Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
Sesungguhnya kebaikan-kebaikan yang dianjurkan oleh agama hanyalah perkara-perkara yang didukung oleh akal sehat, watak bawaan manusia, kekayaan, kesehatan, dan nikmat-nikmat lainnya. Maka orang-orang yang:
"Menyuruh kepada yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar, menghalalkan bagi mereka yang baik-baik, mengharamkan yang buruk-buruk, serta meringankan beban dan belenggu yang ada pada mereka…” (QS. Al-A'raf: 157)
Agama tidak memaksa siapa pun untuk melakukan sesuatu, kecuali untuk menghilangkan keburukan dan bahaya.
Seruan agama bukan hanya suara dari langit, melainkan adalah petunjuk (hidayah), keimanan kepada-Nya, bantuan dalam menjalankan agama, keteguhan dalam kebaikan, serta kebebasan jiwa dan kesadaran hidup.
Maka barang siapa yang memahami agama, ia tidak melihat manfaat murni sebagai tujuan akhir, tetapi karena ia melihat kebenaran yang menyelamatkan dan menjadi dasar kasih sayang.
Ada suatu aliran yang dibangun berdasarkan asas: “Manfaat adalah standar kebenaran”, dengan mengedepankan bahwa yang penting dari segala hal adalah manfaatnya dan dampaknya dalam kehidupan.
Pemikiran ini mendominasi filsafat Barat modern, hingga beberapa pemikir menjadikannya sebagai mazhab tersendiri dengan nama dan literaturnya.
Mazhab itu dikenal dengan nama "pragmatisme" yang berasal dari kata Inggris pragmatism.
Menurut mazhab ini, ukuran akidah kita adalah: jika itu tidak merugikan kita tapi memberi manfaat, maka kita mengimaninya sebagai kebenaran, bahkan untuk manusia secara umum, meski tampaknya berasal dari kebatilan.
Al-Qur’an mengumpamakannya seperti air yang mengalir dan membawa manfaat, sedangkan kebatilan seperti buih yang mengambang tak berarti.
“Demikianlah Allah membuat perumpamaan antara yang benar dan yang batil. Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tak berguna, dan yang bermanfaat bagi manusia tetap tinggal di bumi.” (QS. Ar-Ra’d: 17)
Ayat ini mengandung makna lahir dan batin: bahwa “yang bermanfaat bagi manusia” mencakup manfaat secara fisik dan spiritual, jasmani dan akal.
Ia bermanfaat bagi tubuh, jiwa, keluarga, masyarakat, dunia, dan akhirat.
Jika kita sepakat bahwa manfaat adalah tolok ukur, maka kita memahami bahwa agama menuntun kita dalam menjelaskan manfaat, menentukan arahnya, dan menetapkan nilai-nilainya.
Agama tidak hanya memperhatikan kuantitas atau kenikmatan belaka, melainkan mencakup nilai-nilai luhur seperti kemurahan hati, kasih sayang, ketenangan, pemikiran, dan tatanan sosial.
Kebenaran senantiasa berguna. Kebatilan senantiasa merusak. Kejahatan lebih berbahaya bagi manusia daripada racun.
Bagian tulisan ini bukanlah tujuan utama dari penulisan buku Iman dan Kehidupan (ini adalah bagian pertama; selanjutnya akan membahas tentang "akidah dan ibadah"), namun saya ingin menegaskan bahwa istilah iman dalam Al-Qur’an digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang hidup dan aktif.
Kita ingin menghidupkan kembali ide-ide keimanan yang terkait dengan kehidupan manusia, yang bersifat kontinu dan berkaitan erat dengan sisi akidah agama, sebagai pendorong dan penguat iman, serta penunjuk menuju kehidupan akhirat dan perhitungan amal.
Iman dalam Islam bukan sekadar ide kosong, atau ibadah yang dilakukan tanpa pemahaman dan motivasi. Ia bukan hasil sugesti, sebagaimana yang diklaim para materialis.
Sebaliknya, iman dalam Islam adalah kebenaran yang hidup, yang menghasilkan buah bagi jiwa, bangsa, dan masyarakat. Ia mengatur hubungan sosial secara adil, tanpa penindasan dan kesombongan.
Oleh karena itu, iman adalah komitmen yang memikul tanggung jawab, berkaitan dengan pahala dan sanksi, memengaruhi tindakan, menentukan keputusan. Ia bukan sekadar ritual, bukan kata-kata kosong, bukan warisan taklid.
Ia adalah pengakuan yang muncul dari hati, dibenarkan oleh lisan, diwujudkan dalam amal, digerakkan dalam perilaku, dan diukur melalui manfaat dan dampaknya.