Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
orang Suria pun bergembira, karena dengan tiba-tiba saja, Presiden mereka, Presiden R.P.A. berada di kota yang bersejarah itu.
Saya meneruskan perjalanan pulang kembali ke tanahair.
Setelah saya pulang kembali, saya dapati Mesjid Agung di hadapan rumah saya telah selesai dibangun. Dan berita saya akan diberi gelar Doktor itu rupanya telah tersiar di tanahair sebelum saya pulang. Dan bulan puasaapun telah datang. Tetapi mesjidpun telah selesai belum juga dibuka dengan resmi. Ketua Panitia Pembangunan Mesjid Agung tersebut, saudara Syamsurijal (sekarang almarhum), bekas Wali Kota Jakarta Raya, menerangkan bahwa akan diminta terlebih dahulu kesediaan Paduka Yang Mulia Presiden Sukarno menggunting pita pembukaan. Setelah itu barulah mesjid boleh disembahyangi. Tetapi saya mendesak, agar supaya sebelum dibuka dengan resmi, sambil menunggu saat berkenannya Paduka Yang Mulia Presiden menggunting pita seyogianyalh mesjid itu disembahyangi, supaya Tarawih bulan puasa diramaikan supaya shalat jamaah lima waktu dimulai dan demikian juga Jum’at walaupun secara berkecil-kecil. Tidak boleh terlalu lama mesjid itu kosong, sebab semangat mesjid ialah bila dia disembahyangi.
Saudara Syamsurijal tidak dapat membantah usul saya. Maka hanya beberapa hari saja setelah saya sampai di rumah, saya mulailah menyembahyangi mesjid itu, karena kebetulan dia adalah di hadapan rumah saya. Dari jamaah yang mulanya hanya 5 atau 6 orang, berangsurilah dia ramai. Dan hanya beberapa bulan saja setelah dimulai, di tiap-tiap sehabis selesai sembahyang subuh, saya mulailah menafsirkan al-Quran beberapa ayat. Setelah habis menafsirkan itu di dalam masa kira-kira 45 minit setiap pagi, jamaah pun pergilah ke tempat pekerjaan masing-masing.
Tibalah pada bulan Maret 1959, yaitu satu tahun setelah sampai di tanahair dari perlawatan ke negara-negara Islam itu, sampailah sekali lagi berita bahwa memang keputusan memberi saya gelar ilmiah itu telah dilaksanakan. Bel, atau tabung ijazah berwarna biru telah dikirimkan untuk saya, dengan perantaraan Kedutaan Besar R.P.A. di Jakarta, oleh Duta Besarnya yang baru Sayid Ali Fahmi. Dan Duta Besar itulah menyerahkan kepada saya di dalam satu upacara yang khidmat di Kedutaan Besar R.P.A.
Ijazah yang amat penting di dalam sejarah hidup saya itu telah saya terima dengan penuh kehormatan. Sebab dia ditandatangani oleh Presiden R.P.A. sendiri, Jamal Abdel Nasser dan Syaikh Jami’ Al-Azhar yang baru, yang Al-Azhar sangat mencapai martabat yang gilang gemilang selama dalam pimpinan beliau. Itulah Syaikh Mahmoud Syaltout, (beliau meninggal pada akhir tahun 1963). Dan beliau turut hadir dalam muhadharah saya di gedung “asy-Syubbanul Muslimun” itu.
Saya kirimlah kepada beliau sepucuk surat terimakasih yang sebesar-besarnya atas anugerah dan penghargaan itu. Apatah lagi dengan jelas tertampang di dalamnya bahwa “ijazah” yang diberikan kepada saya itu ialah “Raqam I”; yaitu sayalah orang yang mula-mula sekali beroleh gelar kehormatan itu sejak Al-Azhar menciptakan peraturan itu. Dan ucapan terimakasih
id) oleh admin pada 24 September 2025 - 04:34:37.orang Suria pun bergembira, karena dengan tiba-tiba saja, Presiden mereka, Presiden R.P.A. berada di kota yang bersejarah itu.
