Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
Hal ini karena penafian semata tidak mengandung pujian maupun kesempurnaan, kecuali apabila penafian itu mengandung penetapan. Sebab penafian yang murni hanyalah ketiadaan semata, dan ketiadaan bukanlah sesuatu yang layak dijadikan sifat.
Para ahli bid‘ah banyak berlebihan dalam penafian semata. Mereka mengatakan: Allah tidak berbicara, Allah tidak dapat dilihat, Allah tidak berada di atas alam. Bahkan sebagian mereka sampai berkata: Allah tidak berada di dalam alam, tidak pula di luar alam; tidak berbeda dari alam, tidak pula bercampur dengannya. Hingga ucapan batil ini menjadikan Allah seakan-akan tiada. Mahatinggi dan Mahasuci Allah dari ucapan mereka.
Sifat-sifat yang disebutkan dalam Al-Quran dan Sunnah adalah kebenaran yang wajib kita imani, meskipun kita belum sepenuhnya memahami maknanya.
Adapun lafaz yang dipakai manusia untuk menyifati Allah namun tidak terdapat dalam Al-Quran maupun Sunnah, yang diperselisihkan maknanya di antara manusia, maka tidak boleh kita tetapkan atau nafikan kecuali setelah jelas maksud orang yang mengucapkannya.
Misalnya, seseorang yang menafikan bahwa Allah berada di suatu “arah”. Kita perlu bertanya: apa maksudmu dengan arah? Jika maksudnya Allah berada di dalam langit, sehingga langit membatasi-Nya, maka tidak boleh dikatakan Allah berada di suatu arah. Tetapi jika maksudnya adalah Allah berada di atas makhluk-Nya, di atas seluruh langit, maka itu adalah kebenaran.
Demikian pula istilah “terhimpit” (taḥayyuz). Jika maksudnya Allah dibatasi oleh makhluk, maka ini batil secara mutlak. Tetapi jika maksudnya Allah terpisah dan berbeda dari makhluk, maka itu benar.
Kaedah ini dijelaskan oleh ulama besar, Syekh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi rahimahullah. Beliau menerangkan bahwa sumber musibah dalam masalah ini adalah hati yang ternodai oleh kotoran tasybih. Ketika hati yang terkena penyakit tasybih mendengar salah satu sifat kesempurnaan yang Allah tetapkan bagi diri-Nya—seperti sifat-Nya turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir, sifat istiwa’-Nya di atas ‘Arsy, sifat datang-Nya pada hari kiamat, dan sifat-sifat keagungan lainnya—maka yang pertama kali terlintas di benaknya adalah sifat itu menyerupai sifat makhluk.
Karena hatinya kotor dengan prasangka tasybih, ia tidak mampu mengagungkan Allah sebagaimana mestinya, tidak menempatkan Allah sesuai kedudukan-Nya yang agung. Sebaliknya, ia segera menyangka sifat Sang Pencipta serupa dengan sifat makhluk. Akibatnya, ia pertama kali menjadi seorang yang menyerupakan Allah dengan makhluk (musyabbih), lalu kemudian ia menolak sifat itu dari Allah dengan alasan menyerupai makhluk (mu‘atthil). Maka jadilah ia sejak awal hingga akhir menyerang Rabb semesta alam dengan menolak sifat-sifat-Nya, dengan alasan sifat itu tidak layak bagi-Nya.