membuat jalannya sendiri dengan ajaib daiam laut. Maka menurut Tatsir dari Said bin Jubair, ikan itu ialah seekor ikan yang telah dikeringkan dan dibelah, dan telah diasin, dan sebagian dari kepalanya telah dimakan oleh Yusya*. Artinya ia akan mati melompat ke laut.
Ini adalah tatsir, yang kata Said bin Jubair diterimanya daripada riwayat Ibnu Abbas, tetapi dari Hadis Nabi yang shahih tidak ada dan dalam ayat itu sendiri tidak ada tersebut ikan itu telah mati, dikeringkan, dan diasin, sehingga kalau kita tidak membaca tatsir, bahkan langsung saja membaca ayat kita bisa memahamkan bahwa ikan itu adalah hidup, lalu melompat ke laut setelah melihat air, sebagai ikan semelang atau ikan panjang atau ikan belut dan beberapa macam ikan lagi yang bisa tahan berjam-jam di luar air, dan langsung melompat ke air kalau ada kesempatan.
Bagian ketiga inilah yang agak rumit di dalam penatsiran al-Quran. Di bagian inilah kita kerap kali bertemu dongeng-dongeng yang tidak masuk akal kalau dibangsakan kepada Agama Islam yang menghormati kemumian akal. Sebagai satu tatsir tentang bintang “Seroja” (BintangTimur) yang menurut satu tatsir, katanya, bintang itu ialah penjelmaan dari seorang perempuan cantik yang pernah diganggu oleh Malaikat Harut dan Marut.
Di dalam inilah campur aduk di antara yang masuk akal dengan yang karut, di antara dongeng dongeng dengan kenyataan, sehingga berkali-kali kebenaran ayat al Quran diliputi oleh lumut khuratat yang tak masuk akal. Inilah yang dinamakan Israiliyat, yaitu cerita-cerita yang kerapkali dibawa oleh orang Yahudi yang masuk Islam. Yang sangat terkenal ialah Kabul Ahbar dan Wahab bin Munabbih, keduanya orang Yahudi masuk Islam, banyak membawa do- ngeng Israiliyat itu, didengar oleh sahabat, lalu mereka salin. Apatah lagi oleh Tabi‘in. Kadang-kadang mereka salin dengan tidak memakai komentar, hanya semata-mata untuk bahan saja bagi kita yang datang di belakang.
Maka terhadap bagian ini penatsir hendaklah hati-hati. Tidaklah mengapa kalau suatu riwayat yang bukan shahih dari Nabi ditinggalkan saja, dan tidaklah mengapa kalau dibatalkan riwayat-riwayat yang tidak masuk akal, dan tidak diperdulikan kalau tidak sesuai samasekali dengan maksud al-Quran. Gunanya ialah untuk memberantas pengaruh tafsir-tafsir yang telah beredar dalam masyarakat kita, yang dijadikan alat untuk mengasyikkan orang mendengar tabligh oleh setengah guru-guru yang tidak bertanggungjawab. Dan penaبsir bersedia dituduh keluar dari “Ahlus Sunnah wal Jama‘ah” kalau sekiranya membatalkan riwayat-riwayat yang tidak masuk akal itu dipandang salah oleh golongan-golongan yang hanya menjadi budak dari tafsir-tafsir yang semacam itu.
Barangkali timbul pertanyaan mengapa sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. atau Tabi‘in menyalin juga riwayat yang demikian, dengan tidak ada pertimbangan mereka sendiri atas benar dan tidaknya? lalah karena Rasulullah s.a.w. pernah memesankan, bahwa kalau mereka mendengar kisah dari ahlul-kitab itu, dengarkan sajalah, jangan diakui نebenarannya dan jangan pula segera didustakan.