Menutupi Aib Seorang Muslim: Sunnah, Wajib, atau Haram? (2)



الستر على المسلم ..استحباب أم وجوب أم حرمة

Menutupi Aib Seorang Muslim: Sunnah, Wajib, atau Haram? (Bagian Kedua)

Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu

Artikel Menutupi Aib Seorang Muslim: Sunnah, Wajib, atau Haram? ini masuk dalam Kategori Tanya Jawab

وقال في المبدع ذاكرا وجه القول بالاستحباب وأن الوجوب قول بعض الحنابلة:

Dalam kitab Al-Mubdi‘ disebutkan penjelasan tentang pendapat yang menyatakan bahwa menutupi aib hukumnya sunnah, sedangkan wajib adalah pendapat sebagian ulama Hanabilah :

وَمَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ شَهَادَةٌ فِي حَدٍّ لِلَّهِ تَعَالَى أُبِيحَ إِقَامَتُهَا مِنْ غَيْرِ تَقَدُّمِ دَعْوَى، لِأَنَّ أَبَا بَكْرَةَ وَأَصْحَابَهُ وَالْجَارُودَ وَأَبَا هُرَيْرَةَ، أَقَامُوا الشَّهَادَةَ عَلَى قُدَامَةَ بْنِ مَظْعُونٍ بِشُرْبِ الْخَمْرِ، وَلَمْ تُسْتَحَبَّ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ: 

“Barang siapa memiliki kesaksian dalam perkara hukum hudud karena Allah Ta’ala, maka boleh baginya menegakkannya tanpa harus ada tuntutan terlebih dahulu. Sebab Abu Bakrah, para sahabatnya, Al-Jarud, dan Abu Hurairah menegakkan kesaksian terhadap Qudamah bin Maz’un dalam kasus minum khamar. Namun, hal ini tidak disunnahkan karena sabda Nabi ﷺ :

مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ 

‘Barang siapa menutupi aib seorang Muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.’

وَاسْتَحَبَّ الْقَاضِي وَأَصْحَابُهُ وَأَبُو الْفَرَجِ وَالتَّرْغِيبُ كَالْمُؤَلِّفِ، تَرَكَهُ لِلتَّرْغِيبِ فِي السَّتْرِ، 

Al-Qadhi dan para sahabatnya serta Abu Al-Faraj dan Al-Mu’allif berpendapat bahwa lebih baik meninggalkannya demi anjuran untuk menutupi aib.

وَهَذَا يُخَالِفُ مَا جَزَمَ بِهِ فِي آخِرِ الرِّعَايَةِ مِنْ وُجُوبِ الْإِغْضَاءِ عَمَّنْ سَتَرَ الْمَعْصِيَةَ، وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِ الْخَلَّالِ، قَالَ فِي الْفُرُوعِ: وَيَتَوَجَّهُ فِيمَنْ عُرِفَ بِالشَّرِّ وَالْفَسَادِ لَا يُسْتَرُ عَلَيْهِ. انتهى.

Namun, ini berbeda dengan ketetapan yang disebut di akhir kitab Ar-Ri‘ayah tentang wajibnya memaafkan orang yang menutupi dosa. Hal ini juga tampak dari ucapan Al-Khallal, yang berkata dalam Al-Furu‘: ‘Barang siapa yang dikenal berbuat kejahatan dan kerusakan, maka tidak boleh ditutupi aibnya.’” (selesai kutipan).

فالمسألة إذا محل بحث وخلاف للعلماء، وللقول بالوجوب حظه من النظر، لكن القول بالاستحباب ليس قولا منكرا، بل القائلون به من أعيان علماء الإسلام وأعلمهم بمقاصد الشريعة،

Dengan demikian, masalah ini merupakan area ijtihad dan perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Pendapat yang mewajibkan menutupi aib memiliki dasar yang kuat, namun pendapat yang mengatakan bahwa hal itu hanya mustahabb (sunnah) juga bukan pendapat yang keliru. Para ulama besar Islam yang memahami maqashid syariah berpegang pada pendapat ini.

فلا ينبغي التهجم على إنكار مذاهب العلماء بالرأي المجرد، فهذه المسألة لا تحتمل هذا التهويل وإطلاق هذه العبارات الشديدة، كما ننبه أن محل مشروعية الستر ما لم يتعلق الذنب بحق مسلم تعرض لظلم، قال أبو محمد ابن حزم في المحلى: 

Maka tidak sepantasnya seseorang bersikap keras menolak pendapat ulama hanya berdasarkan opini pribadi, sebab masalah ini tidak layak dibesar-besarkan atau diberi pernyataan yang keras. Kami juga menegaskan bahwa anjuran menutupi aib berlaku selama dosa tersebut tidak terkait dengan hak orang lain yang dizalimi. Abu Muhammad Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla berkata :

وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الإِسْلَامِ بِإِبَاحَةِ السَّتْرِ عَلَى مُسْلِمٍ فِي ظُلْمٍ ظَلَمَ بِهِ مُسْلِمًا كَمَنْ أَخَذَ مَالَ مُسْلِمٍ بِحِرَابَةٍ وَاطَّلَعَ عَلَيْهِ إنْسَانٌ، أَوْ غَصَبَهُ امْرَأَتَهُ، أَوْ سَرَقَ حُرًّا، وَمَا أَشْبَهَهُ، فَهَذَا فَرْضٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يَقُومَ بِهِ حَتَّى يَرُدَّ الظُّلَامَاتِ إلَى أَهْلِهَا؟. انتهى.

“Tidak ada seorang pun dari kalangan kaum Muslimin yang membolehkan menutupi aib seorang Muslim dalam kezaliman yang dilakukannya terhadap Muslim lain — seperti mengambil harta seorang Muslim dengan kekerasan dan ada orang yang mengetahuinya, atau merampas istrinya, atau mencuri orang yang merdeka, dan semisalnya. Dalam kasus seperti ini, wajib bagi setiap Muslim untuk bertindak hingga mengembalikan hak-hak yang dizalimi kepada pemiliknya.” (selesai kutipan).

كما أن المجاهر بالمعصية الذي لا يردعه إلا رفع أمره للحاكم وعقوبته بالعقوبة اللائقة بمثله المشروع رفع أمره وعدم ستره كما مر ذكره تحقيقا للمصلحة العامة، قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله:

Demikian pula, orang yang terang-terangan berbuat maksiat dan tidak dapat dicegah kecuali dengan melaporkannya kepada hakim dan menjatuhkan hukuman yang sesuai, maka dalam kasus ini justru dianjurkan untuk melaporkannya dan tidak menutupi aibnya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya demi kemaslahatan umum. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata :

فالستر قد يكون مأموراً به محموداً، وقد يكون حراماً، فإذا رأينا شخصاً على معصية، وهو رجلٌ شرير منهمك في المعاصي، لا يزيده الستر إلا طغياناً، فإننا لا نستره، بل نبلغ عنه حتى يُردع ردعاً يحصل به المقصود. انتهى.

“Menutupi aib bisa menjadi hal yang diperintahkan dan terpuji, namun juga bisa menjadi haram. Jika kita melihat seseorang melakukan maksiat dan dia termasuk orang jahat yang tenggelam dalam dosa, sementara menutupinya hanya membuatnya semakin durhaka, maka kita tidak boleh menutupinya, melainkan wajib melaporkannya agar ia mendapatkan hukuman yang bisa menimbulkan efek jera sesuai tujuan syariat.” (selesai kutipan).

والله أعلم.

Wallahu a’lam.

Alhamdulillah selesai rangkaian tanya jawab 2 (Dua) Artikel

Sumber : IslamWeb



Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.