Memberontak terhadap Penguasa: Sebuah Pandangan Syariat



الخروج على ولاة الأمور.. رؤية شرعية

Memberontak terhadap Penguasa: Sebuah Pandangan Syariat

Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu

Artikel Memberontak terhadap Penguasa: Sebuah Pandangan Syariat ini masuk dalam Kategori Tanya Jawab

السؤال

Pertanyaan:

هل الذي حصل بليبيا ومصر وغيرها من الدول خروج على ولاة الأمر؟

Apakah yang terjadi di Libya, Mesir, dan negara-negara lain termasuk bentuk pemberontakan terhadap penguasa?

الإجابــة

Jawaban:

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه، أما بعد:

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabat beliau. Amma ba’du:

فالخروج على ولاة الأمور يسميه الفقهاء بغيًا، ولا يصدق هذا الوصف على فئة من الناس إلا بشروط، يمكن إجمالها بما جاء في الموسوعة الفقهية: يتحقق البغي بما يلي:

Pemberontakan terhadap penguasa dalam istilah para fuqaha disebut baghy. Sifat ini tidak berlaku pada suatu kelompok kecuali dengan syarat-syarat tertentu. Ringkasnya sebagaimana disebutkan dalam *Al-Mausu‘ah Al-Fiqhiyyah*, bahwa baghy terwujud dengan beberapa hal berikut:

أ – أن يكون الخارجون على الإمام جماعة من المسلمين لهم شوكة، وخرجوا عليه بغير حق لإرادة خلعه بتأويل فاسد, فلو خرج عليه أهل الذمة لكانوا حربيين لا بغاة,

Pertama: Yang keluar melawan imam adalah sekelompok kaum muslimin yang memiliki kekuatan, dan mereka keluar tanpa hak dengan maksud menjatuhkannya berdasarkan takwil yang batil. Jika yang melawan adalah ahlu dzimmah, maka mereka dianggap sebagai musuh (harbi) bukan bughat.

ولو خرجت عليه طائفة من المسلمين بغير تأويل ولا طلب إمرة لكانوا قطاع طريق، وكذا لو لم يكن لهم قوة ومنعة ولا يخشى قتالهم ولو كانوا متأولين,

Jika yang melawan adalah sekelompok muslim tanpa takwil dan tanpa mencari kekuasaan, maka mereka dianggap sebagai perampok (qutha‘ ath-thariq). Demikian juga jika mereka tidak memiliki kekuatan sehingga tidak ditakuti perangnya, meskipun dengan takwil, maka mereka tidak disebut bughat.

ولو خرجوا على الإمام بحق – كدفع ظلم – فليسوا ببغاة، وعلى الإمام أن يترك الظلم وينصفهم، ولا ينبغي للناس معونة الإمام عليهم؛ لأن فيه إعانة على الظلم، ولا أن يعينوا تلك الطائفة الخارجة؛ لأن فيه إعانة على خروجهم واتساع الفتنة …

Namun jika mereka keluar dengan alasan yang benar, seperti menolak kezaliman, maka mereka tidak dianggap bughat. Imam wajib meninggalkan kezaliman dan berlaku adil kepada mereka. Tidak boleh bagi masyarakat membantu imam melawan mereka, karena itu berarti membantu kezaliman, dan juga tidak boleh membantu kelompok pemberontak tersebut, karena itu berarti membantu pemberontakan dan memperluas fitnah.

ب – أن يكون الناس قد اجتمعوا على إمام وصاروا به آمنين والطرقات به آمنة؛ لأنه إذا لم يكن كذلك يكون عاجزًا أو جائرًا ظالمًا، يجوز الخروج عليه وعزله، إن لم يلزم منه فتنة، وإلا فالصبر أولى من التعرض لإفساد ذات البين.

Kedua: Bahwa manusia telah sepakat pada seorang imam, dan dengan kepemimpinannya mereka meraih keamanan, serta jalan-jalan menjadi aman. Jika tidak demikian, maka imam tersebut dianggap lemah atau zalim, sehingga boleh untuk memberontak dan melengserkannya selama tidak menimbulkan fitnah yang lebih besar. Jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah, maka bersabar lebih utama daripada menimbulkan kerusakan yang lebih luas.

ج – أن يكون الخروج على سبيل المغالبة، أي بإظهار القهر, وقيل: بالمقاتلة؛ وذلك لأن من يعصي الإمام لا على سبيل المغالبة لا يكون من البغاة، فمن خرج عن طاعة الإمام من غير إظهار القهر لا يكون باغيًا.

