Mutlaq, Muqayyad, Manthuq dan Mafhum (Bagian 2)
Tulisan Mutlaq, Muqayyad, Manthuq dan Mafhum Ini Bagian Pertama dari Dua Tulisan di kategori Balaghah
B. Mantuq dan Mafhum
1. Pengertian Mantuq dan Mafhum
Mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (makna tersurat), sedang mafhum adalah lafal yang hukumnya terkandung dalam arti dibalik manthuq (makna tersirat). Menurut kitab mabadiulawwaliyah, mantuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz dalam tempat pengucapan, sedangkan mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan.
Jadi mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat pembicaraan dan mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut. Seperti Firman Allah Ta’ala :
…ﻓﻼﺗﻘﻞﻟﻬﻤﺎﺍﻑﻭﻻﺗﻨﻬﺮﻫﻤﺎ…
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” (Surah Al-Isra’ ayat 23)
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum, pengertian mantuq yaitu ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata = uffin) jangan kamu katakan perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu. Sedangkan mafhum yang tidak disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya (juga dilarang) karena lafadz-lafadz yang mengandung kepada arti, diambil dari segi pembicaraan yang nyata dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut mafhum.
2. Pembagian Mantuq
Pada dasarnya mantuq ini terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan lag.
2. Zahir, yatiu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan menghendakinya kepada penta’wilan. Seperti firman Allah Ta’ala
ﻭﺍﻟﺴﻤﺎﺀﺑﻨﻴﻨﻬﺎﺑﺎﻳﺪﻭﺍﻧﺎﻟﻤﻮﺳﻌﻮﻥ
”dan langit yang kami bangun dengan tangan” (Surah Adz Dzariyat: ayat 47)
Kalimat tangan ini diartikan dengan kekuasaan karena mustahil Allah mempunyai tangan seperti manusia.
3. Pembagian Mafhum
Mafhum dibedakan menjadi dua bagian, yakni:
1) Mafhum Muwafaqah, yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama dengan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz. Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi dua bagian:
a) Fahwal Khitab
Yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua tidak boleh hukumnya, firman Allah SWT yang artinya: jangan kamu katakan kata-kata yang keji kepada kedua orangtua. Kata-kata yang keji saja tidak boleh apalagi memukulnya.
b) Lahnal Khitab
Yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan diucapkan. Seperti memakan (membakar) harta anak yatim tidak boleh berdasarkan Firman Allah Ta’ala
ﺍﻥﺍﻟﺬﻳﻦﻳﺎﻛﻠﻮﻥﺍﻣﻮﺍﻝﺍﻟﺘﻤﯽﻅﻠﻤﺎﺍﻧﻤﺎﻳﺎﻛﻠﻮﻥﻓﯽﺑﻂﻮﻧﻬﻢﻧﺎﺭﺍ
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya.
(Surah An-Nisa ayat 10)
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak tersebut ang berarti dilarang (haram)
2) Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi (meniadakkan). Oleh sebab hal itu yang diucapkan. Seperti Firman Allah Ta’ala :
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli (Surah al Jumuah ayat 9)
Dari ayat ini dipahami bahwa boleh jual beli dihari Jum’at sebelum azan dikumandangkan dan sesudah mengerjakan shalat Jum’at. Dalil Khitab ini dinamakan juga mafhum mukhalafah.
Macam-macam mafhum mukhalafah
a. Mafhum Shifat
Yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya. Seperti firman Allah Ta’ala.
وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ
…(dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu)…(Surah An Nisa ayat 23)
b. Mafhum ’illat
Yaitu menghubungkan hukum sesuatu menurut ’illatnya. Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
c. Mafhum ’adad
Yaitu memperhubungkan hukum sesuatu kepada bilangan tertentu. Firman Allah Ta’ala :
ﻓﺎﺟﻠﺪﻭﻫﻢﺛﻤﻨﻴﻦﺟﻠﺪﺓ……
…Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, (Surah An-Nur ayat 4)
d. Mafhum ghayah
Yaitu lafaz yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafaz ghayah ini adakalnya ”ilaa” dan dengan ”hakta”. Seperti firman Allah SWT.
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku. (Surah Al-Maidah ayat 6)
Juga Firman Allah Ta’ala
dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci (Surah Al Baqarah ayat 222)
e. Mafhum Laqaab
Yaitu petunjuk yang diberikan oleh karena digantungkan hukum dengan sesuatu isim jamid kepada meniadakan hukum tersebut dari selainnya. Atau menetapkan hukum sebaliknya dari hukum yang ditetapkan pada isim ‘alam atau isim jenis dalam suatu nash.contoh:
ﻓﯽﺍﻟﺒﺮﺻﺪﻗﺔ Pada gandum dikenakan zakat.
Dengan mafhum laqab maka ditetapkan hukum zakat tidak dikenakan kepada selain gandum. Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah sepakat tidak memakai mafhum laqab, yakni tidak menggantungkan hukum kepada isim itu saja.
