Mutlaq, Muqayyad, Manthuq dan Mafhum (1)



Mutlaq, Muqayyad, Manthuq dan Mafhum (Bagian 1)

Tulisan Mutlaq, Muqayyad, Manthuq dan Mafhum Ini Bagian Pertama dari Dua Tulisan di kategori Balaghah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an kaya akan makna. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, kita harus dapat mengetahui kaedah-kaedahnya. Apalagi untuk menetapkan suautu hukum. Dalam ilmu ushul fiqh, pemaknaan lafal Al-Qur’an yang digunakan untuk menentukan suatu hukum ada empat, yaitu mutlaq, muqayyad, mantuq, dan mafhum.

B. Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makaqlah ini selain untuk memenuhi tugas mata kuliah ilmu ushul fiqh, juga agar mahasiswa mampu mengetahui pemaknaan lafal ayat Al-Qur’an yang akan dijadikan hujjah suatu hukum dari mutlaq, muqayyad, mantuq, dan mafhum, serta mengetahui bentuk dan pembagian mutlaq, muqayyad, mantuq, dan mafhum.

C. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan mutlaq, muqayyad, mantuq, dan mafhum ?
2. Bagaimana bentuk mutlaq dan muqayyad ?
3. Apa saja jenis-jenis mamntuq dan mafhum ?

BAB II
PEMBAHASAN
MUTLAQ & MUQAYYAD, MANTUQ & MAFHUM

A. Mutlaq dan Muqayyad

1. Pengertian Mutlaq

Kata mutlaq secara bahasa, berarti tidak terkait dengan ikatan atau syarat tertentu. Secara istilah, lafal mutlaq didefinisikan ahli ushul fiqh sebagai lafal yang memberi petunjuk terhadap maudhu’-nya (sasaran penggunaan lafal) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya. Sedangkan Abdul Karim Zaidan mendefinisikan lafal mutlak sebagai lafal yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya. Dengan kata lain, lafal mutlak adalah lafal yang menunjukkan untuk suatu satuan tanpa dijelaskan secara tertentu. Misalnya, rajulun (seorang laki-laki), rijalun, (banyak laki-laki), kitabun (buku).

Contoh lafal mutlaq dalam nash dapat diamati dari lafal raqabah yang terdapat dalam firman Allah surat al-Mujadalah, 58:3:

Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekan seseorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercambur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ayat ini menjelaskan tentang kaffarat zihar bagi suami yang menyerupakan isterinya dengan ibunya dengan memerdekannya budak. Ini dipahami dari ungkapan ayat “maka merdekakanlah seorang budak” Mengingat lafal raqabah (budak) merupakan lafal mutlaq, maka perintah untuk membebaskan budak sebagai kaffarat zihar tersebut meliputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin atau yang kafir. Pemahaman ini didukung pula pemakaian kata raqabah pada ayat di atas merupakan bentuk nakirah dalam konteks positif.

2. Pengertian Muqayyad
Secara bahasa, kata muqayyad berarti terikat. Sementara secara istilah, muqayyad adalah lafal yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya yang dikaitkan dengan sifat tertentu. Misalnya, ungkapan rajulun Iraki (seorang laki-laki asal Irak), hamba sahaya yang beriman.

Contoh : Firman Allah surat an Nisa’, ayat 92

ﻣﻦﻗﺘﻞﻣﺆﻣﻨﺎﻓﺘﺤﺮﻳﺮﺭﻗﺒﺔﻣﺆﻣﻨﺔ

Barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.

Kata raqabah dalam ayat ini memakai qayyid dalam bentuk sifat, yaitu, mu’minah (beriman). Jadi, ayat ini memerintahkan kepada orang yang membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja untuk memerdekan hamba sahaya yang beriman dan tidak sah memerdekan hamba yang tidak beriman.

Dari penjelasan sebelumnya diketahui bahwa perbedaan antara mutlaq dengan muqayyad, bahwa mutlaq menunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu keterangan yang mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah. Misalnya, lafal raqabah yang terdepat dalam surat al-Mujadalah, 58:3 di atas adalah bentuk mutlaq karena tidak diikuti sifat apapun. Jadi, ayat ini memerintahkan memerdekakan budak dalam bentuk apapun, baik mukmin atau bukan mukmin.

