Ya Untuk Ilmu dan Keilmiahan … Tidak Untuk Sekularisme (Bagian 1)



 نعم للعلم والعلمية.. ولا للعلمانية

Ya untuk Ilmu dan Keilmiahan .. Tidak untuk Sekularisme (Bagian Pertama)

Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu

Artikel Ya Untuk Ilmu dan Keilmiahan … Tidak Untuk Sekularisme ini termasuk dalam Kategori Tsaqafah Islamiyah

أكد الدكتور يوسف القرضاوي أن بعض العلمانيين انتهز فرصة الترجمة الخاطئة لكلمة “العلمانية”، محاولين أن يجعلوها مرادفة لـ “العلمية”، وقالوا: إن العلمانية تعني استخدام العلم والعقل، موهمين بذلك ـ أو مصرحين ـ بأن الإسلام ضد العقل والعلم !

Dr. Yusuf al-Qaradawi menegaskan bahwa sebagian kaum sekularis memanfaatkan kekeliruan dalam menerjemahkan istilah العلمانية (‘almaniyah/sekularisme), dan mencoba menyamakan maknanya dengan العلمية (‘ilmiyyah/keilmiahan). Mereka mengatakan bahwa sekularisme berarti menggunakan ilmu dan akal, yang dengan itu mereka menyiratkan — atau secara terang-terangan menyatakan — bahwa Islam menentang akal dan ilmu !

وهذه مغالطة مكشوفة، فإن البون شاسع بين العلمية والعلمانية، ونحن نقول: “نعم” للأولى، و”لا” للثانية.

Ini adalah kekeliruan yang nyata, karena terdapat perbedaan besar antara keilmiahan dan sekularisme. Kami katakan: “Ya” untuk keilmiahan, dan “Tidak” untuk sekularisme.

جاء ذلك ردا على سؤال تلقاه فضيلته، مفاده: يرى بعض الناس أن العلمانية تكمن محاسنها في أنها تقدر العلم وتثمنه وتدعو إليه، وأن الإسلام ضد العلم، وأنه لا يؤيد العلم، بل يرد ويرفضه، ويقف منه موقفا معاديا. فهل صحيح أن الإسلام لا يقدر العلم ولا يدعو إليه؟ وهل صحيح أن بعض مقررات العلم القطعية تصطدم مع مقررات الشرع الحنيف؟

Hal ini disampaikan beliau sebagai respons terhadap anggapan sebagian orang bahwa sekularisme memiliki kelebihan karena menghargai ilmu, mengapresiasi, dan menyerukan pentingnya ilmu pengetahuan. Mereka mengklaim bahwa Islam menolak ilmu, tidak mendukungnya, bahkan menolaknya dan bersikap memusuhinya. Mereka juga mempertanyakan apakah benar Islam tidak menghargai ilmu dan tidak mendorong umatnya untuk menuntut ilmu, dan apakah benar sebagian ketetapan ilmiah yang pasti bertentangan dengan ketetapan syariat Islam?

—-

بسم الله، والحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وبعد:

Dengan menyebut nama Allah, segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah. Amma ba’du:

انتهز بعض العلمانيين فرصة الترجمة الخاطئة لكلمة “العلمانية”، محاولين أن يجعلوها مرادفة لـ “العلمية”، وقالوا: إن العلمانية تعني استخدام العلم والعقل، موهمين بذلك ـ أو مصرحين ـ بأن الإسلام ضد العقل والعلم!

Sebagian kaum sekularis memanfaatkan kesalahan dalam menerjemahkan kata العلمانية , dan mencoba menyamakannya dengan العلمية. Mereka mengatakan bahwa sekularisme berarti menggunakan ilmu dan akal, dengan menyiratkan atau bahkan secara jelas menyatakan bahwa Islam menentang akal dan ilmu!

وهذه مغالطة مكشوفة، فإن البون شاسع بين العلمية والعلمانية، ونحن نقول: “نعم” للأولى، و”لا” للثانية.

Ini adalah kekeliruan yang jelas, karena terdapat perbedaan besar antara keilmiahan dan sekularisme. Maka kami katakan dengan tegas: “Ya” untuk keilmiahan, dan “Tidak” untuk sekularisme.

“العلمية” وجهة تنتسب إلى العلم، وتحتكم إليه، في كل مجالات الحياة وشئونها، مادية وأدبية، مدنية وعسكرية، سياسية واقتصادية، فردية واجتماعية.

Keilmiahan adalah suatu pendekatan yang berpijak pada ilmu dan tunduk pada ketetapannya, dalam seluruh aspek kehidupan: baik yang bersifat materi maupun nilai, sipil maupun militer, politik maupun ekonomi, pribadi maupun sosial.

“والعلميون” من الناس، هم الذين يتبنون هذه الوجهة، فيحترمون ما يقرره العلم، وينزلون على حكمه، ويكيفون حياتهم وفقا لمقتضاه. أما غيرهم، فيمضون في طريقهم، تبعا للأهواء والعواطف “الشخصية” أو “الحزبية” أو للافتراضات والأوهام، أو تقليدا لغيرهم، دون فحص ولا اختبار.

