Loading...

Maktabah Reza Ervani

15%

Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000



Judul Kitab : The Palestinian Exodus in 1948 - Detail Buku
Halaman Ke : 12
Jumlah yang dimuat : 14
« Sebelumnya Halaman 12 dari 14 Berikutnya » Daftar Isi
Arabic Original Text
Belum ada teks Arab untuk halaman ini.
Bahasa Indonesia Translation

7. Sifat Masyarakat Palestina dan Bentuk Perlawanan Palestina  

Faktor terakhir yang perlu dianalisis adalah struktur masyarakat Arab, reaksi mereka terhadap perang, dan harapan-harapan yang mereka miliki sepanjang konflik. Meskipun ulasan ini hanya menyinggung poin-poin utama, hal ini penting dipertimbangkan untuk memahami bagaimana begitu banyak orang dapat diusir dari rumah dan tanah mereka.  

Pertama-tama, bentrokan antara Zionis dan Palestina bukanlah pertarungan yang setara. Meskipun Zionis memiliki jumlah penduduk yang lebih kecil, mereka menutupi kelemahan ini dengan masyarakat yang lebih terdidik dan lebih maju secara teknologi. Yang lebih penting, ketika administrasi mandat Inggris mulai mundur, kaum Zionis sudah memiliki institusi pemerintahan siap pakai, layanan publik, serta tentara yang terlatih. Semua ini dikembangkan selama masa Mandat dan menjadi penopang kekompakan komunitas serta penguat moral selama konflik.  

Dalam masyarakat Arab, institusi semacam itu tidak berkembang dalam bentuk yang sebanding. Banyak layanan pemerintahan runtuh seiring keluarnya Inggris dan hal ini berdampak buruk pada moral publik. Upaya memang dilakukan untuk mengatasi kekurangan ini, tetapi terlalu terlambat untuk mencegah merebaknya teror yang melanda komunitas Palestina. [62] Struktur masyarakat juga memengaruhi cara eksodus berlangsung. Perang besar-besaran belum pernah terjadi selama beberapa generasi di Palestina, sehingga banyak penduduk, ketika desa mereka diserang, memilih mengungsi dengan harapan bisa kembali setelah keadaan normal. Pola ini sama dengan konflik-konflik lain di Timur Tengah. Namun, begitu mereka meninggalkan desa, Israel menolak mengizinkan mereka kembali. [63]  

Lebih jauh, bentuk perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Palestina dan pasukan luar yang datang untuk “membela” mereka juga berperan penting dalam asal-usul eksodus.  

Poin kunci adalah bahwa Zionis merencanakan perang total, mengerahkan seluruh energi untuk tujuan itu, sementara Palestina tidak. Bentuk perlawanan Palestina terhadap Inggris maupun Zionis sebelumnya lebih berupa serangan gerilya, spontan, dan berpusat pada kekuatan serta pengaruh para pemimpin. [64] Begitu perang dimulai, kelemahan ini sangat terasa. Ketika Zionis mengambil inisiatif ofensif, ketiadaan komando pusat Arab yang terpadu memungkinkan mereka menyerang sasaran secara selektif. [65] Kegagalan perlawanan militer memang tidak bisa dijadikan alasan tunggal eksodus, tetapi harus dicatat sebagai faktor yang menimbulkan kepanikan dan teror massal. [66]  

Zionis juga memiliki keuntungan militer lain: tentara mereka yang terlatih dan terorganisir, meski belum resmi, sudah bisa beroperasi beberapa bulan sebelum Mandat berakhir. Sementara itu, tentara negara-negara Arab baru bisa masuk Palestina setelah 15 Mei 1948. Ketika akhirnya mereka masuk perang, sama seperti para pejuang lokal, mereka pun menderita akibat kurangnya komando terpadu.  

[62] Khalidi, *Why Did the Palestinians Leave?*, hlm. 23.  
[63] Gabbay, hlm. 86–88; Don Peretz, *Israel and the Palestine Arabs*, hlm. 7–8; Avnery, hlm. 225–226; Polk, Stamler, Asfour, hlm. 128.  
[64] Sayegh, hlm. 9; Musa Alami, hlm. 374–379.  
[65] Alami, hlm. 379.  
[66] Alami, hlm. 381.  