Saya meneruskan perjalanan pulang kembali ke tanahair.
Setelah saya pulang kembali, saya dapati Mesjid Agung di hadapan rumah saya telah selesai dibangun. Dan berita saya akan diberi gelar Doktor itu rupanya telah tersiar di tanahair sebelum saya pulang. Dan bulan puasaapun telah datang. Tetapi mesjidpun telah selesai belum juga dibuka dengan resmi. Ketua Panitia Pembangunan Mesjid Agung tersebut, saudara Syamsurijal (sekarang almarhum), bekas Wali Kota Jakarta Raya, menerangkan bahwa akan diminta terlebih dahulu kesediaan Paduka Yang Mulia Presiden Sukarno menggunting pita pembukaan. Setelah itu barulah mesjid boleh disembahyangi. Tetapi saya mendesak, agar supaya sebelum dibuka dengan resmi, sambil menunggu saat berkenannya Paduka Yang Mulia Presiden menggunting pita seyogianyalh mesjid itu disembahyangi, supaya Tarawih bulan puasa diramaikan supaya shalat jamaah lima waktu dimulai dan demikian juga Jum’at walaupun secara berkecil-kecil. Tidak boleh terlalu lama mesjid itu kosong, sebab semangat mesjid ialah bila dia disembahyangi.
Saudara Syamsurijal tidak dapat membantah usul saya. Maka hanya beberapa hari saja setelah saya sampai di rumah, saya mulailah menyembahyangi mesjid itu, karena kebetulan dia adalah di hadapan rumah saya. Dari jamaah yang mulanya hanya 5 atau 6 orang, berangsurilah dia ramai. Dan hanya beberapa bulan saja setelah dimulai, di tiap-tiap sehabis selesai sembahyang subuh, saya mulailah menafsirkan al-Quran beberapa ayat. Setelah habis menafsirkan itu di dalam masa kira-kira 45 minit setiap pagi, jamaah pun pergilah ke tempat pekerjaan masing-masing.
Tibalah pada bulan Maret 1959, yaitu satu tahun setelah sampai di tanahair dari perlawatan ke negara-negara Islam itu, sampailah sekali lagi berita bahwa memang keputusan memberi saya gelar ilmiah itu telah dilaksanakan. Bel, atau tabung ijazah berwarna biru telah dikirimkan untuk saya, dengan perantaraan Kedutaan Besar R.P.A. di Jakarta, oleh Duta Besarnya yang baru Sayid Ali Fahmi. Dan Duta Besar itulah menyerahkan kepada saya di dalam satu upacara yang khidmat di Kedutaan Besar R.P.A.
Ijazah yang amat penting di dalam sejarah hidup saya itu telah saya terima dengan penuh kehormatan. Sebab dia ditandatangani oleh Presiden R.P.A. sendiri, Jamal Abdel Nasser dan Syaikh Jami’ Al-Azhar yang baru, yang Al-Azhar sangat mencapai martabat yang gilang gemilang selama dalam pimpinan beliau. Itulah Syaikh Mahmoud Syaltout, (beliau meninggal pada akhir tahun 1963). Dan beliau turut hadir dalam muhadharah saya di gedung “asy-Syubbanul Muslimun” itu.
