Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
mengucapkan selamat atas niat Al-Azhar memberi saya gelar kehormatan itu dan sebagai ucapan selamat kembali ke tanahair. Besoknya saya kembali ke Mesir.
Sampai saya di Mesir, saya hubungilah saudara Raden Hidayat Atase Kebudayaan Republik Indonesia meminta keterangan kepadanya, apakah dia mengetahui tentang kawat Duta Besar Mesir di Indonesia Sayid Ali Fahmi al-Amrousi itu. Kemudian Duta Besar yang budiman itupun menghubungi saya di Continental Hotel menyampaikan berita lebih jelas. Yaitu bahwa Kepala Departemen Kebudayaan dari Al-Azhar, Dr. Muhammad al-Bahay telah memasukkan usul kepada Majlis Al-Azhar tertinggi, agar salah satu daripada peraturan Al-Azhar yang baru disusun, yaitu memberikan gelar-gelar ilmiah kehormatan kepada orang-orang yang patut menerimanya, yang belum pernah dilakukan di zaman yang sudah-sudah, diberikan kepada saya, sebagai orang yang pertama.
Dr. Muhammad al-Bahay pun saya hubungi. Ternyata usul itu benar dan beliau serahkan kepada saya salinan usul beliau itu. Di waktu itu Syaikh Jami’ Al-Azhar ialah Dr. Syaikh Abdur Rahman Taj. Dan Dr. al-Bahay menerangkan pula bahwa protokol pelantikan sedang akan disusun, sebab tradisi itu belum ada selama ini, karena inilah yang mula-mula akan mulai dilakukan sejak peraturan itu diciptakan. Beliau mengharap saya sabar menunggu barang seminggu dua minggu, karena hendak meminta pengesahan pula dari Presiden Jamal Abdel Nasser sendiri.
Tetapi suasana politik dalam minggu-minggu akhir Februari 1958 itu sudah sangat sibuk. Republik Mesir bergabung dengan Republik Suria. Kesibukan itu terasa sampai dalam Al-Azhar sendiri. Pekerjaan-pekerjaan yang lain menjadi tergendala. Orang Mesir sedang diliputi gembira ria. Jalan-jalan raya Mesir dipenuhi oleh demonstrasi dan pawai-pawai raksasa. Orang menyambut pergabungan itu dengan gegap-gempita dan riuh-rendah. Urusan “perlantikan” saya menjadi tertunda-tunda, sehingga ada usulan kepada saya agar saya menunggu sampai akhir bulan Ramadhan. Ketika itu adalah awal Sya’ban 1378.
Sedianya akan mau juga saya menunggu, karena rasanya akan sulitlah buat mengulangi datang kembali ke Mesir, apatah lagi saya bukan seorang resmi, bukan Presiden Republik dan bukan Perdana Menteri, saya hanya orang biasa. Tetapi di samping orang Mesir dan orang Suria gembira ria karena terciptanya Republik Arab Persatuan, suasana di Indonesia tengah menghadapi krisis hebat pula. Dan krisis di Indonesia itu sangat dirasakan di Kedutaan Besar Indonesia di Kairo, dan sangat dirasakan pula oleh badan-diri saya sendiri. Pemberontakan PRRI telah terjadi di Sumatera. T.N.I. telah membom Painan di pesisir Selatan Sumatera Barat.
Hal itu sangat mencemaskan hati saya. Saya tidak ada hati mau menunggu lebih lama lagi di Kairo. Saya tidak dapat meresapkan perasaan gembira orang Mesir di kala tanahair saya Indonesia dan tumpah darah saya Minangkabau ditimpa malapetaka. Saya segera pulang ke Indonesia, melalui Suria dan Libanon. Ketika itu sahabat saya sejak kecil, Mohammad Zain Hassan menjadi Kuasa Usaha R.I. di Damaskus. Sedang saya berada beberapa hari di Damaskus,
id) oleh admin pada 24 September 2025 - 04:33:54.mengucapkan selamat atas niat Al-Azhar memberi saya gelar kehormatan itu dan sebagai ucapan selamat kembali ke tanahair. Besoknya saya kembali ke Mesir.