Ketiga: Pemberontakan itu dilakukan dengan cara kekuatan dan pemaksaan (mughālabah), ada pula yang mengatakan dengan peperangan. Karena orang yang bermaksiat kepada imam bukan dengan cara memaksakan diri, tidak disebut bughat. Barangsiapa keluar dari ketaatan kepada imam tanpa kekerasan, maka ia tidak termasuk bughat.

د – وصرح الشافعية باشتراط أن يكون للخارجين مطاع فيهم، يصدرون عن رأيه، وإن لم يكن إمامًا منصوبًا؛ إذ لا شوكة لمن لا مطاع لهم, وقيل: بل يشترط أن يكون لهم إمام منصوب منهم. اهـ.

Keempat: Ulama Syafi‘iyyah menegaskan bahwa pemberontak harus memiliki seorang pemimpin yang ditaati, yang mereka rujuk pendapatnya, meskipun bukan imam resmi, karena tidak ada kekuatan bagi kelompok tanpa pemimpin. Ada pula pendapat lain yang mengatakan: syaratnya harus ada imam yang mereka angkat dari kalangan mereka sendiri.

وقال الحطاب في مواهب الجليل: قال ابن عبد السلام: ولفظة “مغالبة” كالفصل أو كالخاصة؛ لأن من عصى الإمام لا على سبيل المغالبة لا يكون من البغاة انتهى.

Al-Haththab dalam Mawāhib al-Jalīl berkata, dari Ibn ‘Abd al-Salām: kata “mughālabah” (pemaksaan) itu menjadi batas yang membedakan, karena orang yang bermaksiat kepada imam bukan dengan pemaksaan tidak disebut bughat.

ونحوه في التوضيح، ونصه: وإخراج الخروج عن طاعة الإمام من غير مغالبة فإن ذلك لا يسمى بغيًا. اهـ, وكأنهم يعنون بالمغالبة المقاتلة, فمن خرج عن طاعة الإمام من غير مغالبة لا يكون باغيًا, 

Hal ini juga disebutkan dalam At-Tawdīh bahwa keluar dari ketaatan kepada imam tanpa pemaksaan tidak disebut baghy. Seolah-olah maksud mughālabah di sini adalah peperangan. Maka barangsiapa keluar dari ketaatan kepada imam tanpa peperangan, tidak disebut bughat.

ومثال ذلك ما وقع لبعض الصحابة ـ رضي الله عنهم وحشرنا في زمرتهم وأماتنا على محبتهم وسنتهم ـ أنه مكث أشهرًا لم يبايع الخليفة ثم بايعه – رضي الله عنهم أجمعين – اهـ.

Contoh hal ini adalah apa yang terjadi pada sebagian sahabat Radhiyallahu ‘Anhum — semoga Allah mengumpulkan kita dalam golongan mereka dan mematikan kita di atas cinta dan sunnah mereka — bahwa mereka beberapa bulan tidak membaiat khalifah, kemudian setelahnya membaiatnya. Radhiyallahu ‘Anhum ajma‘īn.

وقد سبق لنا في الفتوى الأخرى هنا أن انتقاد الأوضاع الفاسدة, وبيان الحقائق, وإنكار المنكر الظاهر حسب المراتب المبينة في الحديث ليست خروجًا على السلطان, ولا بغيًا على الإمام, Telah kami jelaskan dalam fatwa lain disini

bahwa mengkritik kondisi yang rusak, menjelaskan kebenaran, dan mengingkari kemungkaran yang tampak sesuai tingkatan yang disebutkan dalam hadits, bukanlah bentuk pemberontakan terhadap penguasa dan bukan pula baghy terhadap imam.

وبعض الناس قد يخطئ فيظن أن كل من أمر بمعروف, أو نهى عن منكر, أو دعا إلى إصلاح أنه خارج على ولي الأمر.

Sebagian orang terkadang keliru dengan menyangka bahwa setiap orang yang memerintahkan kepada kebaikan, melarang dari kemungkaran, atau mengajak kepada perbaikan, maka ia dianggap keluar dari ketaatan kepada penguasa.

والله أعلم.

Wallahu a’lam.

Sumber : IslamWeb

hukum pemberontakan | fiqih politik | bughat | kritik penguasa | fiqih baghy



Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.