Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
Mengapa demikian? Karena ketiadaan tidak mungkin melahirkan sesuatu—ini adalah perkara yang sudah pasti dalam akal sehat. Demikian pula sesuatu tidak mungkin menciptakan dirinya sendiri.
Sebuah kota sebagaimana yang kita kenal pasti membutuhkan pencipta. Perbuatan selalu menunjukkan pelakunya dan mengenalkan penciptanya. Maka kota itu tidak lain adalah hasil karya sekelompok manusia yang berakal, yang memiliki kemampuan membangun dan menata.
Apabila kita melihat seorang manusia naik dari lantai bawah sebuah bangunan menuju lantai atasnya, kita tidak mengingkarinya dan tidak merasa aneh, karena manusia memiliki kemampuan untuk melakukannya.
Namun, jika kita melihat sebuah batu yang tadinya berada di halaman bangunan berpindah ke lantai atasnya, niscaya kita akan memastikan bahwa batu itu tidak berpindah dengan sendirinya. Pasti ada seseorang yang mengangkatnya dan memindahkannya, karena batu tidak memiliki sifat bergerak dan naik ke atas.
Yang mengherankan, manusia bisa meyakini bahwa sebuah kota tidak mungkin ada tanpa pencipta dan tidak mungkin membangun dirinya sendiri, dan mereka juga meyakini bahwa batu tidak akan bisa berpindah ke atas tanpa ada yang mengangkatnya. Namun, sebagian di antara mereka justru membolehkan adanya alam semesta yang tercipta tanpa pencipta, tanpa ada yang mewujudkan, padahal penciptaan alam semesta jauh lebih kompleks dan lebih agung daripada penciptaan manusia. Sebagaimana firman Allah:
لَخَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَكْبَرُ مِنْ خَلْقِ النَّاسِ
“Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia.” (Surah Ghafir: 57)
Namun, para pengingkar itu ketika dihadapkan dengan logika ilmiah yang berbicara kepada akal, mereka tidak mampu kecuali mengakui kebenaran, atau memilih bersikeras dengan kesombongan.
Dengan dalil inilah para ulama Islam sejak dahulu menghadapi para penolak keberadaan Sang Pencipta. Dikisahkan salah seorang ulama pernah didatangi oleh sejumlah zindiq yang mengingkari adanya Allah. Lalu ia berkata kepada mereka: “Apa pendapat kalian jika ada seseorang berkata kepada kalian: Aku melihat sebuah kapal penuh dengan barang-barang, sarat dengan muatan, dikelilingi oleh gelombang yang saling bertubrukan, dan tiupan angin yang beraneka arah, namun kapal itu tetap berlayar dengan tenang di tengah laut, tanpa ada seorang nahkoda yang mengemudikannya, dan tanpa ada seorang awak yang mengendalikannya. Apakah hal itu mungkin diterima oleh akal?”
Mereka pun menjawab: “Itu adalah sesuatu yang tidak mungkin diterima oleh akal.”