Sampai saya di Mesir, saya hubungilah saudara Raden Hidayat Atase Kebudayaan Republik Indonesia meminta keterangan kepadanya, apakah dia mengetahui tentang kawat Duta Besar Mesir di Indonesia Sayid Ali Fahmi al-Amrousi itu. Kemudian Duta Besar yang budiman itupun menghubungi saya di Continental Hotel menyampaikan berita lebih jelas. Yaitu bahwa Kepala Departemen Kebudayaan dari Al-Azhar, Dr. Muhammad al-Bahay telah memasukkan usul kepada Majlis Al-Azhar tertinggi, agar salah satu daripada peraturan Al-Azhar yang baru disusun, yaitu memberikan gelar-gelar ilmiah kehormatan kepada orang-orang yang patut menerimanya, yang belum pernah dilakukan di zaman yang sudah-sudah, diberikan kepada saya, sebagai orang yang pertama.
Dr. Muhammad al-Bahay pun saya hubungi. Ternyata usul itu benar dan beliau serahkan kepada saya salinan usul beliau itu. Di waktu itu Syaikh Jami’ Al-Azhar ialah Dr. Syaikh Abdur Rahman Taj. Dan Dr. al-Bahay menerangkan pula bahwa protokol pelantikan sedang akan disusun, sebab tradisi itu belum ada selama ini, karena inilah yang mula-mula akan mulai dilakukan sejak peraturan itu diciptakan. Beliau mengharap saya sabar menunggu barang seminggu dua minggu, karena hendak meminta pengesahan pula dari Presiden Jamal Abdel Nasser sendiri.
Tetapi suasana politik dalam minggu-minggu akhir Februari 1958 itu sudah sangat sibuk. Republik Mesir bergabung dengan Republik Suria. Kesibukan itu terasa sampai dalam Al-Azhar sendiri. Pekerjaan-pekerjaan yang lain menjadi tergendala. Orang Mesir sedang diliputi gembira ria. Jalan-jalan raya Mesir dipenuhi oleh demonstrasi dan pawai-pawai raksasa. Orang menyambut pergabungan itu dengan gegap-gempita dan riuh-rendah. Urusan “perlantikan” saya menjadi tertunda-tunda, sehingga ada usulan kepada saya agar saya menunggu sampai akhir bulan Ramadhan. Ketika itu adalah awal Sya’ban 1378.
Sedianya akan mau juga saya menunggu, karena rasanya akan sulitlah buat mengulangi datang kembali ke Mesir, apatah lagi saya bukan seorang resmi, bukan Presiden Republik dan bukan Perdana Menteri, saya hanya orang biasa. Tetapi di samping orang Mesir dan orang Suria gembira ria karena terciptanya Republik Arab Persatuan, suasana di Indonesia tengah menghadapi krisis hebat pula. Dan krisis di Indonesia itu sangat dirasakan di Kedutaan Besar Indonesia di Kairo, dan sangat dirasakan pula oleh badan-diri saya sendiri. Pemberontakan PRRI telah terjadi di Sumatera. T.N.I. telah membom Painan di pesisir Selatan Sumatera Barat.
