Loading...

Maktabah Reza Ervani

15%

Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000



Judul Kitab : Tafsir Al Azhar Juz 1 (Pengantar dan Al Fatihah) - Detail Buku
Halaman Ke : 39
Jumlah yang dimuat : 116
« Sebelumnya Halaman 39 dari 116 Berikutnya » Daftar Isi
Arabic Original Text
Belum ada teks Arab untuk halaman ini.
Bahasa Indonesia Translation

nya pemuda-pemuda yang tidur di dalam Gua (ash-habul Kahfi); setengah mengatakan hanya bertiga, empat dengan anjingnya. Setengah mengatakan berlima, enam dengan anjingnya (al-Kahfi ayat 22). Sampai juga perhitungan mereka tentang warna anjing itu. Dan banyak juga Israiliyat tentang tongkat itu bercabang dua. Bahkan ada pula riwayat bahwa tongkat itu ada beberapa tulisan beberapa rajah “isim” dan beberapa huruf, yang disuntingkan pula oleh al-Buni di dalam kitab “perdukunan”nya yang terkenal bernama Syamsul Ma’arif al-Kubra.

Tafsir kita ini ditulis di zaman moden, di zaman ahli-ahli agama yang berpengetahuan luas telah bertemu dengan ahli-ahli pengetahuan yang mendapat pendidikan moden. Maka kalau tafsir ini dicampur-aduk dengan Israiliyat, niscaya tidaklah ada akan harganya buat menjadi da’wah kepada orang yang hendak langsung mengetahui isi al-Quran. Israiliyat itu adalah sebagai dinding yang menghambat orang dari kebenaran al-Quran. Kalau di dalam tafsir ini ada kita bawakan riwayat-riwayat Israiliyat itu, lain tidaklah buat peringatan saja.

Demikianlah kita uraikan tentang tiga sumber dari penafsiran, mengenai empat bidang dari isi al-Quran yang akan ditafsirkan itu. Penafsiran pertama hendaklah diambil dari sumber Sunnah Rasulullah s.a.w. Kedua dari penafsiran sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. dan ketiga dari penafsiran Tabi’in.

Bolehkah kita menambah pula?

Tadi sudah dikatakan panjang lebar, bahwa mengenai halal haram, cara ibadat, nikah-talak-rujuk, pendeknya yang berkenaan dengan hukum, kita tidak boleh menambah tafsir lain. Sebab tafsiran yang lain bisa membawakan bid’ah dalam agama. Tetapi dalam hal yang lain-lain terdapat pula perlain pendapat Ulama. Imam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa menafsirkan al-Quran dengan ra’yi (pendapat sendiri), dengan tidak berdasar dari sumber yang telah ditentukan itu adalah haram.

Di dalam kitab Tuhfatun-Nazzhar penerangan Islam yang terkenal di abad keempatbelas, yaitu Ibnu Bathuthah mengatakan bahwa dia mendengar berita yang dapat dipercaya, bahwa Imam Ibnu Taimiyah itu selama dalam penjara telah menulis Tafsir al-Quran, tebalnya 45 jilid. Rupanya nasihat itu telah hilang atau belum bertemu sampai sekarang, sehingga tafsir Ibnu Taimiyah yang bertemu sekarang hanya Tafsir Surat an-Nur dan beberapa nasakh lain yang jauh daripada lengkap untuk dikatakan 45 jilid. Maka di dalam tafsir Ibnu Taimiyah yang ada itu kita melihat bagaimana cara beliau menafsirkan, sehingga tersimpul daripada apa yang beliau ucap baru nama ra’yi.

Mula-mula sekali beliau menafsirkan al-Quran ialah dengan al-Quran sendiri. Kalau kita ragu memahami suatu ayat, hendaklah dicari sambungannya dengan ayat yang lain. Sebab hal yang kurang nyata di suatu ayat, akan ada kenyataannya di ayat yang lain. Misalnya di Surat Thaha kita baca bahwa Nabi Musa merasa takut melihat tali-tali dan tongkat tukang sihir telah menyerupai ular yang hendak menggigit (lihat Surat Thaha ayat 67). Kalau ayat itu saja kita baca tentu kesan yang pertama timbul dalam hati kita ialah bahwa Nabi Musa penakut. Maka untuk menghilangkan keraguan karena hanya membaca satu ayat dalam Surat Thaha, hendaklah kita baca ayat 116 surat al-A’raf. Di

