Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
membacakan do'a dalam bahasa Arab. Sebenarnya, kebanyakan dari mereka yang berkumpul itu tidak tahu bagaimana cara berdo'a, tetapi tuanrumah selalu memastikan bahwa seseorang yang bisa membaca do'a hadir di situ. Pada peristiwa khusus, ia malah bisa mengundang modin, ahli agama desa yang resmi, untuk membaca do'a. Akan tetapi, ia biasanya hanya akan mengundang seorang teman yang dia tahu telah belajar di pesantren beberapa lama dan bisa membaca do'a Arab yang pendek-pendek (tetapi yang artinya, ia hampir tidak pernah bisa mengerti). Yang biasa digunakan adalah fragmen-fragmen dari Al Gur'an, seringkali Al-Fatihah, do'a pendek yang mengawali Al Gur'an, meski beberapa orang mungkin saja tahu do'a-do'a khusus. Pemimpin do'a membaca do'a atau ayat Al Gur'an, sementara tamu-tamu yang lain duduk dengan tapak tangan mereka menadah ke atas, mengarah ke langit serta wajah-wajah mereka pun menengadah pula seperti sedang menunggu anugerah Tuhan: atau, sebagai gantinya, mereka menatap tapak tangan masing-masing dan bahkan bisa membenamkan wajah mereka ke dalamnya. Pada tiap jeda do'a, mereka mengucapkan “amin”, dan bila semuanya selesai, mereka mengusap muka seperti sedang mencoba membangunkan diri dari tidur. Untuk jasanya, si pembaca do'a memperoleh bayaran dalam jumlah kecil, yang disebut wajib. Setelah upacara pembukaan selesai, irama datar do'a Arab telah mengimbangi sambutan bahasa Jawa yang iramanya mekanik dan tetap, maka suguhan hidangan pun dimulai. Setiap yang hadir (kecuali tuanrumah, yang tidak makan) menerima secangkir teh dan piring dari daun pisangyang berisikan setiap macam pangan yang dihidangkan di tengah tikar. Makanan itu jauh lebih baik dari makanan sehari-hari: biasanya ada beberapa macam daging, ayam atau ikan basah, ditambah aneka warna makanan yang dibuat dari beras atau bubur, masing-masing mengandung arti yang masih atau sudah tak diingat lagi oleh hadirin. (Dalam menyampaikan ujub seringkali tuanrumah menguraikan arti tiap makanan sebagai bagian dari pernyataannya tentang niat upacara itu). Hidangan itu tidak disuguhkan oleh tuanrumah, melainkan oleh seorang atau dua orang dari para tamu yang maju ke tengah lingkaran untuk mengisi berbagai piring. Bila setiap orang sudah memperoleh piring yang telah diisi, tuanrumah mempersilahkan mereka makan. Mereka pun menyuap nasi dan daging dengan tangan, makan dengan bergegas, tanpa bersuara—karena berbicara sambil makan dianggap membawa sial.