rena banyak di antara barang-barang yang di Minangkabau sendiri pun tidak ada lagi. Saya berani memastikan bahwa museum ruang Minangkabau di Chicago lebih lengkap dari Museum Bukittinggi sendiri. Banyak di antara barang itu, yang pemuda angkatan baru di bawah 30 tahun pun barangkali tidak mengenal lagi namanya. Lesung kincir, lesung injak, elu, tampian, pasu, raga, keranjang, senggan, ketiding, bangkih, sabit padi, tuai.
Kalau Tuan adalah seorang berkebangsaan Indonesia yang dilahirkan di Minangkabau, adakah Tuan tahu apa yang dinamakan taku? Taku ialah tempurung kelapa yang dilubangi kecil-kecil, dipergunakan untuk memasukkan tepung yang telah direndam dan diedarkan di atas kuali berisi minyak panas. Apabila sudah dalam kuali, tepung tadi menjadi makanan yang bernama “keras-keras”. Waktu saya masih kecil, membuat keras-keras merupakan hal lazim di kampung saya, termasuk lemang dan pinyaram. Barangkali hanya di Kota Baru Batas dan sedikit di Payakumbuh masih ada taku. Taku pun ada di Museum Chicago.
Alat nelayan pun cukup. Syukurlah nama itu masih banyak saya ingat sebab waktu kecil, nenek kerap membawa saya mengail dan menjaring ikan di danau. Pukat, pasok, jaring, sauk-sauk, lukah, tingkalak, lukah lembat dan lukah belut, raga, tincak, serta jala.
Taji ayam jantan, sangkar balam, sangkar ketitiran, sangkar puyuh, dan sangkar serindit. Alat ke hutan pergi berotan, seperti lading, sabit, seraut, dan sewa. Alat beradat, seumpama cerana, dulang, atas lemak, puan (tempat sirih), lumpang sirih untuk orang tua dan pembelah pinang satu. Tudung saji dan bermacarn-macam selepah rokok yang dibuat dari pandan, yang dibuat dari manik. Berma-