Kaidah Hadzf dan Idhmar dalam Kalam al Quran (2)



Kaidah Hadzf dan Idhmar dalam Kalam al Quran (Bagian Kedua)

Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu

Dari Kitab : قواعد الترجيح عند المفسرين دراسة نظرية تطبيقية

Artikel Kaidah Hadzf dan Idhmar dalam Kalam al Quran ini masuk dalam Kategori Nahwu

وأمّا الذي يعنينا في هذه القاعدة فهو ما سوى ذلك – أعني سوى ما دلّ الدليل على حذفه –

Adapun yang menjadi perhatian kita dalam kaidah ini adalah selain dari hal tersebut – maksudnya, selain dari apa yang terdapat petunjuk atas penghapusannya.

فإذا لم يقم دليل على الحذف، فلا تصح دعواه، لما فيه من مخالفة الأصل دون دليل، ومثل هذا لا يرد في كلام العرب، ولا يحسن فيه، وإلا كان فيه ضرب من تكليف علم الغيب معرفته (١).

Maka, jika tidak ada petunjuk atas penghapusan, klaim penghapusan tersebut tidaklah sah, karena hal itu menyelisihi asal tanpa adanya bukti. Hal semacam ini tidak terdapat dalam ujaran orang Arab, dan tidak dianggap baik di dalamnya. Jika hal itu terjadi, maka hal tersebut akan menyerupai tuntutan untuk mengetahui hal-hal gaib yang tidak bisa diketahui

قال العز بن عبد السلام: … والعرب لا يحذفون ما لا دلالة عليه ولا وصلة إليه؛ لأن حذف ما لا دلالة عليه مناف لغرض وضع الكلام من الإفادة والإفهام .. اه‍ (٢).

Al-‘Izz bin ‘Abdus Salam berkata: “… Orang Arab tidak menghapus sesuatu yang tidak memiliki petunjuk atasnya atau tidak memiliki kaitan dengannya, karena menghapus sesuatu yang tidak memiliki petunjuk bertentangan dengan tujuan ujaran yang berupa memberi manfaat dan pemahaman.”

وهو – أيضا – لا يرد في كلام من يريد البيان والهدى، فإن الإضمار إذا سلط‍ على الكلام أفسد التخاطب وأبطل التكاليف،

Hal ini juga tidak terjadi dalam ujaran orang yang menginginkan penjelasan dan petunjuk, karena jika penghilangan implisit diberlakukan pada ujaran, hal itu akan merusak komunikasi dan membatalkan kewajiban-kewajiban.

ولم يفهم أحد مراد أحد، إذ يمكنه أن يضمر كلمة تغيّر المعنى، ولا يدل المخاطب عليها، وباب الإضمار لا ضابط‍ له فكل من أراد إبطال كلام متكلم ادعى فيه إضمارا يخرجه عن ظاهره،

Tidak seorang pun akan memahami maksud orang lain, karena seseorang bisa saja menyiratkan suatu kata dengan makna yang berubah, tanpa memberi petunjuk kepada pendengar. Akibatnya pintu penghilangan implisit ini tidak memiliki batasan yang jelas; setiap orang yang ingin membatalkan ujaran orang lain bisa saja mengklaim adanya idhmar (sesuatu yang tersirat) yang mengubah makna dan menjadi bertentangan dengan apa yang tampak.

وبمثل هذا حرفت كثير من النصوص من قبل المبتدعة والباطنية والزنادقة، فمثل هذا الإضمار باطل، يعلم انتفاؤه قطعا (٣).

Dengan cara seperti inilah banyak teks telah diselewengkan oleh kelompok bid’ah, kaum Bathiniyah, dan orang-orang zindiq. Maka, penghilangan implisit seperti ini batil dan diketahui kebatilannya secara pasti

ومنه – أعني مما يعنينا في القاعدة – إذا احتمل الكلام الإضمار وعدمه، فحمله على عدم الإضمار أولى، لموافقته الأصل، وظاهر الخطاب؛ ولأنه هو الموافق لقصد البيان والهدى.

Termasuk hal yang menjadi perhatian kita dalam kaidah ini adalah: jika suatu ujaran memungkinkan untuk dpahami dengan atau tanpa penyiratan sesuatu, maka memahaminya tanpa melakukan penyiratan lebih utama, karena sesuai dengan asal dan makna zhahir dari ujaran tersebut, serta lebih sesuai dengan tujuan penjelasan dan petunjuk.

قال العلاّمة ابن القيم: النوع الثالث -[أي من أنواع الإضمار]- كلام يحتمل الإضمار ويحتمل عدمه

Al-‘Allamah Ibnul Qayyim berkata: Jenis yang ketiga – [yaitu salah satu dari jenis-jenis penyiratan] – adalah ujaran yang memungkinkan adanya penyiratan, namun juga memungkinkan tidak adanya penyiratan tersebut.

فهذا إذا قام الدليل على أن المتكلم به عالم ناصح مرشد، قصده البيان والهدى والدلالة والإيضاح بكل طريق، وحسم مواد اللبس ومواقع الخطأ، وأن هذا هو المعروف المألوف من خطابه وأنه اللائق بحكمته لم يشك السامع في أن مراده ما دلّ عليه ظاهر كلامه، دون ما يحتمله باطنه من إضمار ما لم يجعل للسامع عليه دليلا، ولا له إلى معرفته سبيلا … اه‍ (١).

Dalam kasus seperti ini, jika terdapat bukti bahwa pembicara adalah seseorang yang mengetahui, jujur, memberikan petunjuk, memiliki tujuan untuk memberikan penjelasan, petunjuk, dan penjelasan yang jelas dengan segala cara, menutup celah kebingungan, dan menghindari kesalahan; serta bahwa hal ini merupakan kebiasaan dan gaya umum dari ucapannya, juga sesuai dengan hikmahnya, maka pendengar tidak akan ragu bahwa maksudnya adalah apa yang ditunjukkan oleh makna zahir dari ucapannya, dan bukan makna yang tersembunyi yang memerlukan penyiratan tanpa memberikan petunjuk kepada pendengar atau cara baginya untuk mengetahuinya — selesai kutipan dari Ibnu Qayyim —

Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah

 

 



Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.