Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
Syekh asy-Syinqithi rahimahullah menjelaskan bahwa banyak orang menyebut ayat-ayat sifat sebagai ayat mutasyabih. Pandangan ini salah dari satu sisi, dan bisa dimaklumi dari sisi lain, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Malik bin Anas rahimahullah. Beliau berkata: “Istiwa’ itu maknanya tidaklah samar, sedangkan bagaimana caranya tidak bisa dinalar. Bertanya tentangnya adalah bid‘ah, dan mengimaninya adalah wajib.”
Demikian pula pada sifat turun (nuzul): turun itu maknanya tidak samar, bagaimana caranya tidak bisa dinalar, bertanya tentangnya adalah bid‘ah, dan mengimaninya adalah wajib. Prinsip ini berlaku untuk semua sifat. Sebab, sifat-sifat tersebut telah dikenal dalam bahasa Arab, hanya saja sifat yang disandarkan kepada Pencipta langit dan bumi lebih sempurna, lebih mulia, dan lebih agung daripada menyerupai sifat-sifat makhluk. Sebagaimana Dzat Sang Pencipta itu nyata adanya, dan makhluk juga memiliki dzat, maka dzat Sang Pencipta jauh lebih sempurna, lebih suci, dan lebih agung daripada menyerupai dzat makhluk.
Dalam ilmu ushul telah ditetapkan bahwa apabila suatu perkataan menunjukkan makna yang tidak mungkin dipahami kecuali dengan satu maksud, maka itu disebut nash. Misalnya firman Allah Ta‘ala:
﴿تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ﴾
“Itulah sepuluh yang sempurna.” (Surah Al-Baqarah: 196)
Namun, jika suatu perkataan memiliki lebih dari satu kemungkinan makna, maka ada dua kondisi: bisa jadi kedua makna sama-sama kuat, atau bisa jadi salah satunya lebih kuat dari yang lain.
Jika kedua makna sama kuatnya, maka itu disebut mujmal (global). Misalnya ucapan: “Kemarin malam para pencuri menyerang ‘ain Zaid.” Kata “‘ain” bisa bermakna matanya yang melihat, bisa bermakna mata airnya, atau bisa bermakna harta emas dan peraknya. Maka ini disebut mujmal, dan hukum mujmal adalah menunda penetapan makna kecuali ada dalil yang merinci.
Jika lafaz itu berupa nash yang jelas, maka wajib diamalkan, dan tidak boleh ditinggalkan kecuali ada dalil yang menunjukkan telah di-nasakh.
Sedangkan jika salah satu makna lebih kuat daripada yang lain, maka itu disebut zahir, sedangkan makna yang lebih lemah disebut muhtamal marjuh. Lafaz zahir wajib dibawa pada makna terkuatnya, kecuali ada dalil yang memalingkannya. Misalnya ucapan: “Aku melihat singa.” Zahirnya menunjukkan hewan buas, namun secara kemungkinan bisa juga bermakna lelaki pemberani.