Hal itu sangat mencemaskan hati saya. Saya tidak ada hati mau menunggu lebih lama lagi di Kairo. Saya tidak dapat meresapkan perasaan gembira orang Mesir di kala tanahair saya Indonesia dan tumpah darah saya Minangkabau ditimpa malapetaka. Saya segera pulang ke Indonesia, melalui Suria dan Libanon. Ketika itu sahabat saya sejak kecil, Mohammad Zain Hassan menjadi Kuasa Usaha R.I. di Damaskus. Sedang saya berada beberapa hari di Damaskus,
| ID | Waktu | Bahasa | Penerjemah | Status | Aksi |
|---|---|---|---|---|---|
| #43 | 24 Sep 2025, 04:33:54 | id | admin | Tervalidasi | — |
mengucapkan selamat atas niat Al-Azhar memberi saya gelar kehormatan itu dan sebagai ucapan selamat kembali ke tanahair. Besoknya saya kembali ke Mesir. Sampai saya di Mesir, saya hubungilah saudara Raden Hidayat Atase Kebudayaan Republik Indonesia meminta keterangan kepadanya, apakah dia mengetahui tentang kawat Duta Besar Mesir di Indonesia Sayid Ali Fahmi al-Amrousi itu. Kemudian Duta Besar yang budiman itupun menghubungi saya di Continental Hotel menyampaikan berita lebih jelas. Yaitu bahwa Kepala Departemen Kebudayaan dari Al-Azhar, Dr. Muhammad al-Bahay telah memasukkan usul kepada Majlis Al-Azhar tertinggi, agar salah satu daripada peraturan Al-Azhar yang baru disusun, yaitu memberikan gelar-gelar ilmiah kehormatan kepada orang-orang yang patut menerimanya, yang belum pernah dilakukan di zaman yang sudah-sudah, diberikan kepada saya, sebagai orang yang pertama. Dr. Muhammad al-Bahay pun saya hubungi. Ternyata usul itu benar dan beliau serahkan kepada saya salinan usul beliau itu. Di waktu itu Syaikh Jami’ Al-Azhar ialah Dr. Syaikh Abdur Rahman Taj. Dan Dr. al-Bahay menerangkan pula bahwa protokol pelantikan sedang akan disusun, sebab tradisi itu belum ada selama ini, karena inilah yang mula-mula akan mulai dilakukan sejak peraturan itu diciptakan. Beliau mengharap saya sabar menunggu barang seminggu dua minggu, karena hendak meminta pengesahan pula dari Presiden Jamal Abdel Nasser sendiri. Tetapi suasana politik dalam minggu-minggu akhir Februari 1958 itu sudah sangat sibuk. Republik Mesir bergabung dengan Republik Suria. Kesibukan itu terasa sampai dalam Al-Azhar sendiri. Pekerjaan-pekerjaan yang lain menjadi tergendala. Orang Mesir sedang diliputi gembira ria. Jalan-jalan raya Mesir dipenuhi oleh demonstrasi dan pawai-pawai raksasa. Orang menyambut pergabungan itu dengan gegap-gempita dan riuh-rendah. Urusan “perlantikan” saya menjadi tertunda-tunda, sehingga ada usulan kepada saya agar saya menunggu sampai akhir bulan Ramadhan. Ketika itu adalah awal Sya’ban 1378. Sedianya akan mau juga saya menunggu, karena rasanya akan sulitlah buat mengulangi datang kembali ke Mesir, apatah lagi saya bukan seorang resmi, bukan Presiden Republik dan bukan Perdana Menteri, saya hanya orang biasa. Tetapi di samping orang Mesir dan orang Suria gembira ria karena terciptanya Republik Arab Persatuan, suasana di Indonesia tengah menghadapi krisis hebat pula. Dan krisis di Indonesia itu sangat dirasakan di Kedutaan Besar Indonesia di Kairo, dan sangat dirasakan pula oleh badan-diri saya sendiri. Pemberontakan PRRI telah terjadi di Sumatera. T.N.I. telah membom Painan di pesisir Selatan Sumatera Barat. Hal itu sangat mencemaskan hati saya. Saya tidak ada hati mau menunggu lebih lama lagi di Kairo. Saya tidak dapat meresapkan perasaan gembira orang Mesir di kala tanahair saya Indonesia dan tumpah darah saya Minangkabau ditimpa malapetaka. Saya segera pulang ke Indonesia, melalui Suria dan Libanon. Ketika itu sahabat saya sejak kecil, Mohammad Zain Hassan menjadi Kuasa Usaha R.I. di Damaskus. Sedang saya berada beberapa hari di Damaskus, | |||||