Kata-kata sahabat-sahabat yang khas di dalam menatsirkan al-Quran itu mengungkapkan makna dan maksudnya, hampir sama kedudukannya dengan Sunnah Nabi sendiri bila bersangkutan dengan hukum-hukum syara' sebab kita percaya bahwa pada pokoknya tentu sahabat itu menerimanya daripada Rasulullah s.a.w. Tetapi kalau ada dalil bahwa itu hanyalah pendapat sahabat itu sendiri, maka tidaklah sama derajat pendapat beliau-beliau itu dengan Sunnah Rasul s.a.w. Malahan kadang-kadang terdapat perlainan pendapat (ra’yi) di antara mereka, seumpama perselisihan pendapat mereka tentang nenek laki-laki, apakah dia mendapat waris dari cucunya yang telah mati atau tidak. Abu
Bakar mengatakan nenek mendapat, apabila ayah tidak ada lagi. Sedang Ali bin Abu Thalib berpendapat bahwa nenek laki-laki itu berkedudukan sebagai Kalaalah dari saudara kandung atau saudara sebapa, dengan memperhatikan makna kebapaan padanya. Sebab itu Ali dan yang setaham dengan dia menempatkan nenek sebagai saudara laki-laki, jika ada saudara kandung atau sebapa. Dan tidak terdinding seseorangpun berhak mengambil bagian faridh-nya. Dia mengambil sisa yang tinggal seorang diri atau bersama-sama beserta ‘ashabah-‘ashabah yang lain dengan syarat bagian nenek laki-laki itu tidak kurang dalam kedua hal itu dari seperenam. Baikpun dia sendiri mengambil yang sisa atau bersama-sama dengan saudara si mati terhadap yang sisa.
Lain pula pendapat Zaid bin Tsabit. Beliau memandang nenek laki-laki sebagai Kalaalah dari saudara sekandung atau sebapak dengan syarat tidak kurang si nenek itu mendapat dari sepertiga. Semuanya ini adalah ra’yi atau ijtihad dari sahabat-sahabat itu sendiri, malahan itulah sebabnya maka pendapat mereka berbeda, sebab tidak ada Nash keterangan terperinci dari Nabi sendiri tentang soal itu. Ulama-ulamapun tidak ragu-ragu membahas tentang penatsiran yang timbul daripada pendapat (ra’yi) sahabat-sahabat Rasulullah itu. Mereka tidak ragu buat mengatakan bahwa pendapat sahabat bukan wahyu sebab itu tidak akan sunyi daripada salah dan benar. Ahli-ahli Fiqh berpendapat bahwa kalau pendapat sahabat Rasulullah itu hanya satu macam, dan tidak ada bantahan daripada sahabat yang lain, artinya itu adalah ijma‘ sahabat adalah hujjah, artinya boleh dipegang. Cuma kaum Syi‘ah saja yang mengecualikan diri dari pendapat itu. Bagi mereka ijma' sahabat tidak hujjah.
Kalau terdapat pertikaian pendapat di antara sahabat-sahabat Rasulullah, maka Ulama-ulamapun memperbincangkan pula. Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‘i dan Imam Ahmad berpendapat, hendaklah dipilih manakah kata-kata mereka yang lebih dekat kepada hukum-hukum Fiqh yang jelas dari pelaksanaan Nabi s.a.w. dan yang ada Nashnya di dalam al-Quran. Kalau pilihan sudah jatuh kepada pendapat yang lebih dekat menurut pertimbangan si penimbang kepada al-Quran dan Sunnah Rasul tadi, hendaklah yang lain ditinggalkan dan pilih yang lebih dekat itu. Imam Hanafi tegas mengatakan bahwa dia tidak mau pindah-pindah saja daripada satu pendapat sahabat kepada pendapat sahabat-sahabat yang lain. Imam Syafi‘i pun menuliskan demikian di dalam karangannya ar-Risalah. Imam Malik pun bersikap demikian. Imam Ahmad bin Hanbal biasa