cam tenunan dan kain sungkit, seperti pelana, genta kuda, genta jawi, dan genta kerbau. Tali anjing pemburu (barangkali buatan Balingka) dan tali ayam sabung. Alat bernyanyi dan musik Minang, yaitu puput, selung, rebab, bansi, genderang, talempong, momongan (dari bambu, mengarah-arah angklung orang Sunda, yang semasa kecil masih saya dapati).
Pendeknya, cukup, lebih cukup daripada isi museum di Bukittinggi sendiri. Hanya satu yang tidak ada! Entah sengaja, entah tidak, entah karena kekurangan pengetahuan. Di sana, tidak digambarkan gabungan yang harmonis diantara adat dan syara' di Minangkabau. Kalau ada, hanya sedikit sekali, yaitu ukiran akar cina pada mimbar. Tidak ada masjid dengan gonjong menjulang langit, yang oleh Prof. Kemal Schumaker, di Bandung dahulu pernah diterangkan dalam buku Kultur Islam yang disusun berdua dengan M.Natsir bahwa gonjong mesjid di Minangkabau adalah senidan kebudayaan sendiri yang tumbuh di Indonesia sebagai lambang menuju langit dan kepercayaan tauhid. Gonjong masjid cara Minang yang demikian, seperti lanjutan dari kepercayaan kepada Sang Hyang Tunggal dan menyebabkan shalat diartikan sembahyang, tidaklah dibawa dari seni Arab, Mongol, atau Persia. Hal tersebut tumbuh sendiri menurut lanjutan alam pikiran Indonesia di Minangkabau dan masjid yang bertingkat empat, yaitu latar di bawah, tingkat kedua, tingkat ketiga, dan terus ke tingkat yang di atas sekali, yang runcing menjulang langit. Menurut fatwa ahli-ahli adat, itu adalah lambang dari tingkatan jiwa menuju kesempurnaan, yang terbagi menjadi empat. Latar di bawah sekali adalah tempat melakukan syari'at. Dari syari'at, kita mulai mencari jalan atau tarekat. Inilah tingkat kedua,