Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
Karena itu, tidak boleh Allah ﷻ dipanggil dengan sebutan “al-Mukhādi‘ (Yang menipu)”, “al-Mākir (Yang membuat tipu daya)”, “an-Nāsī (Yang melupakan)”, “al-Mustahzi’ (Yang mengejek)”, dan semisalnya yang Allah Mahasuci dari sifat-sifat itu. Tidak boleh pula dikatakan: Allah menipu, Allah memperdaya, Allah membuat tipu daya, Allah melupakan, secara mutlak tanpa pembatasan. Orang-orang yang memasukkan sebutan-sebutan ini ke dalam asmaul husna telah melakukan kesalahan besar. Sebab, sifat seperti tipu daya dan makar terkadang bernilai pujian, tetapi juga terkadang bernilai celaan. Karena itu, tidak boleh disandarkan kepada Allah kecuali dengan pembatasan yang menghilangkan kemungkinan makna tercela, sebagaimana yang datang dalam ayat.
Oleh sebab itu, tidak terdapat dalam asmaul husna sebutan seperti: “al-Mutakallim (Yang berbicara)”, “al-Murīd (Yang berkehendak)”, “al-Fā‘il (Yang melakukan)”, atau “ash-Shāni‘ (Yang membuat)”. Sebab, makna kata-kata tersebut bisa mencakup yang terpuji maupun yang tercela. Jika dibolehkan membuat nama dari setiap perbuatan Allah di dalam Al-Quran, maka niscaya akan bisa dimasukkan juga nama-nama seperti: ad-Dā‘ī (Yang memanggil), al-Ātī (Yang datang), al-Jā’ī (Yang mendatangi), adz-Dzāhib (Yang pergi), al-Qādim (Yang datang), an-Nāsī (Yang melupakan), al-Qāsim (Yang membagi), as-Sākhith (Yang murka), al-Ghadbān (Yang marah), al-Lā‘in (Yang melaknat), dan seterusnya. Padahal itu semua tidak termasuk asmaul husna meskipun bentuk fi‘ilnya ada dalam Al-Quran.
Sesungguhnya Allah tidak menyifati diri-Nya dengan tipu daya, makar, dan tipu menipu kecuali dalam konteks pembalasan terhadap orang-orang yang melakukannya tanpa hak. Jika perbuatan balasan semacam itu saja dianggap terpuji pada makhluk, maka bagaimana lagi pada Sang Khaliq Yang Mahasempurna?
Di antara nama-nama Allah ﷻ juga terdapat yang tidak boleh disebutkan sendirian karena dapat menimbulkan kesan kekurangan, melainkan harus digandengkan dengan lawannya. Contohnya adalah: “al-Māni‘ (Yang menahan)”, “ad-Dhārr (Yang memberi mudarat)”, “al-Qābid (Yang menyempitkan)”, “al-Mudzill (Yang menghinakan)”, dan “al-Khāfid (Yang merendahkan)”. Nama-nama ini tidak boleh dilekatkan pada Allah secara sendiri-sendiri, tetapi harus digandengkan dengan pasangannya, seperti: “al-Mu‘thī al-Māni‘ (Yang memberi dan menahan)”, “ad-Dhārr an-Nāfi‘ (Yang memberi mudarat dan manfaat)”, “al-Qābid al-Bāsith (Yang menyempitkan dan melapangkan)”, “al-Mu‘izz al-Mudzill (Yang memuliakan dan menghinakan)”, serta “al-Khāfid ar-Rāfi‘ (Yang merendahkan dan meninggikan)”.
Demikian pula dengan nama “al-Muntaqim (Yang Maha Membalas)”. Nama ini dalam Al-Quran tidak pernah datang kecuali digandengkan dengan lafazh “Dzu” (pemilik), seperti dalam firman-Nya:
﴿وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ﴾
“Dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai pembalasan.” (Surah Al-Maidah: 95)
Atau datang dalam bentuk terikat dengan objek tertentu, yaitu kaum yang berdosa, sebagaimana firman-Nya:
﴿إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنْتَقِمُونَ﴾
“Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (Surah As-Sajdah: 22)