Mengapa Dinamai “Tafsir Al-Azhar”
Dengan kurnia Allah, pada tahun 1956 dapatlah penulis mendirikan rumah kediaman untuk berteduh, anak dan isteri diK ebayoran Baru. Kebetulan sekali di hadapan tanah tempat mendirikan rumah itu terdapat pula sebuah lapangan luas persediaan untuk mendirikan sebuah mesjid agung, yang sesuai dengan martabat Indonesia yang telah merdeka. Saya gembira sekali, karena apabila satu mesjid besar berdiri di muka rumah kita, dapatlah anak-anak selalu dididik dalam hidup keislaman, terutama bila mereka selama mendengarkan suara azan pada sembahyang lima waktu. Setiap hari saya melihat orang bekerja membangun mesjid itu dan saya selalu mendoakannya agar lekas selesai.
Sebelum mesjid itu selesai, maka di permulaan bulan Januari 1958 ber- angkatlah saya ke Lahore, Pakistan memenuhi undangan Punjab University, untuk turut menyertai suatu Seminar Islam yang diadakan di sana. Setelah selesai menghadiri seminar tersebut, saya meneruskan perlawatan ke Mesir, memenuhi undangan Mu’tamar Islamy, yang Sekretaris Jenderalnya ialah Saiyid Anwar Sadat, salah seorang perwira anggota “Dewan Revolusi Mesir” di samping Presiden Jamal Abdel Nasser.
Kedatangan saya ke Mesir di waktu itu bertepatan pula dengan melawat- nya Presiden Sukarno ke sana, lantaran itu maka Duta Besar Mesir dilndonesia di waktu itu, yaitu Saiyid Ali Fahmi al-Amrousi sedang berada di Mesir. Dia mengetahui benar bagaimana kedudukan saya dalam masyarakat Islam di Indonesia dan bahwa saya adalah salah seorang anggota pimpinan Muham- madiyah dan Muhammadiyah adalah gerakan Islam di Indonesia yang me- nempuh faham yang dipelopori oleh Ustadzul Imam Syaikh Muhammad Abduh. Maka bersama-sama dengan Atase Kebudayaan Indonesia saudara Raden Hidayat, beliau telah memperkenalkan saya di dalam masyarakat Mesir, baik kepada Al-Azhar, atau kepada perkumpulan yang sama haluan dengan Muhammadiyah, yaitu perkumpulan ‘“‘asy-Syubbanul Muslimun”. Perkenalan dengan masyarakat Mesir ini diperluas lagi, karena ketika mengadakan seminar di Lahore saya dapat berkenalan dengan Dr. Muhammad al-Bahay, seorang sarjana Islam yang telah menggabungkan kesarjanaan Al-Azhar dengan ke- sarjanaan Sorbonne (Prancis) dan Bonn (Jerman).
Maka terdapatlah satu persetujuan di antara Mu’tamar Islamy yang meng- undang saya dengan resmi, dengan “as-Syubbanul Muslimun” yang berhaluan sama dengan Muhammadiyah dan dengan “Al-Azhar University”, mempersila- kan saya mengadakan suatu Muhadharah (ceramah) di gedung “as-Syubbanul