4. Mafhum Mukhalafah dijadikan Hujjah
Ulama Hanafiyah tidak memandang mafhum mukhalafah sebagai salah satu metode penafsiran nash-nash syara’. Tegasnya menurut mereka, mafhum mukhalafah itu bukan suatu metode untuk penetapan hukum. Alasannya :
1. Sesungguhnya banyak nash syara’ yang apabila diambil mafhum mukhalafah akan rusak pengertiannya, antara lain seperti ayat mengatakan bahwa berbuat zalim diharamkan hanya pada empat bulan tersebut saja, sedangkan diluar itu tidak haram. Padahal berbuat zalim itu diharamkan pada tiap saat.
2. Sifat- sifat yang terdapat pada nash syara’, dalam banyak hal bukan untuk pembatasan hukum, melainkan untuk targib dan tarhib. Misalnya ayat yang mengatakan Sifat anak tiri, adalah anak tiri yang ada dalam pemeliharaan. Apabila diambil mafhum mukhalafah-nya, hal itu berarti mengawini anak tiri yang diluar pemeliharaan adalah halal. Padahal syara’ tetap mengharamkan.
3. Seandainya mafhum mukhalafahnya itu dapat dijadikan hujjah syara’ maka suatu nash yang telah menyebut suatu sifat tidak perlu lagi disebut nash yang menerangkan hukum kebalikan hukum dari sifat tersebut. Pada kenyataannya penyebutan seperti itu banyak ditemukan.
Menurut jumhur ushuliyyin, mafhum mukhalafah dapat dijadikan sebagai hujjah syara’. Alasannya antara lain :
1. Berdasarkan logika, setiap syarat atau sifat tidak mungkin dicantumkan tanpa tujuan dan sebab. Sebabnya itu tidak lain adalah untuk qayyid (pembatasan) hukum selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa dicantumkannya suatu sifat itu untuk tarqib, tarhib, dan tanfir.
2. Sikap Rasulullah yang tidak menyalahkan Umar Ibnu Khathab dalam memahami mafhum mukhalafah dari ayat 101 An-Nisa’ Namun, Rasulullah menjelaskan bahwa qasar shalat dalam perjalanan diperbolehkan sekalipun dalam keadaan aman.
Dengan syarat :
1. Mafhum mukhalafah-nya itu tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, seperti Mantuq atau mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq:
“Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan” (Q. S Isra’ ayat 31).
Mafhumnya, kalau bukan karena takut kemiskinan di¬bunuh, tetapi mafhum mukhalafah ini berlawanan dengan dalil manthuq, ialah:
“Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran (Q.S Isra’ ayat 33)”
Contoh yang berlawanan dengan mafhum muwafaqah:
“Janganlah engkau mengeluarkan kata yang kasar kepada orang tua, dan jangan pula engkau hardik (Q.S Isra’ ayat 23).
Yang disebutkan, hanya kata-kata yang kasar mafhum mukhalafahnya boleh memukuli. Tetapi mafhum ini berla¬wanan dengan mafhum muwafaqahnya, yaitu tidak boleh memukuli.
2. Yang disebutkan (manthuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
Contoh:
“Dan anak tirimu yang ada dalam pemeliharaanmu” (Q.S An-Nisa’ ayat 23).
Dan perkataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa yang tidak ada dalam peme¬liharaanmu boleh dikawini.
Perkataan itu disebutkan, sebab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.
3. Tidak ada dalil khusus yang membatalkan mafhum mukhalafah itu, seperti ayat:
Laki-laki tidak wajib diqisas apabila ia membunuh wanita, dibatalkan dengan ayat 45 surat Al-Ma’idah.
4. Yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan.
Contoh:
“Orang Islam ialah orang yang tidak mengganggu orang-¬orang Islam lainnya, baik dengan tangan ataupun dengan lisannya (Hadits)”.
Dengan perkataan “orang-orang Islam (Muslimin) tidak dipahamkan bahwa orang-orang yang bukan Islam boleh diganggu. Sebab dengan perkataan tersebut dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun dan damai di antara orang-orang Islam sendiri.
BAB III
KESIMPULAN
Lafal mutlaq didefinisikan ahli ushul fiqh sebagai lafal yang memberi petunjuk terhadap maudhu’-nya (sasaran penggunaan lafal) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.
muqayyad adalah lafal yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya yang dikaitkan dengan sifat tertentu.
Mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (makna tersurat), sedang mafhum adalah lafal yang hukumnya terkandung dalam arti dibalik manthuq (makna tersirat).
mantuq ini terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Nash
2. Zahir
Pembagian Mafhum:
1. Mafhum muwafaqah
2. Mafhum mukhalafah
DAFTAR PUSTAKA
- Jumantono Totok, Munir Amin Samsul.2005.Kamus Ilmu Ushul Fiqh.Amzah.
- Syafe’i Rahmat.2007.Ilmu Ushul Fiqh.Bandung: Pustaka Setia.
- Yunus Mahmud.2002.Tafsir Quran Karim.Jakarta: Hidakarya Agung.
- http://suherilbs.wordpress.com/fiqih/ushul-fiqih/
- http://ridwan202.wordpress.com/2008/08/14/mantuq-dan-mafhum-dalam-ilmu-ushul-fiqh/
- http://ridwan202.wordpress.com/2008/08/14/mantuq-dan-mafhum-dalam-ilmu-ushul-fiqh/
- http://muhdar-ahmad.blogspot.com/2011/12/mutlaq-dan-muqayyad.html
Leave a Reply