hasil karya ini memenuhi Husnuzh-zhan (baik sangka) Al-Azhar kepada saya _ itu saya penuhi sebaik-baiknya. Saya datang ke Mesir di permulaan tahun 1958 itu tidaklah berniat dan terkenang di hati bahwa saya akan diberi kehormatan setinggi itu. Menjadi tetamu Mu’tamar Islamy itu sajapun sudahlah satu ke- hormatan yang tertinggi bagi saya, apatah lagi saya bukan Presiden dan bukan Perdana Menteri, hanya warga-negara Republik Indonesia biasa saja. Hanya karena suatu pidato yang kurang tersusun rapi, karena bukan maksud hendak mencapai satu titel yang begitu tinggi. Rupanya oleh karena cintanya orang Mesir kepada Ulama mereka. Syaikh Muhammad Abduh yang dipandang sebagai pelopor Pembaharuan Fikiran di Mesir, maka mereka hargai tinggilah orang asing yang memuliakan beliau dan menjunjung tinggi ajaran-ajaran beliau.
Terasalah oleh saya suatu hutang budi yang amat mendalam untuk me- nyajikan satu buah tangan, yang moga-moga kiranya banyak atau sedikit dapat memenuhi penghargaan yang tinggi itu. Maka saya karanglah “Tafsir” ini. Tetapi selalulah saya bertanya-tanya di dalam hati, bilakah “Tafsir” ini akan selesai dikerjakan, padahal tugas-tugas yang lain di dalam masyarakat terlalu besar pula? Saya kerap kali meninggalkan rumah. Saya kerapkali keluar kota dan memenuhi undangan dari kawan-kawan sefaham di daerah-daerah yang jauh. Sayapun menjadi Dosen pada beberapa perguruan tinggi, baik di Jakarta ataupun di daerah. Saya pun menjadi guru besar dari Pusroh (Pusat Pendidikan Rohani) Islam Angkatan Darat. Kalau begini halnya, niscaya “Tafsir Al-Azhar” ini tidak akan selesai dalam masa 20 tahun. Padahal umur bertambah tua juga.
Ada beberapa teman sejawat mendesak, selesaikanlah segera “Tafsir” itu. Saya tidak ucapkan kepada mereka apa yang terasa dalam hati. Sebab jika dihitung-hitung dari segi umur pada waktu itu, yaitu akhir tahun 1963, mungkin “Tafsir” ini tidak akan selesai sampai saya meninggal.