Loading...

Maktabah Reza Ervani

15%

Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000



Judul Kitab : Tafsir Ibnu Katsir - Detail Buku
Halaman Ke : 25
Jumlah yang dimuat : 4377
« Sebelumnya Halaman 25 dari 4377 Berikutnya » Daftar Isi
Tabel terjemah Inggris belum dibuat.
Bahasa Indonesia Translation

[Masalah]

Dari 'Abdurrahman bin Abi Laila dari Mu'adz bin Jabal raḍiyallāhu 'anhu, ia berkata:
Dua orang saling mencaci di hadapan Nabi ṣallallāhu 'alaihi wa sallam. Salah seorang dari mereka marah dengan sangat hebat, hingga aku membayangkan bahwa hidungnya hampir terpotong karena sangat marahnya.
Maka Nabi ṣallallāhu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya aku mengetahui sebuah kalimat, jika ia mengucapkannya, niscaya akan hilang darinya apa yang ia rasakan dari kemarahan."
Lalu ia berkata: "Apakah itu, wahai Rasulullah?"
Beliau bersabda: "Hendaklah ia berkata: ‘Allāhumma innī a'ūdzu bika minasy syaythānir rajīm’."
Mu'adz berkata: Lalu aku memerintahkannya, namun ia menolak, dan malah bertambah marah.
Ini adalah lafaz Abu Dawud.

Sedangkan at-Tirmidzi mengatakan: Mursal, yaitu 'Abdurrahman bin Abi Laila tidak bertemu dengan Mu'adz bin Jabal, karena ia wafat sebelum tahun dua puluh.
Aku (Ibnu Katsir) berkata: Bisa jadi 'Abdurrahman bin Abi Laila mendengarnya dari Ubay bin Ka'b sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dan ia meriwayatkannya dari Mu'adz bin Jabal.
Karena kisah ini disaksikan oleh lebih dari satu orang sahabat raḍiyallāhu 'anhum.

Al Bukhari berkata:
"Telah menceritakan kepada kami 'Utsman bin Abi Syaibah, telah menceritakan kepada kami Jarir dari al A'masy dari 'Adi bin Tsabit, ia berkata:
Sulaiman bin Shurad raḍiyallāhu 'anhu berkata:
Dua orang saling mencaci di hadapan Nabi ṣallallāhu 'alaihi wa sallam, dan kami duduk di sisi beliau.
Salah seorang dari mereka mencaci temannya dengan penuh kemarahan hingga wajahnya memerah.
Maka Nabi ṣallallāhu 'alaihi wa sallam bersabda:
'Sesungguhnya aku mengetahui sebuah kalimat, jika ia mengucapkannya, niscaya akan hilang darinya apa yang ia rasakan;
seandainya ia berkata: ‘A'ūdzu billāhi minasy syaythānir rajīm.’'

Lalu para sahabat berkata kepada orang tersebut:
'Tidakkah kamu mendengar apa yang dikatakan Rasulullah ṣallallāhu 'alaihi wa sallam?'
Namun ia berkata: 'Aku tidak gila.'"

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, dan an-Nasa'i dari berbagai jalur dari al A'masy.

Telah datang pula banyak hadits tentang isti'adzah (memohon perlindungan), yang jika disebutkan di sini akan terlalu panjang, dan tempat pembahasannya adalah dalam kitab al Adzkar dan Fadhā'ilul A'māl, wallāhu a'lam.

Diriwayatkan pula bahwa Jibril 'alaihis salām, saat pertama kali turun membawa al Qur'an kepada Rasulullah ṣallallāhu 'alaihi wa sallam, memerintahkannya untuk beristi'adzah, sebagaimana disebutkan oleh al Imam Abu Ja'far bin Jarir:
"Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami 'Utsman bin Sa'id, telah menceritakan kepada kami Bisyr bin 'Amārah, telah menceritakan kepada kami Abu Rauq dari adh Dhahhak dari 'Abdullah bin 'Abbas, ia berkata:
'Ketika pertama kali Jibril turun kepada Muhammad ṣallallāhu 'alaihi wa sallam, ia berkata:
'Wahai Muhammad, beristi'adzahlah!'
Beliau pun berkata:
'Aku beristi'adzah kepada Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari syaitan yang terkutuk.'
Kemudian Jibril berkata:
'Katakan: Bismillāhir rahmānir rahīm.'
Lalu berkata:
'Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang menciptakan.'
"

'Abdullah berkata:
"Itulah surat pertama yang diturunkan Allah kepada Muhammad ṣallallāhu 'alaihi wa sallam melalui lisan Jibril."

Atsar ini gharib (unik), dan kami hanya menyebutkannya agar diketahui, karena dalam sanadnya terdapat kelemahan dan keterputusan, wallāhu a'lam.


Masalah

Mayoritas ulama berpendapat bahwa isti'adzah itu mustahab (dianjurkan), tidak wajib hingga orang yang meninggalkannya berdosa.
Ar Razi meriwayatkan dari 'Atha' bin Abi Rabah tentang kewajibannya dalam shalat dan di luar shalat setiap kali hendak membaca (al Qur'an).
Ia berkata:
"Ibnu Sirin mengatakan:
Jika seseorang telah beristi'adzah sekali dalam hidupnya, itu sudah cukup untuk menggugurkan kewajiban."

Ar Razi berhujah untuk 'Atha' dengan zhahir ayat (فَاسْتَعِذْ) "Maka beristi'adzahlah," yang zhahirnya adalah perintah yang mengharuskan (kewajiban).
Juga dengan konsistennya Nabi ṣallallāhu 'alaihi wa sallam melakukannya, serta karena isti'adzah itu menolak kejahatan syaitan, dan sesuatu yang tidak sempurna kewajiban tanpanya maka ia menjadi wajib.
Juga karena isti'adzah lebih berhati-hati, sedangkan kehati-hatian adalah salah satu jalan menuju kewajiban.

Sebagian ulama berkata:
"Isti'adzah itu wajib atas Nabi ṣallallāhu 'alaihi wa sallam, namun tidak wajib atas umat beliau."

Dan dinukilkan dari Malik bahwa:
"Dalam shalat wajib, tidak beristi'adzah, namun dalam shalat qiyam Ramadhan pada malam pertamanya, disyariatkan beristi'adzah."


Beberapa bagian dari Terjemahan di-generate menggunakan Artificial Intelligence secara otomatis, dan belum melalui proses pengeditan

Untuk Teks dari Buku Berbahasa Indonesia atau Inggris, banyak bagian yang merupakan hasil OCR dan belum diedit


Belum ada terjemahan untuk halaman ini atau ada terjemahan yang kurang tepat ?

« Sebelumnya Halaman 25 dari 4377 Berikutnya » Daftar Isi