IDWaktuBahasaPenerjemahStatusAksi
#3224 Sep 2025, 04:08:36idadminTervalidasi

nya pemuda-pemuda yang tidur di dalam Gua (ash-habul Kahfi); setengah mengatakan hanya bertiga, empat dengan anjingnya. Setengah mengatakan berlima, enam dengan anjingnya (al-Kahfi ayat 22). Sampai juga perhitungan mereka tentang warna anjing itu. Dan banyak juga Israiliyat tentang tongkat itu bercabang dua. Bahkan ada pula riwayat bahwa tongkat itu ada beberapa tulisan beberapa rajah “isim” dan beberapa huruf, yang disuntingkan pula oleh al-Buni di dalam kitab “perdukunan”nya yang terkenal bernama Syamsul Ma’arif al-Kubra.

Tafsir kita ini ditulis di zaman moden, di zaman ahli-ahli agama yang berpengetahuan luas telah bertemu dengan ahli-ahli pengetahuan yang mendapat pendidikan moden. Maka kalau tafsir ini dicampur-aduk dengan Israiliyat, niscaya tidaklah ada akan harganya buat menjadi da’wah kepada orang yang hendak langsung mengetahui isi al-Quran. Israiliyat itu adalah sebagai dinding yang menghambat orang dari kebenaran al-Quran. Kalau di dalam tafsir ini ada kita bawakan riwayat-riwayat Israiliyat itu, lain tidaklah buat peringatan saja.

Demikianlah kita uraikan tentang tiga sumber dari penafsiran, mengenai empat bidang dari isi al-Quran yang akan ditafsirkan itu. Penafsiran pertama hendaklah diambil dari sumber Sunnah Rasulullah s.a.w. Kedua dari penafsiran sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. dan ketiga dari penafsiran Tabi’in.

Bolehkah kita menambah pula?

Tadi sudah dikatakan panjang lebar, bahwa mengenai halal haram, cara ibadat, nikah-talak-rujuk, pendeknya yang berkenaan dengan hukum, kita tidak boleh menambah tafsir lain. Sebab tafsiran yang lain bisa membawakan bid’ah dalam agama. Tetapi dalam hal yang lain-lain terdapat pula perlain pendapat Ulama. Imam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa menafsirkan al-Quran dengan ra’yi (pendapat sendiri), dengan tidak berdasar dari sumber yang telah ditentukan itu adalah haram.

Di dalam kitab Tuhfatun-Nazzhar penerangan Islam yang terkenal di abad keempatbelas, yaitu Ibnu Bathuthah mengatakan bahwa dia mendengar berita yang dapat dipercaya, bahwa Imam Ibnu Taimiyah itu selama dalam penjara telah menulis Tafsir al-Quran, tebalnya 45 jilid. Rupanya nasihat itu telah hilang atau belum bertemu sampai sekarang, sehingga tafsir Ibnu Taimiyah yang bertemu sekarang hanya Tafsir Surat an-Nur dan beberapa nasakh lain yang jauh daripada lengkap untuk dikatakan 45 jilid. Maka di dalam tafsir Ibnu Taimiyah yang ada itu kita melihat bagaimana cara beliau menafsirkan, sehingga tersimpul daripada apa yang beliau ucap baru nama ra’yi.

Mula-mula sekali beliau menafsirkan al-Quran ialah dengan al-Quran sendiri. Kalau kita ragu memahami suatu ayat, hendaklah dicari sambungannya dengan ayat yang lain. Sebab hal yang kurang nyata di suatu ayat, akan ada kenyataannya di ayat yang lain. Misalnya di Surat Thaha kita baca bahwa Nabi Musa merasa takut melihat tali-tali dan tongkat tukang sihir telah menyerupai ular yang hendak menggigit (lihat Surat Thaha ayat 67). Kalau ayat itu saja kita baca tentu kesan yang pertama timbul dalam hati kita ialah bahwa Nabi Musa penakut. Maka untuk menghilangkan keraguan karena hanya membaca satu ayat dalam Surat Thaha, hendaklah kita baca ayat 116 surat al-A’raf. Di


Beberapa bagian dari Terjemahan di-generate menggunakan Artificial Intelligence secara otomatis, dan belum melalui proses pengeditan

Untuk Teks dari Buku Berbahasa Indonesia atau Inggris, banyak bagian yang merupakan hasil OCR dan belum diedit


Belum ada terjemahan untuk halaman ini atau ada terjemahan yang kurang tepat ?

« Sebelumnya Halaman 39 dari 116 Berikutnya » Daftar Isi