Sementara muqayyad menunjuk kepada hakikat sesuatu, tetapi mempertimbangkan beberapa hal, yaitu jumlah (kuantitas), sifat atau keadaan, seperti pada contoh di atas.

3. Bentuk-bentuk Mutlaq dan Muqayyad

Kaidah lafazh mutlaq dan Muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:

  1. Suatu lafazh dipakai dengan mutlaq pada sauatu nash, sedangkan pada nash lain digunakan dengan muqayyad; keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergantung pada sebab hukum.
  2. Lafazh mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.
  3. Lafazh mutlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya ataupun sebab hukumnya.
  4. Mutlaq muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya salam.
  5. Mutlaq dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.

4. Hukum Lafadh Mutlaq dan Muqayyad

Pada prinsipnya para ulama sepakat bahwa hukum lafazh mutlaq itu wajib diamlkan kemutlakannya, selama tidak ada dalik yang membatasi kemutlakannya. Begitu juga hukum lafazh muqayyad itu berlaku pada kemuqayyadannya. Yang menjadi persoalan di sini adalah mutlaq dan muqayyad yang terbentuk pada lima bentuk tersebut, ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Yang disepakati ialah:

  1. Hukum dan sebabnya sama, di sini para ulama sepakat bahwa wajibnya membaawa lafazh mutlaq kepada muqayyad.
  2. Hukum dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat wajibnya memberlakukan masing-masing lafazh, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan muqayyad tetap pada kemuqayyadannya.
  3. Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk ini, para ulama sepakat pula bahwa tidak boleh membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad, masing-masing tetap berlaku pada kemutlakannya dan kemuqayyadannya.

5. Hal-hal yang Diperselisihkan dalam Mutlaq dan Muqayyad

  1. Kemutlaqan dan kemuqayyadan terdapat pada sebab hukum. Namun, masalah (maudu’) dan hukumnya sama. Menurut Jumhur Ulama dari kalangan Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanafiyah, dalam masalah ini wajib membawa mutlaq kepada muqayyad.
  2. Mutlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya, namun sebabnya berbeda. Masalah ini juga diperselisihkan. Menurut Ulama Hanafiyah tidak boleh membawa mutlaq pada muqayyad, melainkan masing-masingnya berlaku sesuai dengan sifatnya.

Alasan Masing-masing Golongan

a. Alasan Hanafiyah

Merupakan suatu prisip bahwa kita melaksanakan adalah lafazh atas semua hukum yang dibawa saja, sesuai dengan sifatnya, sehingga lafazh muthlaq tetap pada kemuthlaqannya dan lafazh muqayyad tetap pada kemuqayyadannya. Tiap-tiap nash merupakan hujjah yang berdiri sendiri. Pembatasan terhadap keluasan makna yang terkandung pada mutlaq tanpa dalil dari lafazh itu sendiri berarti mempersempit yang bukan dari perintah syara’. Berdasarkan pada ini, lafazh muthlaq tidak bisa dibawa pada muqayyad, kecuali apabila terjadi saling menafikan antara dua hukum, yakni sekiranya mengamalkan salah satunya membawa pada tanaqud (saling bertentangan). (Al-Bazdawy, 1307, II:290)

b. Alasan Jumhur

Al-Qur’an itu merupakan kesatuan hukum yang utuh dan antara satu ayat dengan ayat lainnya berkaitan, sehingga apabila ada suatu kata dalam Al-Qur’an yang menjelaskan hukum berarti hukum itu sama pada setiap tempat yang terdapat kata itu. (Asy-Syafi’i). Alasan kedua, muqayyad itu harus menjadi dasar untuk menafikan dan menjelaskan maksud lafazh mutlaq. Sebab mutlaq itu kedudukannya bisa dikatakan sebagai orang dian, yang tidak menyebut qayyi. Di sini ia tidak menunjukkan adanya qayyid, dan tidak pula menolaknya, sedangkan muqayyid sebagai orang yang berbicara, yang menjelaskan adanya taqyid. Di sini tampak jelas adanya kewajiban memakai qayyid ketika adanya dan menolaknya apabila tidak adanya. Sehingga kedudukannya sebagai penafsir. Oleh sebab itu, ia lebih baik dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan maksud mutlaq. (Al-Amidi, 1968, II : 112).(rachmat Syafi’I,2007.212)

Bersambung ke Bagian Berikutnya : Mantuq dan Mafhum

 



Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.