Bahasan Rinci Shadaqallahul Azhim
Sumber : Fatwa Daar al Ifta
Kompilasi dan Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu
Artikel Bahasan Rinci Shadaqallahul Azhim ini Masuk dalam Kategori Tanya Jawab
المقصود بقول: (صدق الله العظيم)
Maksud Ucapan: “Shadaqallahul ‘Azhim”
قول: (صدق الله العظيم) مطلق ذكر لله تعالى؛ وقد أُمِرنا بذكر الله تعالى بالأمر العام في قوله تعالى :
Ucapan “Shadaqallahul ‘Azhim” adalah dzikir umum kepada Allah Ta’ala; kita diperintahkan untuk berzikir kepada Allah Ta’ala dengan perintah umum dalam Firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. (Surah al Ahzab ayat 41)
وبالأمر الخاص في خطاب الله تعالى رسوله الكريم صلى الله عليه وآله وسلم بقوله:
dan dengan perintah khusus dalam Firman Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya yang mulia shalallahu ‘alaihi wa salam :
قُلْ صَدَقَ اللَّهُ
Katakanlah: “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah”.(Surah Ali Imran ayat 95)
“Katakanlah, ‘Allah telah berkata benar'” [Ali Imran: 95].
حكم قول: (صدق الله العظيم)
Hukum Mengucapkan “Shadaqallahul ‘Azhim”
والربط بين قراءة القرآن الكريم وبين هذا الذكر في نهايته لا مانع منه شرعًا؛ إذ هو عبادة أضيفت إلى أخرى.
Mengaitkan pembacaan Al Quran dengan dzikir ini di akhir pembacaan tidaklah dilarang secara syar’i; karena itu merupakan ibadah yang ditambahkan pada ibadah lain.
ولا يقال: إن هذا إحداث في الدين ما ليس منه، بل هو إحداث فيه ما هو منه،
Tidak dapat dikatakan bahwa hal ini adalah inovasi atau tambahan baru dalam agama yang bukan berasal dari Islam. Akan tetapi justru itu adalah penambahan yang sesuai dengan prinsip agama.
وهذا يُفهم من فعل الصحابة الكرام رضوان الله تعالى عليهم أجمعين؛ ففي “صحيح البخاري” عن رفاعة بن رافع رضي الله عنه قال:
Hal ini dapat dipahami dari perbuatan para sahabat yang mulia, rahdiyallahu ‘anhum. Dalam “Shahih al Bukhari” disebutkan bahwa Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu ‘anhu berkata:
كنا يومًا نصلي وراء النبي صلى الله عليه وآله وسلم فلما رفع رأسه من الركعة قال: «سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ»، قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ: رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ، قَالَ: «مَنِ المُتَكَلِّمُ» قَالَ: أَنَا، قَالَ: «رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ».
“Suatu hari kami shalat di belakang Nabi ﷺ, ketika beliau mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau mengucapkan: ‘Sami’allahu liman hamidah’, lalu seorang lelaki di belakangnya berkata: ‘Rabbana wa lakal hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi.’ Ketika selesai shalat, Nabi ﷺ bertanya: ‘Siapa yang mengucapkan itu?’ Orang itu menjawab: ‘Saya.’ Beliau bersabda: ‘Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berebutan untuk menuliskannya pertama kali.'”
فهذا صحابي يدعو بما لم يَسبق بخصوصه بيان نبوي، فيُقِرُّه النبي صلى الله عليه وآله وسلم ولم يُنكر عليه، بل بشَّره بأنه رأى الملائكة يتنافسون على كتابتها.
Ini menunjukkan bahwa seorang sahabat mengucapkan doa yang belum ada ketentuan sebelumnya secara khusus dari Nabi ﷺ, dan beliau ﷺ mengakuinya serta tidak mengingkarinya, bahkan beliau ﷺ memberikan kabar gembira bahwa para malaikat berebut untuk menulis doa tersebut.
ولا يُقال: إن هذا كان وقت تشريع والنبي صلى الله عليه وآله وسلم معهم يرشدهم، أما الآن فلا؛ وذلك لأنه لم ترد في سياق الحديث أيُّ قرينة تشير إلى ذلك: حالية أو مقالية،
Tidak dikatakan bahwa itu terjadi hanya pada masa tasyri’ (masa turunnya syariat) dan Nabi ﷺ masih ada bersama mereka untuk mengarahkan mereka. Sebab dalam konteks hadits ini tidak ada petunjuk (qarinah) yang mengindikasikan hal itu, baik berupa keterangan berupa tindakan maupun verbal
فالحالية؛ كغضب من النبي صلى الله عليه وآله وسلم يصفه راوي هذا الحديث من تجرؤ هذا الصحابي الإتيان بذكر لم يُعلِّمه إياه رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم.
Contoh keterangan berupa tindakan, misalnya, seperti marahnya Nabi ﷺ sebagaimana dijelaskan oleh perawi hadits ketika sahabat berani mengucapkan dzikir yang tidak diajarkan oleh Rasulullah ﷺ.
والمقالية؛ كقوله صلى الله عليه وآله وسلم: أحسنت ولا تعد.
Verbalnya, misalnya ucapan beliau ﷺ: “Bagus, tapi jangan ulangi lagi.”