Saya kirimlah kepada beliau sepucuk surat terimakasih yang sebesar-besarnya atas anugerah dan penghargaan itu. Apatah lagi dengan jelas tertampang di dalamnya bahwa “ijazah” yang diberikan kepada saya itu ialah “Raqam I”; yaitu sayalah orang yang mula-mula sekali beroleh gelar kehormatan itu sejak Al-Azhar menciptakan peraturan itu. Dan ucapan terimakasih
| ID | Waktu | Bahasa | Penerjemah | Status | Aksi |
|---|---|---|---|---|---|
| #44 | 24 Sep 2025, 04:34:37 | id | admin | Tervalidasi | — |
orang Suria pun bergembira, karena dengan tiba-tiba saja, Presiden mereka, Presiden R.P.A. berada di kota yang bersejarah itu. Saya meneruskan perjalanan pulang kembali ke tanahair. Setelah saya pulang kembali, saya dapati Mesjid Agung di hadapan rumah saya telah selesai dibangun. Dan berita saya akan diberi gelar Doktor itu rupanya telah tersiar di tanahair sebelum saya pulang. Dan bulan puasaapun telah datang. Tetapi mesjidpun telah selesai belum juga dibuka dengan resmi. Ketua Panitia Pembangunan Mesjid Agung tersebut, saudara Syamsurijal (sekarang almarhum), bekas Wali Kota Jakarta Raya, menerangkan bahwa akan diminta terlebih dahulu kesediaan Paduka Yang Mulia Presiden Sukarno menggunting pita pembukaan. Setelah itu barulah mesjid boleh disembahyangi. Tetapi saya mendesak, agar supaya sebelum dibuka dengan resmi, sambil menunggu saat berkenannya Paduka Yang Mulia Presiden menggunting pita seyogianyalh mesjid itu disembahyangi, supaya Tarawih bulan puasa diramaikan supaya shalat jamaah lima waktu dimulai dan demikian juga Jum’at walaupun secara berkecil-kecil. Tidak boleh terlalu lama mesjid itu kosong, sebab semangat mesjid ialah bila dia disembahyangi. Saudara Syamsurijal tidak dapat membantah usul saya. Maka hanya beberapa hari saja setelah saya sampai di rumah, saya mulailah menyembahyangi mesjid itu, karena kebetulan dia adalah di hadapan rumah saya. Dari jamaah yang mulanya hanya 5 atau 6 orang, berangsurilah dia ramai. Dan hanya beberapa bulan saja setelah dimulai, di tiap-tiap sehabis selesai sembahyang subuh, saya mulailah menafsirkan al-Quran beberapa ayat. Setelah habis menafsirkan itu di dalam masa kira-kira 45 minit setiap pagi, jamaah pun pergilah ke tempat pekerjaan masing-masing. Tibalah pada bulan Maret 1959, yaitu satu tahun setelah sampai di tanahair dari perlawatan ke negara-negara Islam itu, sampailah sekali lagi berita bahwa memang keputusan memberi saya gelar ilmiah itu telah dilaksanakan. Bel, atau tabung ijazah berwarna biru telah dikirimkan untuk saya, dengan perantaraan Kedutaan Besar R.P.A. di Jakarta, oleh Duta Besarnya yang baru Sayid Ali Fahmi. Dan Duta Besar itulah menyerahkan kepada saya di dalam satu upacara yang khidmat di Kedutaan Besar R.P.A. Ijazah yang amat penting di dalam sejarah hidup saya itu telah saya terima dengan penuh kehormatan. Sebab dia ditandatangani oleh Presiden R.P.A. sendiri, Jamal Abdel Nasser dan Syaikh Jami’ Al-Azhar yang baru, yang Al-Azhar sangat mencapai martabat yang gilang gemilang selama dalam pimpinan beliau. Itulah Syaikh Mahmoud Syaltout, (beliau meninggal pada akhir tahun 1963). Dan beliau turut hadir dalam muhadharah saya di gedung “asy-Syubbanul Muslimun” itu. Saya kirimlah kepada beliau sepucuk surat terimakasih yang sebesar-besarnya atas anugerah dan penghargaan itu. Apatah lagi dengan jelas tertampang di dalamnya bahwa “ijazah” yang diberikan kepada saya itu ialah “Raqam I”; yaitu sayalah orang yang mula-mula sekali beroleh gelar kehormatan itu sejak Al-Azhar menciptakan peraturan itu. Dan ucapan terimakasih | |||||