamainya hari Jum‘at. Sebabnya ialah setelah mereka melihat orang Yahudi berkumpul sekali dalam sepekan, yaitu pada hari Sabtu, dan mereka melihat pula orang Nasrani berkumpul pula di hari Ahad, lalu mereka berkata; “Marilah kita tentukan pula hari tempat kita berkumpul di waktu itu kita mengingat Allah, kita sembahyang dan kita mengaji. Kalau orang Yahudi ada hari Sabtunya, orang Nasrani ada hari Ahadnya, mari kita adakan pula hari kita berkumpul itu, yaitu di hari ‘Arubah.
Buah fikiran itu diterima oleh bersama, lalu mereka berkumpullah di hari ‘Arubah di rumah As‘ad bin Zuararah, atau lebih terkenal dengan panggilan Abu Amamah. Mereka sembahyang di waktu Zuhur dua rakaat, setelah habis sembahyang mereka mengaji. Mereka namai hari itu hari Jum‘at yang berarti berkumpul. Biasanya As‘ad memotong kambing dan mereka makan tengah hari sampai makan malam bersama-sama dalam bilangan yang masih sedikit. Itulah Jum‘at pertama dalam Islam.” Demikian riwayat Ibnu Sirin sebagaimana yang tersebut dalam Tafsir al-Qurthubi.
Yang jadi guru dalam pertemuan-pertemuan itu ialah Muballigh yang dikirim oleh Rasulullah kepada mereka, yaitu Mush‘ab bin Umair. Bertahuntahun di belakang, jauh setelah Nabi wafat, setelah Ka‘ab bin Malik tua dan matanya telah buta, bila didengamya orang azan Jum‘at, dia selalu mengenang As‘ad bin Zuararah yang menyediakan rumah tempat berkumpul yang mulamula itu.
Nabi s.a.w. sendiri pun setelah mulai menginjak Madinah dalam hijrahnya, mulai waktu itu pulalah beliau mengadakan Jum‘at.
Tersebut dalam riwayat hidup beliau (Siirah); bahwa dalam perjalanan Hijrah itu, beliau berhenti di Quba’ sebagai perhentian penghabisan akan masuk ke Madinah. Dia masuk ke kampung Bani ‘Amer bin ‘Auf di Quba’ pada hari Senin duabelas Rabi‘ul Awwal pada waktu dhuhaa (sepenggalah matahari naik); dari waktu itulah dimulai tarikh tahun Hijri. Beliau berhenti di Quba’ dari Senin waktu dhuhaa sampai hari Khamis limabelas Rabi‘ul Awwal. Hari itu beliau meninggalkan Quba’ menuju Madinah, dan bermalam di kampung Bani Salim bin ‘Auf malam Jum‘at itu, satu perkampungan yang telah masuk bahagian kota Madinah. Setelah datang waktu Zuhur bersembahyanglah beliau di sana, diikuti oleh sahabat-sahabat Muhajirin yang bersama beliau dan Anshar yang telah menunggu; di sanalah beliau memberikan khutbah Jum‘at yang pertama dan waktu itulah beliau sembahyang Jum‘at yang pertama.
lbnu Katsir mengatakan pula dalam tafsimya, bahwa ummat-ummat telah memilih satu hari untuk berkumpul, sayangnya mereka telah salah memilih. Yahudi memilih hari Sabtu, padahal bukan di hari itu Adam diciptakan. Nasrani memilih hari Ahad, padahal hari Ahad adalah hari pertama penciptaan makhluk, dan Allah telah memilihkan bagi ummat ini Hari Jum‘at, yang di waktu itulah Allah menyempumakan ciptaanNya. Tafsiran ini semua dengan sebuah Hadis yang dirawikan oleh Muslim.
“Disesatkan Allah ummat yang sebelum kita sehingga mereka tidak kena memilih hari Jum‘at. Maka adalah bagi Yahudi hari Sabtu dan bagi Nasrani hari Ahad. Lalu Allah mendatangkan kita, maka diberinyalah kita petunjuk kepada hari Jum‘at, sehingga jadilah berturut Jum‘at dan Sabtu dan Ahad. Akan demikian teruslah kelak di hari kiamat mereka menurut di belakang kita. Kita adalah terakhir datang dari ahli dunia, tetapi kitalah yang pertama akan diperiksa dan diberi keputusan di antara makhluk-makhluk Allah di hari akhirat kelak.”
Nabi s.a.w. mengatakan bahwa pada hari JurrTat itu ada suatu saat. Jika bertepatan dengan itu kita berdoa, niscaya akan dikabulkan Tuhan. Demikian sabda Rasulullah s.a.w.
“Sesungguhnya pada hariJum‘at itu ada suatu saat, bilamana ditemui oleh seseorang Muslim lalu dia memohon sesuatu yang baik kepada Allah, niscaya permohonannya akan dikabulkan Tuhan.” (Riwayat Imam Ahmad bin Hanbal)
Malam Jum‘at;
Tentang malam Jum‘at berkata Ibnu Qayyim;
“Sangat disukai memperbanyak membaca shalawat bagi Nabi Muhammad s.a.w. pada hari Jum‘at dan malam Jum‘at. Sebab Rasulullah s.a.w. berkata;
“Perbanyaklah shaiawat untukku pada hari Jum‘at dan malam Jum‘at.”
