Loading...

Maktabah Reza Ervani

15%

Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000



Judul Kitab : Tafsir Al Azhar Juz 1 (Pengantar dan Al Fatihah) - Detail Buku
Halaman Ke : 36
Jumlah yang dimuat : 116
« Sebelumnya Halaman 36 dari 116 Berikutnya » Daftar Isi
Tabel terjemah Inggris belum dibuat.
Bahasa Indonesia Translation

Kata-kata sahabat-sahabat yang khas di dalam menafsirkan al-Quran itu mengungkapkan makna dan maksudnya, hampir sama kedudukannya dengan Sunnah Nabi sendiri bila bersangkutan dengan hukum-hukum syara’ sebab kita percaya bahwa pada pokoknya tentu sahabat itu menerimanya daripada Rasulullah s.a.w. Tetapi kalau ada dalil bahwa itu hanyalah pendapat sahabat semata, maka tidaklah sama derajat pendapat beliau-beliau itu dengan Sunnah Rasul s.a.w. Malahan kadang-kadang terdapat perlain­an pendapat (ra’yi) di antara mereka, umpamanya perselisihan pendapat mereka tentang nenek laki-laki, apakah dia mendapat waris dari cucunya yang telah mati atau tidak. Abu Bakar mengatakan nenek mendapat, apabila ayah tidak ada lagi. Sedang Ali bin Abu Thalib berpendapat bahwa nenek laki-laki itu berkedudukan sebagai Kalaalah dari saudara kandung atau saudara se­pupu, dengan memperhatikan makna kebapaan padanya. Sebab itu Ali dan yang sefaham dengan dia menempatkan nenek sebagai saudara laki-laki, jika ada saudara kandung atau sebapa. Dan tidak terhidung seseorangpun berhak mengambil bagian faridhnya. Dia mengambil sisa yang tinggal seorang diri atau bersama-sama beserta ‘ashabah-‘ashabah yang lain dengan syarat bagian nenek laki-laki itu tidak kurang dalam keadaan itu dari seperenam. Baikpun dia sendiri mengambil sisa atau bersama-sama dengan saudara si mati terhadap yang sisa.

Lain pula pendapat Zaid bin Tsabit. Beliau memandang nenek laki-laki sebagai Kalaalah dari saudara sekandung, atau sebapak dengan syarat tidak kurang sisa nenek itu mendapat dari seperenam.

Semuanya ini adalah ra’yi atau ijtihad dari sahabat-sahabat itu sendiri, malahan itulah sebabnya maka pendapat mereka berbeda, sebab tidak ada Nash keterangan terpincir dari Nabi sendiri tentang soal itu.

Ulama-ulama yang lain tidak ragu-ragu membahas tentang penafsiran yang timbul daripada pendapat (ra’yi) sahabat-sahabat Rasulullah itu. Mereka tidak ragu buat mengatakan bahwa pendapat sahabat bukan wahyu sebab itu tidak akan sunyi daripada salah dan benar. Ahli-ahli Fiqh berpendapat bahwa pendapat sahabat Rasulullah itu hanya satu macam, dan tidak ada bantahan daripada sahabat yang lain, artinya itu adalah ijma’ sahabat adalah hujjah, artinya boleh dipegang. Cuma kaum Syi’ah saja yang mengecualikan diri dari pendapat itu. Bagi mereka ijma’ sahabat tidak hujjah.

Kalau terdapat pertikaian pendapat di antara sahabat-sahabat Rasulullah, maka Ulama-Ulama umumnya perbincangkan pula. Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat, hendaklah dipilih manakah kata-kata mereka yang lebih dekat dengan al-Quran. Hukum Fiqh yang jelas dari kalam Nabi s.a.w. dan yang ada Nashnya di dalam al-Quran. Kalau pilihan sudah jatuh kepada pendapat yang lebih dekat dengan al-Quran itu, barulah diambil pendapat al-Quran dan Sunnah Rasul tadi, kendatipun yang lain ditinggalkan. Imam Malik dan pengikut-pengikutnya berkata: tidaklah wajib kita meninggalkan salah satu pindah-pindah dengan yang satu pendapat sahabat kepada pendapat sahabat yang lain. Imam Malik itu termasyhur menuliskan dan membukukan pendapat sahabat dalam karangannya al-Risalah. Imam Malik pun berpegang demikian. Imam Ahmad bin Hanbal biasa