Orang-orang ilmiah adalah mereka yang mengambil pendekatan ini; mereka menghormati apa yang ditetapkan oleh ilmu, tunduk pada hukumnya, dan menyesuaikan hidup mereka dengan tuntutannya. Adapun selain mereka, mengikuti jalan hidup berdasarkan hawa nafsu, emosi pribadi atau kepentingan golongan, asumsi-asumsi dan khayalan, atau semata-mata meniru orang lain tanpa penyelidikan dan pengujian.

ونريد بـ “العلم” هنا، ما قامت عليه الأدلة القاطعة، فكم من القضايا أدخلت تحت عنوان “العلم”، وهي ليست من العلم في شيء.

Yang kami maksud dengan “ilmu” di sini adalah ilmu yang didasarkan pada dalil-dalil yang pasti. Karena banyak perkara yang dimasukkan ke dalam kategori ilmu padahal sejatinya tidak termasuk ilmu sama sekali.

ومن ذلك كثير من نتائج العلوم الإنسانية والاجتماعية، التي يريد بعض دارسيها أن يلبسوها ثوب العلم اليقيني، وهي ليست أكثر من استنتاجات، مبنية على مقدمات غير يقينية، قد يقبل بعضها، ويرفض بعضها، وقد ترفض كلها. ولا أدل على ذلك من اختلاف النتائج، باختلاف المدارس الفكرية، التي ينتمي إليها الباحثون، ما بين شرق وغرب، وما بين يمين ويسار، يختلف كل منهما في درجاته من يمين اليمين إلى يسار اليسار!

Termasuk dalam hal ini adalah banyak hasil dari ilmu-ilmu kemanusiaan dan sosial, yang sebagian pelajarnya ingin membungkusnya dengan jubah ilmu yang pasti, padahal itu hanyalah hasil-hasil kesimpulan yang dibangun atas dasar premis-premis yang tidak pasti. Sebagian mungkin bisa diterima, sebagian lagi ditolak, atau bahkan semuanya bisa tertolak. Buktinya adalah perbedaan hasil yang mencolok akibat perbedaan mazhab pemikiran para peneliti, dari Timur hingga Barat, dari Kanan hingga Kiri — dengan segala tingkatannya — mulai dari kanan ekstrem hingga kiri ekstrem !

وما أجدر أن يطبق على هؤلاء، الذين يدعون العلمية، فيما ليس بعلمي، ما قاله الله في قوم قبلهم :

Sangat layak untuk diterapkan kepada mereka yang mengklaim keilmiahan dalam hal-hal yang bukan bagian dari ilmu, firman Allah terhadap kaum sebelum mereka:

{وَمَا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا} (سورة النجم:٢٨).

“Dan mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang itu. Mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan sesungguhnya persangkaan itu tidak berguna sedikit pun terhadap kebenaran.” (Surah an-Najm ayat 28).

ونحن المسلمين أولى الناس باحترام “العلم”، وتبني “العلمية” في كل أمورنا، فالدين عندنا علم، والعلم عندنا دين. ولم يعرف تراثنا صراعا بين الدين والعلم، كما عرفه الغرب، الذي أدار رحى الحرب بينهما قرونا، كان من آثارها محاكم التفتيش وأهوالها، التي يندى لها جبين التاريخ.

Kitalah — kaum Muslimin — yang paling layak untuk menghormati ilmu dan mengadopsi pendekatan keilmiahan dalam segala urusan kita. Sebab dalam pandangan kita, agama adalah ilmu, dan ilmu adalah bagian dari agama. Warisan keilmuan kita tidak pernah mengenal konflik antara agama dan ilmu sebagaimana yang terjadi di Barat, yang menjalankan roda permusuhan antara keduanya selama berabad-abad. Dampaknya adalah munculnya Pengadilan Inkuisisi beserta segala kengerian yang mencoreng wajah sejarah.

ومعجزة نبي الإسلام لم تكن “آية كونية”، تخضع لها الأعناق مقهورة، بل “آية علمية” تذعن لها العقول مقتنعة، وهي القرآن الكريم. ولما طلب مشركو العرب من النبي صلى الله عليه وسلم أن تكون له آية حسية، كما كان للأنبياء من قبله، كان الرد الإلهي عليهم

Mukjizat Nabi Islam bukanlah berupa “tanda-tanda alam semesta” yang memaksa leher-leher untuk tunduk secara terpaksa, tetapi berupa “tanda ilmiah” yang membuat akal tunduk dengan penuh keyakinan — yaitu Al-Qur’an al-Karim. Ketika orang-orang musyrik Arab meminta kepada Nabi Muhammad agar diberi mukjizat yang bersifat inderawi sebagaimana para nabi sebelumnya, maka datanglah jawaban dari Allah :

{أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ} (سورة العنكبوت:٥١).

“Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) yang dibacakan kepada mereka?” (Surah al-‘Ankabut ayat 51).

Bersambung ke Bagian Berikutnya in sya Allah

Sumber : Qaradawi.Net



Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.