IDWaktuBahasaPenerjemahStatusAksi
#1120 Sep 2025, 05:18:15idadminTervalidasi

7. Sifat Masyarakat Palestina dan Bentuk Perlawanan Palestina  

Faktor terakhir yang perlu dianalisis adalah struktur masyarakat Arab, reaksi mereka terhadap perang, dan harapan-harapan yang mereka miliki sepanjang konflik. Meskipun ulasan ini hanya menyinggung poin-poin utama, hal ini penting dipertimbangkan untuk memahami bagaimana begitu banyak orang dapat diusir dari rumah dan tanah mereka.  

Pertama-tama, bentrokan antara Zionis dan Palestina bukanlah pertarungan yang setara. Meskipun Zionis memiliki jumlah penduduk yang lebih kecil, mereka menutupi kelemahan ini dengan masyarakat yang lebih terdidik dan lebih maju secara teknologi. Yang lebih penting, ketika administrasi mandat Inggris mulai mundur, kaum Zionis sudah memiliki institusi pemerintahan siap pakai, layanan publik, serta tentara yang terlatih. Semua ini dikembangkan selama masa Mandat dan menjadi penopang kekompakan komunitas serta penguat moral selama konflik.  

Dalam masyarakat Arab, institusi semacam itu tidak berkembang dalam bentuk yang sebanding. Banyak layanan pemerintahan runtuh seiring keluarnya Inggris dan hal ini berdampak buruk pada moral publik. Upaya memang dilakukan untuk mengatasi kekurangan ini, tetapi terlalu terlambat untuk mencegah merebaknya teror yang melanda komunitas Palestina. [62] Struktur masyarakat juga memengaruhi cara eksodus berlangsung. Perang besar-besaran belum pernah terjadi selama beberapa generasi di Palestina, sehingga banyak penduduk, ketika desa mereka diserang, memilih mengungsi dengan harapan bisa kembali setelah keadaan normal. Pola ini sama dengan konflik-konflik lain di Timur Tengah. Namun, begitu mereka meninggalkan desa, Israel menolak mengizinkan mereka kembali. [63]  

Lebih jauh, bentuk perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Palestina dan pasukan luar yang datang untuk “membela” mereka juga berperan penting dalam asal-usul eksodus.  

Poin kunci adalah bahwa Zionis merencanakan perang total, mengerahkan seluruh energi untuk tujuan itu, sementara Palestina tidak. Bentuk perlawanan Palestina terhadap Inggris maupun Zionis sebelumnya lebih berupa serangan gerilya, spontan, dan berpusat pada kekuatan serta pengaruh para pemimpin. [64] Begitu perang dimulai, kelemahan ini sangat terasa. Ketika Zionis mengambil inisiatif ofensif, ketiadaan komando pusat Arab yang terpadu memungkinkan mereka menyerang sasaran secara selektif. [65] Kegagalan perlawanan militer memang tidak bisa dijadikan alasan tunggal eksodus, tetapi harus dicatat sebagai faktor yang menimbulkan kepanikan dan teror massal. [66]  

Zionis juga memiliki keuntungan militer lain: tentara mereka yang terlatih dan terorganisir, meski belum resmi, sudah bisa beroperasi beberapa bulan sebelum Mandat berakhir. Sementara itu, tentara negara-negara Arab baru bisa masuk Palestina setelah 15 Mei 1948. Ketika akhirnya mereka masuk perang, sama seperti para pejuang lokal, mereka pun menderita akibat kurangnya komando terpadu.  

[62] Khalidi, *Why Did the Palestinians Leave?*, hlm. 23.  
[63] Gabbay, hlm. 86–88; Don Peretz, *Israel and the Palestine Arabs*, hlm. 7–8; Avnery, hlm. 225–226; Polk, Stamler, Asfour, hlm. 128.  
[64] Sayegh, hlm. 9; Musa Alami, hlm. 374–379.  
[65] Alami, hlm. 379.  
[66] Alami, hlm. 381.  


Beberapa bagian dari Terjemahan di-generate menggunakan Artificial Intelligence secara otomatis, dan belum melalui proses pengeditan

Untuk Teks dari Buku Berbahasa Indonesia atau Inggris, banyak bagian yang merupakan hasil OCR dan belum diedit


Belum ada terjemahan untuk halaman ini atau ada terjemahan yang kurang tepat ?

« Sebelumnya Halaman 12 dari 14 Berikutnya » Daftar Isi