Memang Rasulullah s.a.w. sendiri adalah penghulu dari sekalian manusia dan Jum‘at adalah penghulu dari sekalian hari; oleh sebab itu mengucapkan shalawat untuk beliau pada saat-saat itu mempunyai keistimewaan yang lain daripada hari-hari yang lain, diserti pula oleh kandungan hikmat yang lain, yaitu bahwa seluruh kebaikan yang dicapai oleh ummatnya di dunia ini dan di akhirat, semuanya itu mereka capai adalah berkat buah tangan beliau s.a.w. maka dikumpulkan Tuhan untuk ummat Muhammad itu di antara dua kebajikan, yaitu kebajikan dunia dan kebajikan akhirat; dan sebesar-besar kemuliaan yang mereka capai ialah pada hari Jum‘at. Maka tersebutlah bahwa kelak mereka akan dimasukkan ke dalam syurga pada hari Jum‘at akan menghuni mahligai-mahligai mereka di sana. Dan hari Jum‘at itu pun hari pertambahan mereka di syurga. Dan di dunia ini pun hari Jum‘at adalah Hari Raya mereka, segala permohonan dan permintaan yang mereka mohonkan di hari Jum‘at itu pada saat tertentu akan dikabulkan Tuhan. Semuanya ini mereka kenal dan berhasil ialah karena ajaran Nabi s.a.w. yang diterima dari tangannya. Maka untuk menyatakan terimakasih dan puji-pujian dan untuk menunaikan sejemput kecil daripada haknya ialah dengan memperbanyak mengucapkan shalawat untuk beliau di hari Jum‘at dan malam Jum‘at.
Sekian lbnul Qayyim.
Dan bersabdalah Rasulullah s.a.w.;
“Dari Jum'at yang satu keJum‘at yang di mukanya adalah kaffarah atas kesalahan yang diperbuat di antara keduanya, asal tidak mengerjakan dosa yang besar-besar. ” (Hadis dari Abu Hurairah yang dirawikan oleh Ibnu Majah)
Ayat selanjutnya;
“Maka apabila telah diselesaikan sembahyang itu, maka bertebaranlah di bumi dan carilah kumia Allah.” (pangkal ayat 10). Artinya ialah bahwa apabila sembahyang Jum‘at itu telah selesai dikerjakan, ummat yang tadinya disuruh segera ke tempat sembahyang dan menghentikan berjual-beli itu, sudahlah dibolehkan keluar kembali. Kalau mereka tadinya berjual-beli, sudah boleh disambung kembali jual-beli yang tadinya dihentikan karena pergi ke mesjid.
Perintah bertebaranlah di muka bumi, sesudahnya tadi dilarang karena pergi berkumpul melakukan shalat JunYat, menurut Hukum Ilmu Ushul Fiqh, diartikan yang diartikan bahwa larangan telah dicabut. Misalnya dilarang orang berburu selama mengerjakan Umrah dan Haji. Namun bilamana telah selesai mengerjakan Umrah atau Haji itu orang sudah dibolehkan berburu;
“Apabila kamu telah tahallul, berburulah!”
(ai-Maidah: 2)
Dengan demikian nyatalah bahwa dalam agama Islam, hari Jum‘at itu bukanlah hari istirahat buat seluruhnya, melainkan hari buat melakukan ibadat bersama, yaitu sembahyang Jum‘at. Bila waktu Jum‘at telah datang hentikan segala kegiatan. Bila Jum‘at telah selesai bolehlah bergiat kembali, bertebaranlah di muka bumi itu; “Dan carilah kumia Allah. ” Karena kumia Allah itu ada di mana-mana asal saja orang mau berusaha dan bekerja. Kumia dari bertani dan berladang, usaha dari menggembala dan betemak usaha dari bemiaga dan jual-beli, usaha dari macam-macam rezeki yang halal.
Maka tersebutlah bahwa seorang Ulama Salaf bemama ‘lraak bin Malik, apabila beliau telah selesai mengerjakan sembahyang Jum‘at ketika akan keluar beliau berdiri sejenak di pintu mesjid, lalu dia baca semacam munajat atau doa kepada Tuhan demikian bunyinya;
“Y a Allah! Telah aku penuhi panggilan Engkau dan telah aku lakukan sembahyang yang Engkau perintahkan, dan aku akan bertebaran di muka bumi sebagai Engkau suruhkan; maka berilah aku rezeki sebagai kumia Engkau; sesungguhnya Engkau adalah yang sebaik-baik Pemberi Rezeki. ”
(Riwayat Ibnu Abi Hatim)
“Dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya.” Artinya ke mana saja pun kamu, di mana saja pun, dalam suasana apa saja, jangan lupa kepada Allah.
Surat
AL-JUMU‘AH
(HARI JUM‘AT)
Surat 62: 11 ayat Diturunkan di MADINAH
Dengan nama Allah Yang Maha Murah lagi Pengasih.
(1) Mengucapkan tasbih kepada Allah apa yang di semua langit dan apa yang di bumi; Maha Raja, Maha Suci, Maha Perkasa, Maha Bijaksana.
djJt
(2) Dialah yang telah membangkitkan di dalam kalangan orangorang yang ummi, seorang Rasul daii kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka akan ayat-ayatNya dan membersihkan mereka dan mengajarkan kepada mereka akan kitab dan hikmah; dan meskipun mereka sebelumnya adalah di dalam kesesatan yang nyata.
^X / / » •// • ^
«IsICJT
(Tjy^^UgJ
(3) Dan yang lain dari mereka, yang belum bertemu dengan mer