Pertimbangan kemaslahatan dan tujuan syariat ituleh yang membuat Mu'az, seorang sahabat yang paling banyak pengetahuannya tentang hal- hal yang halal dan haram seperti ditegaskan oleh hadis, lebih setuju memungut seharga “pakaian Yaman” itu ganti ijian, dengan ke- yakinan bahwa ia tidak menentang maksud lahiriah hadis yang lain. Mu'az tidaklah bermaksiid menentang hadis Rasuluilah, di mana ia bertindak menjadikan ijtihadnya pada tingkat ketiga setelah Ouran dan sunnah, tetapi ia justru memahami benar jiwa hadis tersebut, dan oleh karena itu ia tidaklah berarti melanggarnya. Oleh karena itulah para ahli ushul meminta satu syarat dari seorang Mujtahid, yaitu memahami jiwa hukum dan maksud-maksud syariat, dan harus pula memahami kepentingan umum pada masanya. Hal ini harus demikian, oleh karena seorang yang mempunyai banyak ilmu dan instrumen untuk melakukan ijtihad, tetapi hidup di menara gading atau di dalam biara tertutup, tidak kenal apa yang baik dan tidak baik bagi masyarakat, tidak tahu apa yang sedang bergejolak di dalam fikiran, apa yang tergores di dalam hati manusia, dan peristiwa dan gejala apa yang sedang terjadi di dalam masyarakat, orang seperti itu, walau bagaimanapun pintarnya, tidak boleh menyandang titel mujtahid. tidak boleh memberi fatwa atau menciptakan hukum dalam Islam. Pertimbangan kemaslahatan dan tujuan-tujuan integral syariat itulah yang membuat kita memandang lebih kuat pendapat para sahabat Rasulullah s.a.w.. bahwa perhiasan wanita tidak wajib zakat, oleh karena yang menjadi sasaran pengundangan zakat, berdasarkan apa yang dapat dimengerti dari kekayaan yang dikenakan zakat pada zaman Rasulullah, adalah kekayaan yang berkembang atau sifatnya berkembang, supaya pengenaan zakat itu hanya pada pertambahan pertumbuhan kekayaan itu dan supaya modal sebagai sumber pendapat seseorang tetap berada pada pihak pemilik. Sedangkan perhiasan yang diizinkan Tuhan dipakai oleh wanita bukanlah sesuatu yang berkembang atau sifatnya berkembang, tetapi tergolong pakaian untuk perhiasan atau alat-alat rumah tangga dan lain-lain. Dan asas keadilan yang menjadi titik perhatian syariat itu pulalah yang membuat kita berpendapat lebih kuat pendapat seorang tabi'in besar, Imam “Atha" bin Rabah, tentang dikeluarkannya terlebih dahulu biaya tanam kemudian baru dikeluarkan zakat dari sisa: membuat kita lebih setuju agar penyewa tanah mengeluarkan zakat dari hasil bersih setelah biaya-biaya termasuk sewa tanah dikeluarkan dan agar pemilik tanah mengeluarkan zakat sewa tanah yang diterimanya sebesar Vio atau 440. oleh karena sewa itu sama artinya dengan produksi bila ia menanamnya sendi dan lain-lain yang sejenis dengan itu.