IDWaktuBahasaPenerjemahStatusAksi
#3023 Sep 2025, 23:56:26idadminTervalidasi

Kata-kata sahabat-sahabat yang khas di dalam menafsirkan al-Quran itu mengungkapkan makna dan maksudnya, hampir sama kedudukannya dengan Sunnah Nabi sendiri bila bersangkutan dengan hukum-hukum syara’ sebab kita percaya bahwa pada pokoknya tentu sahabat itu menerimanya daripada Rasulullah s.a.w. Tetapi kalau ada dalil bahwa itu hanyalah pendapat sahabat semata, maka tidaklah sama derajat pendapat beliau-beliau itu dengan Sunnah Rasul s.a.w. Malahan kadang-kadang terdapat perlain­an pendapat (ra’yi) di antara mereka, umpamanya perselisihan pendapat mereka tentang nenek laki-laki, apakah dia mendapat waris dari cucunya yang telah mati atau tidak. Abu Bakar mengatakan nenek mendapat, apabila ayah tidak ada lagi. Sedang Ali bin Abu Thalib berpendapat bahwa nenek laki-laki itu berkedudukan sebagai Kalaalah dari saudara kandung atau saudara se­pupu, dengan memperhatikan makna kebapaan padanya. Sebab itu Ali dan yang sefaham dengan dia menempatkan nenek sebagai saudara laki-laki, jika ada saudara kandung atau sebapa. Dan tidak terhidung seseorangpun berhak mengambil bagian faridhnya. Dia mengambil sisa yang tinggal seorang diri atau bersama-sama beserta ‘ashabah-‘ashabah yang lain dengan syarat bagian nenek laki-laki itu tidak kurang dalam keadaan itu dari seperenam. Baikpun dia sendiri mengambil sisa atau bersama-sama dengan saudara si mati terhadap yang sisa.

Lain pula pendapat Zaid bin Tsabit. Beliau memandang nenek laki-laki sebagai Kalaalah dari saudara sekandung, atau sebapak dengan syarat tidak kurang sisa nenek itu mendapat dari seperenam.

Semuanya ini adalah ra’yi atau ijtihad dari sahabat-sahabat itu sendiri, malahan itulah sebabnya maka pendapat mereka berbeda, sebab tidak ada Nash keterangan terpincir dari Nabi sendiri tentang soal itu.

Ulama-ulama yang lain tidak ragu-ragu membahas tentang penafsiran yang timbul daripada pendapat (ra’yi) sahabat-sahabat Rasulullah itu. Mereka tidak ragu buat mengatakan bahwa pendapat sahabat bukan wahyu sebab itu tidak akan sunyi daripada salah dan benar. Ahli-ahli Fiqh berpendapat bahwa pendapat sahabat Rasulullah itu hanya satu macam, dan tidak ada bantahan daripada sahabat yang lain, artinya itu adalah ijma’ sahabat adalah hujjah, artinya boleh dipegang. Cuma kaum Syi’ah saja yang mengecualikan diri dari pendapat itu. Bagi mereka ijma’ sahabat tidak hujjah.

Kalau terdapat pertikaian pendapat di antara sahabat-sahabat Rasulullah, maka Ulama-Ulama umumnya perbincangkan pula. Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat, hendaklah dipilih manakah kata-kata mereka yang lebih dekat dengan al-Quran. Hukum Fiqh yang jelas dari kalam Nabi s.a.w. dan yang ada Nashnya di dalam al-Quran. Kalau pilihan sudah jatuh kepada pendapat yang lebih dekat dengan al-Quran itu, barulah diambil pendapat al-Quran dan Sunnah Rasul tadi, kendatipun yang lain ditinggalkan. Imam Malik dan pengikut-pengikutnya berkata: tidaklah wajib kita meninggalkan salah satu pindah-pindah dengan yang satu pendapat sahabat kepada pendapat sahabat yang lain. Imam Malik itu termasyhur menuliskan dan membukukan pendapat sahabat dalam karangannya al-Risalah. Imam Malik pun berpegang demikian. Imam Ahmad bin Hanbal biasa


Beberapa bagian dari Terjemahan di-generate menggunakan Artificial Intelligence secara otomatis, dan belum melalui proses pengeditan

Untuk Teks dari Buku Berbahasa Indonesia atau Inggris, banyak bagian yang merupakan hasil OCR dan belum diedit


Belum ada terjemahan untuk halaman ini atau ada terjemahan yang kurang tepat ?

« Sebelumnya Halaman 36 dari 116 Berikutnya » Daftar Isi