Loading...

Maktabah Reza Ervani

15%

Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000



Judul Kitab : Al Aqidah fiLlah - Detail Buku
Halaman Ke : 182
Jumlah yang dimuat : 228
« Sebelumnya Halaman 182 dari 228 Berikutnya » Daftar Isi
Tabel terjemah Inggris belum dibuat.
Bahasa Indonesia Translation

Kaedah Ketujuh: Ayat-ayat Sifat Bukan Termasuk yang Mutasyabih

Syekh asy-Syinqithi rahimahullah menjelaskan bahwa banyak orang menyebut ayat-ayat sifat sebagai ayat mutasyabih. Pandangan ini salah dari satu sisi, dan bisa dimaklumi dari sisi lain, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Malik bin Anas rahimahullah. Beliau berkata: “Istiwa’ itu maknanya tidaklah samar, sedangkan bagaimana caranya tidak bisa dinalar. Bertanya tentangnya adalah bid‘ah, dan mengimaninya adalah wajib.”

Demikian pula pada sifat turun (nuzul): turun itu maknanya tidak samar, bagaimana caranya tidak bisa dinalar, bertanya tentangnya adalah bid‘ah, dan mengimaninya adalah wajib. Prinsip ini berlaku untuk semua sifat. Sebab, sifat-sifat tersebut telah dikenal dalam bahasa Arab, hanya saja sifat yang disandarkan kepada Pencipta langit dan bumi lebih sempurna, lebih mulia, dan lebih agung daripada menyerupai sifat-sifat makhluk. Sebagaimana Dzat Sang Pencipta itu nyata adanya, dan makhluk juga memiliki dzat, maka dzat Sang Pencipta jauh lebih sempurna, lebih suci, dan lebih agung daripada menyerupai dzat makhluk.

Kaedah Kedelapan: Zahir Sifat Bukanlah Tasybih Sehingga Perlu Ditakwil

Dalam ilmu ushul telah ditetapkan bahwa apabila suatu perkataan menunjukkan makna yang tidak mungkin dipahami kecuali dengan satu maksud, maka itu disebut nash. Misalnya firman Allah Ta‘ala:

﴿تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ﴾

“Itulah sepuluh yang sempurna.” (Surah Al-Baqarah: 196)

Namun, jika suatu perkataan memiliki lebih dari satu kemungkinan makna, maka ada dua kondisi: bisa jadi kedua makna sama-sama kuat, atau bisa jadi salah satunya lebih kuat dari yang lain.

Jika kedua makna sama kuatnya, maka itu disebut mujmal (global). Misalnya ucapan: “Kemarin malam para pencuri menyerang ‘ain Zaid.” Kata “‘ain” bisa bermakna matanya yang melihat, bisa bermakna mata airnya, atau bisa bermakna harta emas dan peraknya. Maka ini disebut mujmal, dan hukum mujmal adalah menunda penetapan makna kecuali ada dalil yang merinci.

Jika lafaz itu berupa nash yang jelas, maka wajib diamalkan, dan tidak boleh ditinggalkan kecuali ada dalil yang menunjukkan telah di-nasakh.

Sedangkan jika salah satu makna lebih kuat daripada yang lain, maka itu disebut zahir, sedangkan makna yang lebih lemah disebut muhtamal marjuh. Lafaz zahir wajib dibawa pada makna terkuatnya, kecuali ada dalil yang memalingkannya. Misalnya ucapan: “Aku melihat singa.” Zahirnya menunjukkan hewan buas, namun secara kemungkinan bisa juga bermakna lelaki pemberani.


Beberapa bagian dari Terjemahan di-generate menggunakan Artificial Intelligence secara otomatis, dan belum melalui proses pengeditan

Untuk Teks dari Buku Berbahasa Indonesia atau Inggris, banyak bagian yang merupakan hasil OCR dan belum diedit


Belum ada terjemahan untuk halaman ini atau ada terjemahan yang kurang tepat ?

« Sebelumnya Halaman 182 dari 228 Berikutnya » Daftar Isi