pemelihara kebun dan pegawai negeri, di samping isteri mereka masing-masing. Semuanya bersatu membentuk masyarakat yang beriman, dipadukan oleh jamaah shalat subuh, kasih-mengasihi dan harga-menghargai. Bersatu di dalam shaf yang teratur, menghadapkan muka bersama, dengan khusyu‘ kepada Ilahi.
Maka seketika menyusun “Tafsir” ini, wajah‘wajah mereka itulah yang terbayang, sehingga penafsiran tidak terlalu tinggi mendalam, sehingga yang dapat memahaminya tidak hanya semata-mata sesama Ulama. Dan tidak terlalu rendah, sehingga menjemukan. Sebab segala yang kita sebutkan di atas tadi, sebagai corak dari jamaah sejati Islam, meskipun berbeda kedudukan, namun yang paling mulia di antara mereka ialah barangsiapa yang paling takwa kepada Allah. Ketika penulis “Tafsir” ini sunyi sepi seorang diri, baik dalam tahanan di Sukabumi, atau di Bungalow “Herlina” dan “Harjuna” di Puncak, atau di Mess Bri-Mob di Mega Mendung, atau sedang berbuat sambil ditahan di Rumah Sakit Persahabatan di Rawamangun Jakarta Utara, wajah jamaah yang tercinta itulah yang terbayang seketika menggoreskan pena di atas kertas.
Di dalam hal yang mengenai pengetahuan umum, kerapkali penafsir me- minta bantuan kepada ahlinya. Seketika mengupas soal-soal ilmu falak, pernah penafsir meminta bantuan ahli falak yang terkenal, putera dari ahli falak yang terkenal pula, yaitu saudara Sa’aduddin Jambek. Demikian pula dalam hal yang lain-lain, penulis meminta bantuan ahlinya. Riwayat penafsir yang lemahpun kalau perlu kita salin juga, bukan untuk mempercayainya, melainkan untuk mengujinya dengan kiliran akal. Dan bila saudara membaca dengan seksama, akan bertemulah beberapa pendapat dari Ulama-ulama Islam Indonesia sendiri, yang tidak terdapat dalam negeri Islam yang lain. Demikian haluan dan cara yang penafsir pakai di dalam menyusun tafsir ini, yang mudah-mudahan dapatlah dia mendekati kebenaran yang terkandung dan termateri di dalam ayat-ayat suci al-Quran itu sendiri.