Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
b. Kelompok yang menetapkan nama-nama Allah namun menolak sifat-sifat-Nya. Mereka berkata: Allah itu “Al-Hayy” (Maha Hidup) tanpa kehidupan, “Al-‘Alim” (Maha Mengetahui) tanpa ilmu, dan seterusnya.
Kepada mereka dikatakan: tidak ada perbedaan antara menetapkan nama-nama Allah dan menetapkan sifat-sifat-Nya. Jika kalian berkata bahwa menetapkan sifat hidup, ilmu, dan kuasa mengharuskan tasybih (penyerupaan) atau tajsim (penjisman), karena kita tidak mendapati sesuatu yang memiliki sifat itu kecuali ia berupa jasad, maka kami katakan: demikian pula halnya dengan nama-nama. Kita tidak mendapati sesuatu yang dinamai “hidup”, “berilmu”, dan “berkuasa” kecuali ia berupa jasad. Maka berdasarkan logika kalian, seharusnya nama-nama Allah juga dinafikan. Jika kemudian kalian berkata: nama-nama itu sesuai dengan kesempurnaan dan keagungan-Nya, maka kami jawab: demikian pula sifat-sifat-Nya.
c. Kelompok yang menolak nama-nama dan sifat-sifat sekaligus. Mereka beranggapan dengan menafikan semuanya, maka mereka menghindarkan Allah dari penyerupaan dengan sesuatu yang ada. Kepada mereka dikatakan: sebagaimana kalian menolak ilmu dan kehidupan Allah karena khawatir menyerupakan Allah dengan yang ada, maka berarti kalian justru menyerupakan Allah dengan sesuatu yang tidak ada. Karena hasil dari ucapan kalian sama saja dengan menjadikan Allah seperti sesuatu yang tiada (ma‘dum).
Kaidah Kedua: Pembahasan mengenai sifat Allah sama dengan pembahasan mengenai Dzat-Nya. (1)
Allah – Mahasuci Dia – memiliki Dzat yang tidak menyerupai dzat makhluk. Demikian pula sifat dan perbuatan-Nya, tidak menyerupai sifat dan perbuatan makhluk.
Maka siapa saja yang mengakui bahwa Allah itu benar-benar ada dalam kenyataan, dan bahwa Dzat-Nya mengandung seluruh sifat kesempurnaan dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya, ia juga harus mengakui bahwa pendengaran, penglihatan, dan kalam Allah yang benar-benar ada dalam kenyataan tidak menyerupai pendengaran, penglihatan, dan kalam makhluk.
Jika seseorang berkata: “Aku menafikan istiwa’-nya Allah (di atas ‘Arsy) karena khawatir menyerupakan Allah dengan makhluk,” maka kepadanya dikatakan: “Tolaklah keberadaan Allah dan Dzat-Nya sekalian, karena dengan alasan yang sama kamu juga bisa berkata bahwa keberadaan-Nya menyerupai keberadaan makhluk.” Jika ia menjawab: “Allah memiliki wujud khusus, dan Dzat khusus, yang tidak menyerupai dzat makhluk,” maka kita katakan: “Demikian pula halnya dengan sifat turun-Nya Allah, dan istiwa’-Nya di atas ‘Arsy.”
(1) Majmu‘ Fatawa Syaikhul Islam, 3/25.