قال الحافظ ابن حجر في “فتح الباري” (٢/ ٢٨٧، ط. دار المعرفة) :
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam “Fathul Baari” (2/287, cet. Dar al Ma’rifah) :
واستدل به على جواز إحداث ذكر في الصلاة غير مأثور إذا كان غير مخالف للمأثور] اهـ.
“Hadits ini dijadikan dalil akan diperbolehkannya mengucapkan dzikir yang tidak ada atsar (ma’tsur dari Nabi) dalam shalat selama tidak bertentangan dengan yang ada dalam atsar (ma’tsur).” Selesai.
حكم فعل ما لم يفعله رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم
Hukum Melakukan Sesuatu yang Tidak Dilakukan oleh Rasulullah ﷺ
ولا يُعترض على ذلك بأن النبي صلى الله عليه وآله وسلم لم يفعل هذا الأمر، وهو قول: (صدق الله العظيم)؛ لأن مجرد الترك لا يقتضي حرمة بمفرده، ولا بد معه من دليل آخر،
Tidak dapat diajukan keberatan bahwa Nabi ﷺ tidak melakukan hal ini – yaitu mengucapkan “Shadaqallahul ‘Azhim”. Sebab, tidak dilakukannya suatu perbuatan oleh Nabi ﷺ tidak serta merta menjadikan perbuatan tersebut haram secara langsung, melainkan harus ada dalil lain yang mendukungnya (pengharaman tersebut)
والمقرر أن ترك النبي صلى الله عليه وآله وسلم لأمر من الأمور لا يدلُّ بالضرورة على تحريمه؛ فقد يتركه صلى الله عليه وآله وسلم لأنه حرام، وقد يتركه لأنه مكروه، وقد يتركه لأنه خلاف الأولى، وقد يتركه لمجرد أنه لا يميل إليه؛ كتركه أكل الضب مع أنه مباح، ومن ثَمَّ فليس مجرد الترك بحجة في المنع.
Sudah dipahami bahwa jika suatu hal tidak dilakukan oleh Nabi ﷺ , tidak selalu berarti hal tersebut dilarang. Nabi ﷺ mungkin meninggalkannya karena memang haram, bisa juga karena makruh, bisa juga karena kurang diutamakan, atau hanya karena beliau tidak menyukainya. Sebagai contoh, beliau tidak memakan daging dhab (sejenis kadal), meskipun itu halal. Oleh karena itu, tidak dilakukannya suatu amalan oleh Nabi ﷺ bukanlah hujah untuk melarangnya.
ومما يستأنس به أيضًا من كلام العلماء في هذه المسألة: ما ذكره الإمام القرطبي في مقدمة “تفسيره” أن الحكيم الترمذي تحدث عن آداب تلاوة القرآن الكريم وجعل منها: أن يقول عند الانتهاء من تلاوته: (صدق الله العظيم)، أو ما يؤدي هذا المعنى.
Salah satu rujukan pendapat ulama dalam masalah ini adalah yang disebutkan oleh Imam al Qurthubi dalam pengantar “Tafsirnya” bahwa al Hakim at Tirmidzi membahas tentang adab dalam membaca Al Quran, dan di antara adab tersebut adalah mengucapkan “Shadaqallahul ‘Azhim” setelah selesai membacanya atau ungkapan yang semakna.
ونص عبارته في “الجامع لأحكام القرآن” (١/ ٢٧-٢٨، ط. دار الكتب المصرية، القاهرة):
Teks pernyataan tersebut dalam “Al Jami’ li Ahkam al Qur’an” (1/27-28, cet. Dar al Kutub al Misاriyyah, Kairo):
ومن حرمته -أي القرآن- إذا انتهت قراءتُهُ أن يُصَدِّقَ ربَّهُ، ويشهد بالبلاغ لرسوله صلى الله عليه وآله وسلم، ويشهد على ذلك أنه حق، فيقول:
“Dan di antara penghormantan (terhadap Al Quran) – adalah jika pembacaannya selesai – hendaknya ia membenarkan Robbnya, bersaksi bahwa Rasul-Nya ﷺ telah menyampaikan, dan menyatakan kebenarannya, dengan mengatakan: ‘
صَدَقْتَ ربنا وبلَّغَتْ رُسُلُك، ونحن على ذلك من الشاهدين. اللهم اجعلنا من شهداء الحق القائمين بالقسط، ثم يدعو بدعوات اهـ.
Engkau benar, ya Tuhan kami, dan Rasul-Mu telah menyampaikan. Kami menjadi saksi atas kebenaran itu. Ya Allah, jadikanlah kami termasuk para saksi kebenaran dan orang-orang yang menegakkan keadilan.’ Lalu ia berdoa dengan doa-doa tertentu.” Selesai.
الخلاصة
Kesimpulan
بناءً على ما سبق: فإن قول: (صدق الله العظيم) بعد قراءة القرآن جائزٌ شرعًا ولا شيء فيه، بل هو من جملة المستحبات.
Berdasarkan uraian di atas: mengucapkan “Shadaqallahul ‘Azhim” setelah membaca Al Quran adalah diperbolehkan secara syar’i dan tidak ada masalah dalam hal ini, bahkan termasuk di antara amalan-amalan yang dianjurkan.
والله سبحانه وتعالى أعلم.
Leave a Reply