Muslimun” tersebut, guna memperkenalkan saya dan pandangan hidup saya lebih dekat kepada masyarakat ahli-ahli ilmu pengetahuan dan kaum per- gerakan di Mesir. Usul beliau-beliau itu saya terima, dan judul yang dipilih buat diceramahkan ialah Pengaruh Faham Muhammad Abduh di Indonesia dan Malaya.
Banyaklah Ulama dan sarjana yang datang menghadiri Muhadharah ter- sebut, yang persediaannya sangat sederhana, karena tidak disengaja buat menjadi suatu kuliah-umum sambutan atas suatu gelar kehormatan ilmiah. Tetapi setelah ceramah itu berlangsung kira-kira 90 menit, sangatlah besar kesan yang ditinggalkannya dalam hati para sarjana itu, terutama Prof. Dr. Osman Amin yang telah menulis beberapa buku ilmu pengetahuan berkenaan dengan ajaran-ajaran Ustadzul Imam Syaikh Muhammad Abduh. Dan bagi Revolusi Mesir, Muhammad Abduh dihitung sebagai pelopor pertama per- baharuan fikiran, sebagai pendasar Revolusi Mesir.
Dan hadir pula dalam majlis yang berbahagia itu Syaikh Mahmoud Syaltout yang di waktu itu masih menjadi Wakil Rektor Al-Azhar, dan beberapa Ulama yang lain, dan hadir juga sahabat saya Dr. Muhammad al-Bahay, Syaikh Ahmad Syarbasyi, Raidul Aam (pembimbing Umum) “as-Syubbanul Muslimun” me- nyambut ceramah itu dengan sepenuh-penuh penghargaan, dan kekaguman betapa orang luar Mesir dapat mengenal ajaran Muhammad Abduh, yang di Mesir sendiri hanya terbatas sekali yang mengenalnya.
Beberapa hari setelah mengadakan muhadharah itu, sayapun melanjutkan perjalanan ke Saudi Arabia, memenuhi undangan Raja Saud. Saya terus ke Makkah dan Jeddah dan ziarah ke makam Rasulullah di Madinah sebagai tamu negara.
Beberapa hari di sana, datang pulalah kawat dari Riadh, menyatakan bahwa Raja Saud berkenan menerima saya di istana baginda di Riadh sebagai tetamu baginda. Sedang saya menjadi tetamu baginda itu, tiba-tiba datanglah kawat dari Mesir, dikirim dengan perantaraan istana baginda, oleh Duta Mesir di Indonesia, Sayid Ali Fahmi al-Amrousi menyatakan bahwa Al-Azhar Uni- versity telah mengambil keputusan hendak memberi saya gelar ilmiah tertingai dari Al-Azhar, yaitu Ustadziyah Fakhriyah, yang sama artinya dengan Doctor Honoris Causa. Beliau meminta saya segera kembali ke Mesir buat menghadiri upacara penyerahan gelar yang mulia itu.
Seketika telegram ini saya perlihatkan kepada Baginda Raja Saud, baginda telah berkata: “Kehormatan ini memang layak tuan terima. Sebenarnya ini terlambat. Sebab sudah lama tuan berhak atasnya!” (Ketika itu belum terjadi kemelut politik di antara Mesir dengan Saudi Arabia, dan Ketua Mu‘tamar Islamy di Mesir itu adalah Raja Saudi sendiri).
Sayapun memohon diri kepada Baginda, lalu kembali ke Jeddah. Setelah sampai di Jeddah, pergilah saya ke Makkah, bersyukur di hadapan Ka‘bah, karena waktu itu bertepatan dengan 17 Februari 1958, genap usia saya 50 tahun menurut hitungan tahun Masehi, dan setelah saya selesai mengerjakan tawaf wada‘, sayapun kembali ke Jeddah. Pada malam itu masyarakat Indonesia di Jeddah mengadakan satu jamuan mensyukuri usia yang telah 50 tahun itu, dan