waktu itu adalah ummat yang ummi, tak tahu tulis dan tak tahu baca; bilangan bulan yang nyata ialah 29 dan 30. Cuma itu beliau yang tahu.
Maka dalam soal-soal yang berkenaan dengan hal-ihwal dalam alam ini, seorang penafsir hendaklah menuruti perkembangan ilmu pengetahuan. Kalau kita tilik tafsir-tafsir yang dikarang di zaman lampau, dapatlah kita lihat betapa corak ilmu orang di zaman itu, yang masih sangat ketinggalan oleh kemajuan ilmu pengetahuan alam di zaman moden ini. Tiap dilihat ayat-ayat itu dengan kaca ilmu pengetahuan yang ada di zamannya, kian tampak perubahan tafsir-nya. Adapun Ulama zaman kita ini yang banyak menafsirkan panjang-lebar tentang ilmu pengetahuan keadaan alam itu ialah Syaikh Thanthawi Jauhari.
Asal saja kita ingat tujuan ayat-ayat itu, yaitu memperkuat Tauhid Uluhiyah dan Rububiyah, tidaklah ada salahnya jika kita tafsirkan ayat-ayat itu menurut pengetahuan kita. Dan jika di dalam tafsir kita ini terdapat beberapa keterangan yang tidak memuaskan terhadap ayat-ayat yang demikian, sekali kali bukanlah ayat itu sendiri dan makna yang terkandung di dalamnya yang salah, melainkan tentu saja penafsirlah yang kurang pengetahuan. Dan itupun dapat dimaklumi, karena pengetahuan penulis “Tafsir” ini tentang ilmu keadaan alam itu sangatlah kurang.
Bagian ketiga dari al-Quran ialah yang bersangkut dengan kisah-kisah dan ceritera-ceritera zaman lampau. Maksud dan tujuan ceritera itu ialah untuk pengajaran dan i‘tibar. Di dalamnya banyak disebutkan perjuangan Nabi nabi dan Rasul rasul Allah menegakkan faham Tauhid dan soal-jawab di antara mereka dengan ummat yang mereka datangi. Banyak kita bertemu nama Nabi- nabi, sejak dari Nuh, Idris, Ibrahim, Musa, Ismail dan lain-lain, dan yang terbanyak sekaii disebutkan ialah kisah Musa, baik seketika beliau menentang Fir‘aun, ataupun setelah memimpin Bani Israil selepas menyeberangi laut Qulzum menuju Palestina.
Maksud segala kisah itu, termasuk kisah panjang seluruh Surat, yaitu kisah Nabi Yusuf, bukanlah kisah itu sendiri, melainkan isi pengajaran dan perbandingan (i‘tibar) yang ada di dalamnya. Cara penafsirannya ialah bahwa satu bagian dapat melengkapkan bagi yang lain. Misalnya kisah perjuangan Musa; kita dapat mengetahui keadaan Musa sejak dia baru lahir ke dunia sampai seluruh tingkat-tingkat perjuangannya dengan menafsirkan satu bagian ke bagian yang lain. Dan setelah kita selidiki di dalam Hadis-hadis Nabi yang shahih, penafsiran tentang kisah ini adalah sedikit sekali. Yang ada agak banyak ialah dari riwayat sahabat Rasulullah s.a.w. yang terkemuka sekali, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Mas‘ud. Tetapi kadang-kadang beliaupun mengakui bahwa tafsir itu juga yang beliau terima dari riwayat ahlul-kitab. Kemudian itu banyak lagi Tabi‘in, yaitu murid-murid dari sahabat-sahabat Rasulullah mengeluarkan riwayat-riwayat sebagai tambahan dari apa yang tertulis dalam al-Quran.
Kita kemukakan di sini satu misal, yaitu kisah pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir. Sebagaimana kita ketahui, Nabi Musa berjalan diiringi oleh bujangnya (menurut riwayat setengah ahli tafsir, ialah Nabi Yusya‘). Dalam al-Quran disebutkan bahwa ikan dijinjing bujang itu melompat ke laut dan