raga, gadis remaja sedang bertenun di halaman di bawah kemuning hijau. Hari nan sedang tengah hari, terbayang Telipuk Lajur nan Dandam, anak rang Talang Pauh Tinggi, anak Kapalo Koto Tuo.
Digambarkan laksana hidup, bagaimana orang Minangkabau mendirikan rumah adatnya. Diberi pula keterangan tentang “kata mufakat” atau gotong royong, dan diberi latar belakang keindahan Merapi dan Singgalang, serta sawah berjenjang dan bandar buatan.
Pakaian penghulu dengan seluknya: seluk timba, seluk ciling menurun, seluk darat dan seluk rantau, dan daster berkerut hitam. Sesamping dengan andai halus. Keris sempaner ganja iras, si bongkok memanjat pinang. Keris yang berliuk tiga, lambang dari adat, undang, dan syara". “Mait nan dua seusungan, jejak ditikam mati juga.”
Pakaian perempuan cara Batipuh, yang bernama tengkuluk pucuk, dibawa senyum matanya, hari rasakan hujan.
Dibawa gelak pipinya, hari rasakan panas. Perjalanan si ganja lalai, pada pergi surut nan lebih. Tengkuluk Batipuh agak besar sebelah kanan. Tengkuluk Payakumbuh, sama besar kiri dengan kanan. Tengkuluk Agam hanya kain selendang pelangi hijau, terbayang sanggul dari baliknya.
Tepatan sinar matahari seketika muncul dari balik Gunung Merapi.
Ukiran akar cina yang menghiasi dinding rumah di Minangkabau, yang menghiasi mihrab masjid atau mimbar, atau lumbung, terletak pada ruang sendiri sebab ukiran kerajinan tangan tersebut termasuk satu cabang dari wetenschap ‘ilmu’ tentang seni bangsa-bangsa. Setelah itu bertemu barang-barang kerajinan primitif kita. Saya betul-betul tercengang melihat kerajinan orang mengumpul ka-