Hikmat Ilahi
Telah dicoba menguraikan “Tafsir” ini tiap-tiap pagi waktu subuh sejak akhir tahun 1958, namun sampai Januari 1964 belum juga tammat.
Telah ditulis berturut-turut dalam majalah Gema Islam sejak Januari 1962 sampai Januari 1964, namun yang baru dapat dimuat hanyalah satu setengah juzu’ saja, dari juzu’ 18 sampai juzu’19. Tiba-tiba pada 12 haribulan Ramadhan 1383 bertepatan dengan 27 Januari 1964, berlakulah takdir Allah yang tidak dapat dielakkan: “Jika langit hendak jatuh, bagaimanalah telunjuk bisa me- nahannya.”
Pada hari Senen, tanggal 12 haribulan Ramadhan 1383, bertepatan dengan 97 Januari 1964, saya mengadakan pengajian mingguan di Mesjid Agung Al- Azhar terhadap kira-kira 100 orang kaum ibu, yang umumnya terdiri dari kaum terpelajar. Yang ditafsirkan hari itu ialah Surat al-Baqarah ayat 255, atau ayat al- Kursi yang biasa dihafal itu. Pukul 11 siang selesailah pengajian dan kembalilah saya ke rumah akan berlepas lelah sejenak menunggu datangnya waktu zohor.
Tiba-tiba setelah kira-kira setengah jam saya istirahat, anak saya memberi- tahukan ada empat orang tetamu yang telah duduk di beranda muka ingin bertemu dengan saya. Saya berlalai-lalai kira-kira lima menit, dan saya lihat dari celah pintu ada sebuah mobil Fiat berhenti. Pada sangka saya tentulah keempat tetamu itu pengurus dari salah satu mesjid di Jakarta yang datang mengundang untuk mengadakan tabligh dan tarawih bulan puasa. Dengan tenang sayapun keluar. Wajah keempat tamu itu tenang dan penglihatan mereka mendalam kepada saya. Sayapun bertegur-sapalah dengan mereka baik-baik dan bertanya apakah agaknya maksud kedatangan mereka. Lalu seorang di antara mereka mengulurkan sepucuk surat, bersampul baik. Surat itu saya baca dengan tenang; rupanya ialah surat perintah menangkap saya! Barulah saya tahu bahwa keempat mereka adalah polisi berpakaian preman.
Dalam keadaan tidak tahu apa kesalahan saya dalam tengahari letih berpuasa, saya dijemput dan dicabut dengan segenap kekerasan dari ke- tenteraman saya dengan anak isteri, disisihkan dari masyarakat dan dimasuk- kan ke dalam tahanan. Setelah empat hari dalam tahanan barulah saya di- periksa, dengan tuduhan yang amat hebat dan ngeri. Yaitu bahwa saya mengadakan rapat gelap di Tanggerang pada tanggal 11 Oktober 1963. Yang diperkatakan dalam rapat itu ialah hendak membunuh Menteri Agama H. Saifuddin Zuhri, dan hendak mengadakan Coup d’etat. Untuk semua maksud ini saya mendapat bantuan dari Tengku Abdul Rahman Putera, Perdana